Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

OPINI

Bencana Alam Membangun Kewaspadaan bukan Kepanikan

Ditulis Prof Dr Eng Ir Syafaruddin ST MEng IPU, Dosen Departemen Teknik Elektro Universitas Hasanuddin.

Dokumen Prof. Dr. Eng. Ir. Syafaruddin, S.T, M.Eng, IPU
Prof. Dr. Eng. Ir. Syafaruddin, S.T, M.Eng, IPU 

Oleh: Prof. Dr. Eng. Ir. Syafaruddin, S.T, M.Eng, IPU
Dosen Departemen Teknik Elektro Universitas Hasanuddin ( Unhas )

Kurang lebih satu dekade terakhir, beberapa tempat di Indonesia mengalami bencana alam yang sangat hebat dengan korban jiwa, materi serta kerusakan wilayah yang sangat besar.

Belum hilang dari ingatan kita tentang kejadian gempa bumi besar disertai tsunami dan likuifaksi di Kota Palu, muncul lagi kejadian tsunami di Selat Sunda.

Kejadian terakhir adalah terjadinya gempa bumi dengan magnitudo 6.2 SR yang menghantam wilayah Sulawesi Barat.

Dengan banyaknya bencana alam yang terjadi, persepsi luar negeri tentang Indonesia adalah negara yang identik dengan kejadian dan langganan bencana alam.

Oleh karena itu, kita mesti bersama-sama membangun kewaspadaan bukan kepanikan terhadap kemungkinan fatal yang bisa ditimbulkan oleh bencana alam.

Penyebabnya tentu letak wilayah negara kita yang karena anugrah Tuhan tidak bisa diedit lagi.

Negara kita terletak di pertemuan 3 lempeng tektonik bumi yaitu Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik yang menurut para ahli, karena pergeseran dan aktifitas lempeng-lempeng ini, sangat rentan bisa menyebabkan gempa bumi yang sewaktu-waktu dapat berdampak tsunami.

Demikian juga, wilayah kita terletak di garis khatulistiwa dan merupakan negara maritim dengan luas laut lebih besar dari luas daratan, yang tentunya mempunyai tingkat evaporasi dan presipitasi yang tinggi dan berdampak pada curah hujan yang tinggi.

Curah hujan yang tinggi ini kalau tidak diantisipasi dengan benar dan siaga tentu bisa menyebabkan banjir dan tanah longsor pada daerah-daerah kemiringan.

Namun apakah kita harus pasrah dengan kondisi wilayah yang telah Tuhan anugrahkan kepada kita.

Tentu tidak, kita harus bahu membahu, membangun rasa siaga dan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya bencana dan menjadikan negara kita sebagai negara yang membawa berkah bagi sekelilingnya.

Rasa kewapadaan ini menjadi tanggung jawab kita semua antara pemerintah, para ahli dan peneliti serta masyarakat setempat.

Pemerintah harus serius mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana alam dengan mengirim satelit cuaca ke ruang angkasa untuk bisa memonitor dan mengprediksi perubahan cuaca dan aktifitas bumi dan alam seluruh wilayah di Indonesia.

Kita perlu tahu dan mengklarifikasi apakah pemerintah Indonesia mempunyai jenis satelit cuaca atau hanya menyewa data satelit dari pemerintah lain.

Sangat berbahaya dan beresiko sekali kalau pemerintah kita tidak punya satelit cuaca sendiri dan hanya mengandalkan data satelit negara lain.

Tentu informasi yang diterima lambam, seadanya saja dan kadang tidak akurat.

Alasan klasik yang biasa kita dengar adalah dana yang besar untuk mempunyai satelit cuaca sendiri.

Tetapi anehnya dana yang besar ini tidak menjadi masalah kalau digunakan habis untuk kegiatan politik setiap tahun untuk pilkada dan pil-pil yang lain. Sudah saatnya Indonesia punya satelit cuaca sendiri.

Perkiraan cuaca adalah contoh ketidakmampuan pemerintah memberikan informasi cuaca yang akurat bagi rakyatnya.

Perkiraan cuaca di Indonesia yang ditampilkan di media massa tentu kurang bermanfaat dalam konteks prediksi karena rentang prediksinya sangat dekat, misalnya perkiraan cuaca untuk siang hari tapi baru diberitakan 3 jam sebelumnya.

Dalam kondisi seperti ini, tanpa perkiraan cuaca pun, masyarakat awam pun sudah bisa melihat bahwa akan terjadi hujan, panas, terik matahari dan kondisi cuaca lainnya.

Perkiraan cuaca idealnya bisa menampilkan perkiraan secara real-time tiap jam, tiap hari dan bulan serta mempunyai data histori tentang keadaan cuaca tahun-tahun sebelumnya.

Kesemuanya ini tentu akan memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat sehingga kewaspadaan akan bencana alam akan tetap ada dan terjaga.

Para ahli dan pakar sebaiknya tidak perlu banyak berkomentar dan berdiskusi tentang fenomena bencana yang sudah terjadi.

Jangan sampai bencana alam sudah terjadi lagi di tempat lain sebelum hasil diskusinya sampai pada suatu kesimpulan.

Mari kemudian merunut kejadian-kejadian bencana alam sebelumnya, menganalisa kondisi alam secara terintegrasi dan teroptimalkan dengan kemungkinan terjadinya bencana serupa di tempat lain serta mampu mengestimasi kapan kira-kira kejadian yang sama bisa terjadi di suatu tempat atau di tempat lain.

Tentu dukungan dana yang besar terhadap penelitian sangat penting.

Namun di sisi yang lain, hasil-hasil penelitian ini jangan hanya berakhir di atas kertas berbentuk laporan, paper dan jurnal saja.

Hasil-hasil peneliitian bencana mesti berupa rekomendasi tentang antisipasi dan penanganan bencana kepada pemrintah daerah yang bisa terdampak bencana.

Pemerintah daerah harus menjadikan rekomendasi ini sebagai dasar untuk membangun sistem kewaspadaan dan kesiagaan terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam sekarang dan di masa depan.

Pada elemen yang lain, masyarakat mesti diedukasi secara terstruktur dan berkelanjutan terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam, apalagi pada masyarakat yang daerahnya berpotensi bencana.

Mata pelajaran bencana semestinya sudah ada dalam kurikulum sekolah, pendidikan tentang penyelamatan diri awal pada saat awal bencana perlu diajarkan, sosialisasi terhadap jalur evakuasi pada saat terjadi kondisi darurat mesti ada.

Demikian juga informasi reguler terhadap antisipasi kejadian bencana terus secara kontinyu diberikan ke masyarakat.

Hanya saja, sering kita mendengar di media massa bahwa alat pendeteksi tsunami yang terpasang di laut tidak berfungsi normal karena ada orang-orang jahil yang mengambil komponen-komponennya.

Sangat disayangkan dan menyedihkan kalau kejadian serupa terjadi di tempat lain.

Perlu ada kesadaran yang tinggi pada masyarakat demi keselamatan bersama untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak terpuji seperti pengrusakan sistem deteksi awal bencana.

Edukasi bencana

Kalau kita ingin melakukan edukasi bencana pada masyarakat, tentu bisa mencontoh Jepang sebagai negara dengan tingkat resiko bencana yang besar namun juga punya kesadaran antisipasi bencana terhadap warganya yang besar.

Informasi yang akurat ke masyarakat jika terjadi bencana di Jepang tidak terlepas dari laporan satelit cuaca yang secara komprehensif bisa melaporkan dan mengprediksi beberapa hari sebelumnya tentang kemungkinan terjadinya hujan keras dan badai.

Walaupun gempa bumi tidak bisa diprediksi kejadiannya tetapi hasil pengukuran gempa bumi sebagai sistem deteksi awal dapat memberikan peringatan dini kepada masyarakat untuk waspada akan terjadinya gempa-gempa susulan yang bisa berpotensi merusak.

Informasi perubahan cuaca yang ekstrim di Jepang terhubung secara cepat ke media massa utamanya TV dan internet.

Kejadian hujan keras yang berpotensi tanah longsor pada suatu tempat, maka dengan cepatnya ada informasi berupa alarm suara atau pesan yang berwarna merah berkedip-kedip di layar TV bahwa warga jangan tidur pulas karena terjadi hujan keras di suatu tempat dan berpotensi tanah longsor.

Demikian juga, jika badai akan tiba maka media massa menginformasikan bahwa segala hal yang berpotensi merusak, misalnya pipa jemuran di balkon rumah sebaiknya dipindahkan ke dalam rumah.

Hal lain yang secara reguler mereka lakukan terkait dengan penanganan bencana gempa bumi dan kebakaran adalah melakukan pengetesan sirine di gedung-gedung dan melakukan simulasi jika gempa bumi atau kebakaran terjadi.

Biasanya, simulasi gempa bumi dan kebakaran ini dilakukan setiap semester di kampus.

Mereka memberikan pemahaman tentang penyelamatan diri pada saat kejadian gempa bumi mulai terjadi.

Pemahaman itu yakni berlindung di bawah meja sampai getaran berhenti kemudian mencari jalur evakuasi gedung yang terdekat dan aman menuju titik berkumpul atau assembly points.

Serta menghindari penggunaan lift pada saat terjadi gempa bumi dan kebakaran, tetapi mencari pintu dan tangga-tangga darurat yang terdekat.

Belum lagi, mereka secara rutin memeriksa lemari dan rak-rak di dalam ruangan apakah baut-baut penyangganya masih kuat tidak roboh jika terjadi goncangan gempa bumi sehingga tidak menindih manusia atau menghalangi jalur evakuasi ke pintu keluar.

Untuk masyarakat setempat, mereka secara reguler menerima sosialisasi penanganan bencana alam baik pada saat bencana itu terjadi maupun beberapa saat setelah terjadi.

Misalnya teknik mencari tempat perlindungan sementara di bawah meja pada saat gempa bumi terjadi.

Mereka mendapatkan informasi bahwa jangan menaruh barang di balkon apartemen karena ini bisa menjadi penghalang jalur evakuasi pada saat terjadi gempa bumi.

Jalur pintu apartemen tidak bisa diandalkan sebagai jalur evakuasi dari luar karena lokasinya berada di sebelah dalam bangunan dan terkadang pintu macet terbuka pada saat terjadi kerusakan bangunan.

Mereka menerima informasi di tentang lokasi titik berkumpul dalam kondisi emergensi dan rutin menerima lumpsum berupa makanan instant, air kemasan, celana dalam sekali pakai sebagai persiapan dalam kondisi bencana maupun kondisi darurat lainnya.

Kalau semua elemen bangsa serius terhadap kemungkinan bencana alam dan bagaimana penangangannya, maka kita bisa membuat sistem edukasi bencana sendiri.

Mari menyikapi bencana alam di Indonesia sebagai tantangan hidup bersama yang mesti diantisipasi dan dicari solusinya secara menyeluruh.

Kewaspadaan dan kesiagaan terhadap bencana alam mesti tetap terjaga, bukan kepanikan yang muncul pada saat bencana alam itu terjadi. (*)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved