Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Maklumat Kapolri

Maklumat Soal FPI Cederai Kebebasan Pers, LBH Pers: Maklumat Itu Mengancam Tugas Jurnalis & Media

Menurut Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin, Maklumat Kapolri mengancam kebebasan berekspresi, termasuk di dalamnya kebebasan pers.

Editor: Rizali Posumah
NET
Ilustrasi seorang wartawan tengah meliput di lokasi kejadian satu peristiwa penting yang harus diberitakan kepada masyarakat. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Kekhawatiran muncul setelah terbitnya Maklumat Kapolri Nomor 1/Mak/I/2021.

Maklumat tersebut bicara tentang Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan FPI. 

Beberapa kalangan menganggap maklumat ini mencederai kebebasan pers.

Menurut Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin, Maklumat Kapolri mengancam kebebasan berekspresi, termasuk di dalamnya kebebasan pers.

"Kalau kebebasan berekspresi saja berpotensi dilanggar, apalagi kebebasan pers sebagai rumpun dari hak kebebasan berekspresi," kata Ade saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (2/1/2021).

Ia bersama sejumlah aliansi organisasi masyarakat sipil sepakat, beberapa materi dalam Maklumat Kapolri telah memicu kontroversi dan perdebatan. Utamanya, soal pembatasan hak asasi manusia (HAM).

Ade mengkritisi salah satu hal yang paling kontroversial dari Maklumat tersebut yaitu larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui situs maupun media sosial.

"Sebagaimana diatur oleh Poin 2d, yang disertai ancaman tindakan hukum, seperti disebutkan dalam Poin 3 Maklumat," ujarnya.

Padahal, kata Ade, akses terhadap konten internet merupakan bagian dari hak atas informasi yang dilindungi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya dalam ketentuan Pasal 28F.

Ia menambahkan, akses konten internet juga diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan seperti Pasal 14 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Oleh karena itu, Ade menilai bahwa dalam melakukan setiap tindakan pembatasan terhadap hak-hak tersebut, harus sepenuhnya tunduk pada prinsip dan kaidah pembatasan sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Selain itu, ia juga mengatakan, khusus dalam konteks pembatasan hak atas informasi, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi juga tunduk pada mekanisme yang diatur Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP).

Adapun pasal tersebut sudah sah secara hukum Indonesia yang diatur melalui UU Nomor 12 tahun 2005.

"Lebih jauh, mengacu pada Komentar Umum Nomor 34 tahun 2011 tentang Kebebasan Berekspresi, keseluruhan perlindungan hak yang dijamin oleh ketentuan Pasal 19 KIHSP, juga sepenuhnya menjangkau konten-konten yang menggunakan medium internet, termasuk dalam hal pembatasannya," kata Ade.

Menurut Ade, hal ini sejalan dengan Resolusi Dewan HAM 20/8 Tahun 2012 yang menegaskan, perlindungan hak yang dimiliki setiap orang saat offline juga melekat saat mereka online.

Ia menilai, perlindungan khususnya terkait dengan kebebasan berekspresi, berlaku tanpa melihat batasan atau sarana media yang dipilih.

"Resolusi itu kemudian diperkuat dengan keluarnya Resolusi 73/27 Majelis Umum PBB, pada 2018, yang mengingatkan pentingnya penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi," kata dia.

Sebelumnya, kritikan juga datang dari komunitas pers terhadap Maklumat Kapolri khususnya Pasal 2d.

Komunitas pers yang terdiri dari sejumlah lembaga meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Pol Idham Azis mencabut Pasal 2d dari Maklumat Kapolri Nomor: Mak/1/I/2021.

Komunitas pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Forum Pemimpin Redaksi, dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menilai, pasal tersebut mengancam tugas utama jurnalis dan media massa.

"Maklumat itu mengancam tugas jurnalis dan media, yang karena profesinya melakukan fungsi mencari dan menyebarkan informasi kepada publik, termasuk soal FPI. Hak wartawan untuk mencari informasi itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," kata sejumlah perwakilan Komunitas Pers di Jakarta seperti dilansir Antara, Jumat (1/1/2021).

Adapun Maklumat Kapolri menyebut empat hal terkait Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI).

Salah satu pasalnya yaitu Pasal 2d, dinilai komunitas pers mengancam tugas utama jurnalis dan media dalam mencari dan menyebarluaskan informasi kepada publik.

Dalam isi pasal tersebut, Kapolri meminta masyarakat untuk tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI melalui situs ataupun media sosial.

Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 4 ayat (3) UU Pers yang berbunyi "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi".

Baca juga: Pevita Pearce Sembuh dari Covid-19, Tulis Ucapan Selamat Tahun Baru di Akun Instagramnya

Baca juga: Maklumat Kapolri Pasal 2d Terkait FPI Dinilai Mengancam Tugas Jurnalis dan Media

Baca juga: 80 Pasien Gangguan Jiwa Terpapar Covid-19, RSKD Siapkan Ruang Karantina Khusus

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "LBH Pers Nilai Maklumat Kapolri soal FPI Ancam Kebebasan Berekspresi dan Pers"

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved