Indonesia Mini di Tanah Eks Transmigrasi, Mopuya Surga Toleransi
Mopuya surga toleransi, tergambar indahnya hidup bersama dalam perbedaan. Bagai oase di tengah kehidupan berbangsa yang sering diganggu intoleransi
Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Finneke Wolajan
TRIBUNMANADO.CO.ID – Lantunan azan menggema, lonceng gereja berbunyi dan bau dupa tercium. Rumah ibadah tiga agama ini berdiri berjejeran di satu lokasi. Desa Mopuya, Kecamatan Dumoga Selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara memilki warisan leluhur yang tak ternilai. Mopuya surga toleransi, di sini tergambar indahnya hidup bersama dalam perbedaan. Bagai oase di tengah kehidupan berbangsa yang acap kali diganggu intoleransi.
Khotbah Pendeta B Wahani terhenti sejenak. Saat itu adzan salat isya terdengar dari Masjid Al Muhajirin, Mopuya. Ibadah malam itu seketika hening beberapa saat. Gema adzan pun usai, Wahani melanjutkan ibadah yang ia pimpin.
Saat Wahani baru pertama kali melayani di GMIBM Imanuel Mopuya, ia tak mengindahkan suara adzan dan terus melanjutkan ibadah. Namun suatu ketika, seorang jemaat gereja berbisik kepadanya. Bisikan ini pun membuat dia sadar, ia benar-benar berada di Mopuya, daerah dengan pluralisme yang begitu mengakar. “Katanya kalau boleh pas adzan ibadah dijeda dulu,” katanya.

Mopuya memang tempat yang berbeda baginya. Puluhan tahun Wahani menjadi pendeta, ia biasanya melayani di desa yang warganya mayoritas Kristen. Namun di Mopuya, ia berada di tengah-tengah masyarakat Muslim dan Hindu. "Berhenti bukan karena terganggu, tapi toleransi. Adzannya kan hanya beberapa menit,” katanya.
Wahani terkesima dengan kebiasaan masyarakat di Mopuya. Sebagai tokoh agama, Wahani pun menjadi ujung tombak untuk terus mengingatkan semua jemaatnya agar menjaga kerukunan dengan pemeluk agama lainnya. Seperti yang telah dilakukan tokoh-tokoh agama sebelumnya. "Dalam berbagai kesempatan, saya selipkan pesan untuk terus menjaga kerukunan di sini," ucapnya. Ini adalah pengalaman Pendeta B Wahani selama melayani di GMIBM Imanuel Mopuya.
Muhammad Nuri, Imam Masjid Al Muhajirin tampak semringah bercerita bagaimana jemaahnya hidup dengan warga Kristen dan Hindu. "Kami tak saling ganggu. Tak ada kendala sama sekali," ucapnya dengan senyum tipis di bibirnya, saat berbincang di rumahnya yang berada di samping masjid.
Nuri sudah belasan tahun menjadi imam masjid di sini. Ia berujar, ketika ada Hari Raya Idul Fitri, warga Kristen maupun Hindu sama-sama menjaga keamanan dan ketertiban. Bahkan turut meramaikan perayaan tersebut. "Malah mereka sama-sama ikut malam takbiran. Kalau acara Natal diundang juga ikut perayaan. Atau acara saudara-saudara dari Hindu," ucapnya.
Tiga agama ini tak jarang beribadah di waktu yang bersamaan. Salat di masjid, ibadah di gereja, dan sembahyang di pura. "Di sini azan, di gereja bernyanyi, di pura mereka memainkan alat musik dan memasang dupa. Tak masalah, itu sudah biasa dan kami saling mengerti," ujarnya.
Nuri senang, jemaahnya makin giat ibadah, dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tingginya toleransi ini ternyata memotivasi ia dan jemaahnya untuk lebih bertaqwa. "Jadi motivasi kami untuk lebih dekat dengan Tuhan, untuk kebaikan bersama," ucapnya.
Di tiap kesempatan, Nuri selalu menyelipkan pesan damai itu Untuk lestari hingga seterusnya. "Selalu diingkatkan. Jangan sampai ada gesekan. Jaga kerukunan, wariskan pada anak dan cucu kita nanti," ungkapnya.
Agama Hindu mengerahkan pecalang untuk menjaga gereja saat ibadah Natal. Para pecalang ini berbaur dengan pemuda Muslim yang juga ikut berjaga. "Sebaliknya saat nyepi, giliran mereka yang berjaga,” kata I Ketut Kolak, Pemuka agama Hindu.
Usai ibadah natal, umat Muslim dan Umat Hindu akan bertamu di rumah umat Kristen. Sang tuan rumah menyediakan makanan yang halal bagi para tamunya. Tradisi ini sudah seusia Desa Mopuya dan terus dipelihara dari generasi ke generasi. Ketut Kolak menyebut sudah ada rasa seperti keluarga.
Warga Hindu menurutnya terpengaruh secara positif dengan tradisi berkunjung Natal dan Idul Fitri. Beberapa hari setelah nyepi, Ketut Kolak akan menyediakan jamuan bagi umat Kristen dan Muslim.

Perwujudan kerukunan di tengah kehidupan plural dapat dilihat Mopuya. Desa Mopuya merupakan contoh indahnya kerukunan di tengah perbedaan. Masjid, gereja dan pura berdiri berdampingan.
Jadwal ibadah salat lima waktu dari umat Muslim tak pernah terhambat, dari pihak gereja pun selalu memprioritaskan umat Muslim untuk beribadah. Nanti jam ibadah di gereja menyesuaikan. Sebab ibadah umat Kristiani masih bisa ditoleransi waktunya. Sementara ibadah di Pura Puseh memang tak sesering di masjid dan gereja.
Desa yang harmonis dalam keberagaman. Tidak memandang suku maupun agama, masyarakat di desa ini hidup bagaikan saudara. Tak mengherankan, pada tahun 2017, Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow menetapkan Mopuya sebagai desa sadar kerukunan.
Warga suku Minahasa memeluk Kristen, Jawa yang memeluk Islam, dan Bali memeluk Hindu. Lonceng Gereja berbunyi, lantunan Adzan yang berkumandang, juga tercium aroma dupa. Saling berdampingan, menjadi dorongan untuk tetap bersama dalam menjaga keutuhan keharmonisan. Sangat terasa suasana yang damai ketika berada di Desa Mopuya.
Hari Raya Keagamaan
Setiap tanggal 24 Desember, Faisal menyiapkan kondisinya tetap fit. Setiap malam Natal itu, Faisal bersama pemuda Muslim berjaga di gereja GMIBM Imanuel Mopuya untuk mengamankan ibadah Natal. Pun dengan ibadah tahun baru.

Jika tak benar-benar lelah, Faisal akan kembali ke Gereja esok paginya, 25 Desember, untuk kembali berjaga. Kegiatan ini sudah bertahun-tahun dilakukan Faisal dan menjadi kebanggaan tersendiri baginya. “Saya bangga ada di Mopuya. Kebanggaan ini yang akan terus saya bawa untuk melestarikan tradisi kerukunan di sini,” ujarnya.
Tak hanya pemuda berbaju koko rupanya, ada juga pemuda Hindu yang menggunakan baju khas Hindunya, sarung kotak-kotak, lengkap dengan ikat kepala. Pemuda Muslim dan Hindu berbaur mengamankan perayaan Natal tiap tahunnya. Jika hari raya muslim, pemuda Hindu dan Kristen hanya bergeser sedikit dari gereja. Masjid Al Muhajirin tepat berada di samping gereja. Pemuda Kristen yang ketika Natal berada di dalam gereja, bergantian tumpah ruah ke jalan di sekitaran masjid.
Berjaga bersama pemuda Hindu. Perayaan Hindu pun demikian. Pemuda Muslim dan Kristen hanya bergeser sedikit dari gereja dan masjid, ke Pura Puseh, mengamankan jalannya ibadah Hindu.
Mereka saling menjaga, bahkan memeriahkan perayaan keagamaan antar umat. Pawai malam takbiran ramai dengan pemuda Kristen dan Hindu yang ikut dalam konvoi. Begitu pula ketika konvoi Natal dan Tahun Baru. Saat perayaan pawai Ogoh-ogoh, ada warga non Hindu yang ke jalan, menyaksikan dan turut meramaikan pawai ini.
Kawin-mawin
Kerukunan di Mopuya terus terpelihara karena adanya ikatan kekeluargaan di antara warga. Warga telah kawin-mawin, lintas agama maupun suku. Ada orang Bali yang menikah dengan Jawa, ada orang Jawa dan Minahasa, ada orang Bali dan Minahasa. Terjadi persilangan antar suku dan agama di Mopuya.
"Ada orang bali yang sudah kawin lantas pindah agama dan sebaliknya, jadi kami terikat saudara," kata I Ketuk Kolak, pemuka agama Hindu.
Menurut I Gede Gunung warga lainnya, kawin mawin lantas pindah agama lumrah dan itu terjadi dengan mulus. "Kalau sudah saling mencintai ya mau bagaimana," katanya.
Di suatu siang, pada perayaan ritual Melasti yang berlangsung di Dumoga, seorang wanita yang jualan makanan dan minuman tampak bertegur sapa dengan umat Hindu yang menjalankan ritual. Terpantau, mereka tampak sangat akrab.

Rupanya mereka adalah keluarga, anak dan orangtua. Wanita tersebut tak lagi merayakan Melasti karena sudah memeluk agama Muslim, ikut dengan suaminya. Namun keputusannya ini tak menimbulkan gesekan di antara keluarganya. Mereka tetap menerima mereka apa adanya. “Mereka baik-baik saja, rukun-rukun saja,” ujar Faisal, kerabat keluarga tersebut, saat ditemui di ritual tersebut.
Salah seorang warga Mopuya yang beragama Muslin, Mugi, berkata hidup plural dan saling berdampingan membuat perkawinan campur tak terhindarkan. Saling pindah agama, saat sepasang kekasih memantapkan langkah ke jenjang perkawinan. Menurut Mugi, sebelum menikah pasangan itu sudah menentukan dulu agama yang akan disakralkan.
Mugi bahkan beberapa kali mengikhlaskan keponakannya menikah dengan etnis Bali menjadi Umat Hindu. Banyak juga etnis Minahasa beragama Kristiani pindah Agama Muslim. “Kalau soal pernikahan bercampur, kami sudah biasa. Bukan persoalan di sini,’’ ujarnya.
Kekuatan Mencegah Konflik Antarumat Beragama
Mopuya tetap rukun dan damai, di saat banyak daerah terancam dengan sikap intoleransi. Isu suku, agama dan ras bisa saja memecah belah bangsa, namun masyarakat Mopuya punya kekuatan untuk mencegah konflik perpecahan.
Warga Mopuya tidak mudah terpengaruh atau terprovokasi oleh hal-hal yang bisa menyebabkan pertikaian. Masyarakat Mopuya tetap berpegang teguh dan taat akan agama yang dianut. Seperti yang dikatakan salah seorang warga Wayang Luwek, dilansir dari Jurnal Kerukunan Umat Beragama di Desa Mopuya: Kajian Teologi Kerukunan Islam, Kristen, dan Hindu yang terbitkan 30 Januari 2020.
Ketika ada masalah, masyarakat tidak menyalahkan agama melainkan berfokus pada oknum. Dalam menyikapi setiap berita dan kabar yang beredar mengenai pertikaian umat beragama di luar daerah, masyarakat Mopuya menjadikan berita tersebut sebagai pelajaran untuk tetap menjaga tali persaudaraan dan kerukunan yang sudah terjalin.
Sikap toleransi, saling menghargai dan menghormati menjadi pola hidup terpenting masyarakat Mopuya sehingga terhindar dari pertikaian. Sejak tahun 1972, ketika para transmigran datang, hingga saat ini belum pernah atau tidak pernah terjadi gesekan antar umat beragama. Ada beberapa kejadian yang bersumber dari para pendatang yang diduga ingin mencoba merusak kerukunan yang ada di Mopuya. Namun semua itu boleh teratasi tanpa menyebabkan masalah.

Pemahaman masyarakat Mopuya dalam mempertahankan kerukunan yaitu dengan cara menjadi teladan buat anak-anak dan cucu-cucu dalam menumbuhkan rasa saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Mengajarkan kepada generasi muda pentingnya sikap toleransi supaya kerukunan antar umat beragama tetap berlangsung indah di Mopuya. Karena yang akan menentukan keadaan desa Mopuya ke depannya adalah anak-cucu nanti.
Masih dalam Jurnal Kerukunan Umat Beragama di Desa Mopuya: Kajian Teologi Kerukunan Islam, Kristen, dan Hindu yang terbitkan 30 Januari 2020, mengulas mengenai kerukunan dari sudut pandang agama baik Hindu, Islam dan Kristen yang menjadi dasar dalam menjalankan kehidupan. Semua agama mengajarkan bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia. Melaksanakan perintah agama dalam menciptakan perdamaian.
Ajaran Hindu mengenai penjabaran dalam berbuat, berpikir, dan berkata yang baik menjadi peganggan bagi umat Hindu dalam membangun hubungan yang baik. Dalam Islam, Ukhuwah Basyariah yang berarti persaudaraan sesama umat manusia. Dan dalam kepercayaan Kristen Protestan yang mengajarkan hukum kasih adalah kunci umat Kristiani untuk menciptakan damai sejahtera. Teologi kerukunan dari ketiga agama ini sangatlah mirip.
Hindu yang mengajarkan tentang hubungan yang baik dengan Tuhan dan menyangkut hubungan yang baik dengan manusia. Sama dengan hukum Kasih yang diajarkan oleh Kristen. Dalam Islam juga menjelaskan bagaimana umat muslim boleh menjadi rahmat bagi sesama. Kristen yang terus diajarkan mengenai berkat yang telah diberikan dan menjadi berkat buat orang lain. Dari pemahaman dan ajaran dari agama Kristen, Islam, dan Hindu masing-masing memberikan pedoman kepada umatnya untuk melakukan yang terbaik kepada semua orang.
Sejarah Desa Mopuya
Desa Mopuya merupakan daerah transmigrasi yang berada di Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow. Berdasarkan catatan Humas Pemkab Bolmong, ada empat gelombang transmigrasi di Desa Mopuya yaitu tahun 1972 dengan jumlah Kepala Keluarga 100, tahun 1973 dengan 300 kepala keluarga, tahun 1974 100 kepala keluarga, dan di tahun 1975 yaitu dengan 100 kepala keluarga. Gelombang keempat yang datang adalah transmigrasi dari Bali.
Suatu ketika pada bulan September 1972, sekitar 100 Kepala Keluarga dari Bojonegoro dan Banyuwangi di Jawa Timur berangkat menuju Pelabuhan Inobonto, Bolaang Mongondouw dengan kapal laut. Mereka adalah para transmigran yang akan ditempatkan di Desa Mopuya Selatan, Kecamatan Dumoga Utara.
Pada tanggal 18 Sepertember 1972, gelombang pertama yang dipimpin oleh Tohirin (Purn) yang berjumlah 100 kepala keluarga tiba di desa Mopuya. Di dalammnya terdapat 34 kepala keluarga umat Kristen yang berasal dari Gereja Kristen Jawi Wetan Jemaat Tolongrejo, desa Tolongrejo kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur.
Daerah baru ini masih hutan belantara, namun pemerintah telah menyiapkan rumah-rumah dengan tipe rumah sangat sederhana untuk mereka. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka bercocok tanam jagung dan kedelai.
Selain orang Jawa, di Mopuya juga terdapat orang Bali. Warga Bali ini mulai banyak ke luar dari daerahnya setelah meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963. Di Dumoga, mereka tersebar di beberapa desa, termasuk Mopuya. Kala itu, jumlah transmigran 1.549 jiwa (349 KK) dan ditempatkan di Desa Werdhi Agung. Para transmigran berikutnya ditempatkan di Desa Kembang Mertha pada tahu 1964, Mopuya tahun 1972/1975, Mopugad tahun 1973/1975, Tumokang tahun 1971/1972, Sangkub tahun 1981/1982,Onggunoi tahun 1983/1984,Torosik tahun 1983/1984, dan Pusian/Serasi tahun 1992/1993.
Ide Membangun Rumah Ibadah
Seiring berjalannya waktu, lalu muncul ide dari pemerintah membangun rumah ibadah untuk semua agama yang ada. Awalnya tempat ibadah di Mopuya hanya ada satu bangunan, yaitu gudang logistik. Gudang ini digunakan sebagai tempat masyarakat untuk beribadah.Baik itu dari Kristen, Hindu, dan Muslim.
Pada hari Jumat dipakai umat Muslim untuk salat, dan Minggu dijadikan tempat ibadah bagi umat Kristen untuk beribadah, begitupun dipakai oleh umat Hindu sebagai tempat ibadah dalam perayaan hari raya besar seperti Hari Raya Nyepi. Jadi satu bangunan itu digunakan sebagai tempat ibadah dari tiga agama.
Pada tahun 1973, mulailah membangun tempat ibadah. Masing-masing agama mendapat 2.500 meter persegi. Untuk umat Muslim ditambah 2.500 meter persegi lagi untuk membangun madrasah. Jadilah enam rumah ibadah yakni Masjid Al Muhajirin, Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow anggota PGI Jemaat Immanuel Mopuya, Pura Puseh Umat Hindu. Serta Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya, dan Gereja Pantekosta yang letaknya tak sedekat tiga rumah ibadah tersebut.
Sampai sekarang masyarakat yang tinggal di Mopuya bukan hanya dari suku Jawa dan Bali saja, melainkan Minahasa, Sanger, dan Mongondow.
Lambang Kemakmuran
Dataran Dumoga memang kaya. Daerah ini menjadi lumbung berasnya Sulawesi Utara. Tanahnya subur dan kaya. Kandungan perut bumi Dumoga membuatnya tersohor karena begitu kaya mineral berharga. Sebanyak 56 persen total produksi di Sulawesi Utara ada di Bolaang Mongondow. Mopuya sendiri adalah lumbung beras di Bolaang Mongondow.

Sebagian besar penduduk Mopuya adalah petani. Mopuya pun melejit menjadi lambang kemakmuran petani. Patung petani yang berada tepat di tengah-tengah desa, menandai kemakmuran tersebut. Hasil panen dari desa-desa sekitarnya singgah sebelum diangkut ke kota. Meski hanya kampung, Mopuya berperan seperti kota kecil, lengkap dengan pasar dan kantor kecamatan.
Seperti pantauan tribunmanado.co.id, Waktu menunjukkan pukul 16.00 Wita. Warga yang menggunakan tolu dan boots, serta baju yang terlihat berbecek mondar-mandir di jalan desa. Baik mereka yang naik mobil ladbak terbuka atau pun dengan sepeda motor. Itu rupanya waktunya para petani pulang bersawah. Sejauh mata memandang, sawah memang terlihat di Mopuya.
Masyarakat terus mempertahankan simbol pluralisme nan unik di tanah eks transmigrasi ini. Mopuya bak Indonesia mini dengan kehidupan pluralnya. Semua pihak mulai dari anak-anak hingga orang dewasa telah diajarkan untuk hidup damai tanpa memandang perbedaan. Memberi pesan damai bagi tiap orang yang melihatnya. Pesan damai dari Mopuya untuk Indonesia.
Kerukunan dan Ancaman Konflik di Bumi Nyiur Melambai
Sulawesi Utara atau dikenal dengan sebutan Bumi Nyiur Melambai adalah daerah yang menjunjung tinggi kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Di saat ada daerah yang berkonflik karena perbedaan, Sulut tetap kokoh mempertahankan kerukunan. Meskipun secara geografis Sulawesi Utara diapit oleh wilayah-wilayah rawan konflik. Semisal konflik berkepanjangan di Poso, Sulawesi Tengah yang berbau Sara, juga daerah yang berbatasan langsung dengan Filipina di mana ada aksi terorisme di Mindanao. Namun toleransi sudah menjadi jati diri daerah terutara Indonesia ini. Itu sebabnya kerukunan warga dari berbagai latar belakang tetap terjaga.
Sulawesi Utara memiliki lembaga yang di dalamnya tergabung rohaniawan yang terus berupaya menciptakan suasana aman, rukun dan kondusif. Dua lembaga tersebut yakni Badan Kerja Sama Antar Umat Beragama (BKSAUA) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Pastor, gembala, pandita, imam dan para pemimpin umat beragama berperan besar dalam menciptakan suasana aman dan kondusif. Pemimpin umat beragama ini memanfaatkan mimbar masing-masing untuk mengajak umatnya untuk terus memelihara kebersamaan dan kerukunan, serta menjadika Sulawesi Utara sebagai rumah bersama.
Pemerintah terus menggaungkan sikap toleransi dalam setiap acara pemerintah. Acara-acara keagamaan telah masuk dalam kalendar tahunan pemerintah. Ketika Natal, nuansa Natal akan terlihat di mana-mana. Begitu pula ketika Imlek, bernuansa merah khas warga yang merayakan. Saat Idul Fitri, hiasan ketupat maupun beduk mengganti hiasan hari raya keagamaan lainnya. Selain hiasan, dalam acara resmi pemerintah untuk perayaan hari besar keagamaan, melibatkan masyarakat dan tokoh lintas agama.
Daerah toleran bukan berarti tak menghadapi ancaman perpecahan. Seperti peristiwa pada 16 Oktober 2018 lalu, yang nyaris pecah menjadi konflik Sara. Terjadi penghadangan Habib Bahar Bin Smith oleh organisasi masyarakat adat Minahasa. Situasi ini memancing amarah dua belah pihak. Komentar-komentar di media sosial memanas. Warga sudah saling menuding, namun banyak juga komentar yang menyejukkan agar tak terpancing dengan kondisi tersebut.
Bara api yang nyaris menyala itu akhirnya padam, tak terjadi konflik berkelanjutan atas aksi penghadangan tersebut. Tokoh-tokoh agama dan pemerintah langsung turun tangan untuk meredam emosi warga yang terlanjur terpancing karena peristiwa tersebut. Ada pernyataan-pernyataan yang menyejukkan dari para tokoh.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Utara, KH Abdul Wahab Abdul menyerukan masyarakat Sulawesi Utara agar terus menjaga kerukunan dan toleransi antar umat beragama yang selama ini telah terjalin baik. Jangan sampai nila setitik merusak susu sebelanga, jangan perbuatan segelintir orang memancing sikap intoleransi.
Penghadangan Habib Bahar Bin Smitn menurutnya hanya soal isu yang ditanggapi tanpa mengecek kebenarannya. Seharusnya jika mendatangkan tokoh di Sulawesi Utara gelar pertemuan dulu. "Tokoh ini mau datang, tanggapannya gimana. Apakah ceramahnya bisa memersatukan umat atau malah memecah belah. Memang pihak penyelenggara tidak konsultasi dengan MUI. Makanya saya tak tahu," ucapnya.
Ia mengatakan jangan mendatangkan penceramah di Sulut yang intoleran, yang bisa memecah belah, yang mengandung Sara. Warga Sulawesi Utara tak menerima penceramah intoleran. "Jika datangkan penceramah dari luar, harus tahu materi apa yang disajikan. Yang mengandung persatuan dan kesatuan, NKRI harga mati. Dan yang pasti yang mendekatkan diri pada Allah," ujarnya.
Tokoh Gereja Masehi Injili di Minahasa juga angkat bicara. Wakil Ketua Bidang Ajaran Pembinaan dan Pengembalaan Sinode GMIM Pendeta Anthonius Dan Sompe salut kepada warga Sulawesi Utara yang di dalamnya GMIM secara historis teruji dan tidak mudah terprovokasi oleh isu yang muncul dari dalam maupun di luar. Peran pemerintah dan agama di dalamnya gereja, menurutnya memberi posisi sentral untuk terus menjaga kerukunan.
Perwakilan Ormas adat Minahasa mengatakan aksi penolakan Bahar Bin Smith karena agamanya, tapi karena dia dinilai sebagai tokoh intoleran, anti NKRI. Sementara masyarakat Sulawesi Utara menolak kelompok intoleran yang bisa memecah kerukunan yang selama ini telah terjaga. Ormas adat Minahasa bukan menolak acara tabligh akbar yang diselenggarakan umat Muslim, namun tak terima dengan kehadiran Bahar Bin Smith yang menurut mereka anti NKRI.
Untuk menghangatkan lagi hubungan persaudaraan, Habib Muhammad bin Smith, kakak Habib Bahar datang ke Manado, tak lama setelah peristiwa itu. Kedatangan Habib disambut penuh hangat oleh tokoh adat Minahasa. Tarian Kabasaran ikut mengawal kedatangan sang tokoh Islam asal Sulawesi Utara ini.
Paman dari Habib Bahar ini sangat paham dengan falsafah orang Minahasa, yakni “Pakatuan Wo Pakalawiren. Menurutnya toleransi antar umat beragama di Sulut telah berlangsung lama. Ia mengumpamakan toleransi di Sulut bak air yang mengalir di lautan. “Kita semua basudara (bersaudara), rukun dan damai,” kata dia. Smith datang untuk meluruskan permasalahan beberapa waktu lalu. Ia menilai ada salah paham.
Habib mengaku terharu dengan penerimaan ormas adat Minahasa di Bandara Samrat. “Saya bertemu dan salaman dengan para pemimpin suku Minahasa,” kata dia. Mengenai ceramah yang akan dilaksanakannya di Manado, Habib menyatakan, isinya tentang menebar salam dan keselamatan. Ia berharap kerukunan antarumat beragama di Manado tetap terjalin mesra.
Tokoh ormas adat Minahasa, Tonaas Wangko Pendeta Hanny Pantouw menyatakan penyambutan Habib dilaksanakan untuk meluruskan opini yang beredar pasca penolakan beberapa waktu lalu. “Seolah diplesetkan bahwa orang Manado antiagama tertentu padahal tidak seperti itu,” kata dia. Menurutnya aksi itu penting demi perdamaian nasional. Ia mengakui sempat beredar hoaks yang menyebut Manado intoleran. “Dengan ini kita buktikan bahwa Sulut aman,” kata dia.
Ada berbagai kisah dan peristiwa yang menjadi bagian dari dinamika kehidupan warga Sulawesi Utara yang majemuk. Kehidupan di Mopuya hanya satu di antara banyaknya kisah inspiratif. Bukan berarti tak menemui ancaman perpecahan, namun eratnya toleransi dan kekeluargaan dapat meredam konflik. (tribunmanado.co.id/finneke wolajan)