Indonesia Mini di Tanah Eks Transmigrasi, Mopuya Surga Toleransi
Mopuya surga toleransi, tergambar indahnya hidup bersama dalam perbedaan. Bagai oase di tengah kehidupan berbangsa yang sering diganggu intoleransi
Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Finneke Wolajan
Selain orang Jawa, di Mopuya juga terdapat orang Bali. Warga Bali ini mulai banyak ke luar dari daerahnya setelah meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963. Di Dumoga, mereka tersebar di beberapa desa, termasuk Mopuya. Kala itu, jumlah transmigran 1.549 jiwa (349 KK) dan ditempatkan di Desa Werdhi Agung. Para transmigran berikutnya ditempatkan di Desa Kembang Mertha pada tahu 1964, Mopuya tahun 1972/1975, Mopugad tahun 1973/1975, Tumokang tahun 1971/1972, Sangkub tahun 1981/1982,Onggunoi tahun 1983/1984,Torosik tahun 1983/1984, dan Pusian/Serasi tahun 1992/1993.
Ide Membangun Rumah Ibadah
Seiring berjalannya waktu, lalu muncul ide dari pemerintah membangun rumah ibadah untuk semua agama yang ada. Awalnya tempat ibadah di Mopuya hanya ada satu bangunan, yaitu gudang logistik. Gudang ini digunakan sebagai tempat masyarakat untuk beribadah.Baik itu dari Kristen, Hindu, dan Muslim.
Pada hari Jumat dipakai umat Muslim untuk salat, dan Minggu dijadikan tempat ibadah bagi umat Kristen untuk beribadah, begitupun dipakai oleh umat Hindu sebagai tempat ibadah dalam perayaan hari raya besar seperti Hari Raya Nyepi. Jadi satu bangunan itu digunakan sebagai tempat ibadah dari tiga agama.
Pada tahun 1973, mulailah membangun tempat ibadah. Masing-masing agama mendapat 2.500 meter persegi. Untuk umat Muslim ditambah 2.500 meter persegi lagi untuk membangun madrasah. Jadilah enam rumah ibadah yakni Masjid Al Muhajirin, Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow anggota PGI Jemaat Immanuel Mopuya, Pura Puseh Umat Hindu. Serta Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya, dan Gereja Pantekosta yang letaknya tak sedekat tiga rumah ibadah tersebut.
Sampai sekarang masyarakat yang tinggal di Mopuya bukan hanya dari suku Jawa dan Bali saja, melainkan Minahasa, Sanger, dan Mongondow.
Lambang Kemakmuran
Dataran Dumoga memang kaya. Daerah ini menjadi lumbung berasnya Sulawesi Utara. Tanahnya subur dan kaya. Kandungan perut bumi Dumoga membuatnya tersohor karena begitu kaya mineral berharga. Sebanyak 56 persen total produksi di Sulawesi Utara ada di Bolaang Mongondow. Mopuya sendiri adalah lumbung beras di Bolaang Mongondow.

Sebagian besar penduduk Mopuya adalah petani. Mopuya pun melejit menjadi lambang kemakmuran petani. Patung petani yang berada tepat di tengah-tengah desa, menandai kemakmuran tersebut. Hasil panen dari desa-desa sekitarnya singgah sebelum diangkut ke kota. Meski hanya kampung, Mopuya berperan seperti kota kecil, lengkap dengan pasar dan kantor kecamatan.
Seperti pantauan tribunmanado.co.id, Waktu menunjukkan pukul 16.00 Wita. Warga yang menggunakan tolu dan boots, serta baju yang terlihat berbecek mondar-mandir di jalan desa. Baik mereka yang naik mobil ladbak terbuka atau pun dengan sepeda motor. Itu rupanya waktunya para petani pulang bersawah. Sejauh mata memandang, sawah memang terlihat di Mopuya.
Masyarakat terus mempertahankan simbol pluralisme nan unik di tanah eks transmigrasi ini. Mopuya bak Indonesia mini dengan kehidupan pluralnya. Semua pihak mulai dari anak-anak hingga orang dewasa telah diajarkan untuk hidup damai tanpa memandang perbedaan. Memberi pesan damai bagi tiap orang yang melihatnya. Pesan damai dari Mopuya untuk Indonesia.
Kerukunan dan Ancaman Konflik di Bumi Nyiur Melambai
Sulawesi Utara atau dikenal dengan sebutan Bumi Nyiur Melambai adalah daerah yang menjunjung tinggi kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Di saat ada daerah yang berkonflik karena perbedaan, Sulut tetap kokoh mempertahankan kerukunan. Meskipun secara geografis Sulawesi Utara diapit oleh wilayah-wilayah rawan konflik. Semisal konflik berkepanjangan di Poso, Sulawesi Tengah yang berbau Sara, juga daerah yang berbatasan langsung dengan Filipina di mana ada aksi terorisme di Mindanao. Namun toleransi sudah menjadi jati diri daerah terutara Indonesia ini. Itu sebabnya kerukunan warga dari berbagai latar belakang tetap terjaga.
Sulawesi Utara memiliki lembaga yang di dalamnya tergabung rohaniawan yang terus berupaya menciptakan suasana aman, rukun dan kondusif. Dua lembaga tersebut yakni Badan Kerja Sama Antar Umat Beragama (BKSAUA) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Pastor, gembala, pandita, imam dan para pemimpin umat beragama berperan besar dalam menciptakan suasana aman dan kondusif. Pemimpin umat beragama ini memanfaatkan mimbar masing-masing untuk mengajak umatnya untuk terus memelihara kebersamaan dan kerukunan, serta menjadika Sulawesi Utara sebagai rumah bersama.
Pemerintah terus menggaungkan sikap toleransi dalam setiap acara pemerintah. Acara-acara keagamaan telah masuk dalam kalendar tahunan pemerintah. Ketika Natal, nuansa Natal akan terlihat di mana-mana. Begitu pula ketika Imlek, bernuansa merah khas warga yang merayakan. Saat Idul Fitri, hiasan ketupat maupun beduk mengganti hiasan hari raya keagamaan lainnya. Selain hiasan, dalam acara resmi pemerintah untuk perayaan hari besar keagamaan, melibatkan masyarakat dan tokoh lintas agama.
Daerah toleran bukan berarti tak menghadapi ancaman perpecahan. Seperti peristiwa pada 16 Oktober 2018 lalu, yang nyaris pecah menjadi konflik Sara. Terjadi penghadangan Habib Bahar Bin Smith oleh organisasi masyarakat adat Minahasa. Situasi ini memancing amarah dua belah pihak. Komentar-komentar di media sosial memanas. Warga sudah saling menuding, namun banyak juga komentar yang menyejukkan agar tak terpancing dengan kondisi tersebut.
Bara api yang nyaris menyala itu akhirnya padam, tak terjadi konflik berkelanjutan atas aksi penghadangan tersebut. Tokoh-tokoh agama dan pemerintah langsung turun tangan untuk meredam emosi warga yang terlanjur terpancing karena peristiwa tersebut. Ada pernyataan-pernyataan yang menyejukkan dari para tokoh.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Utara, KH Abdul Wahab Abdul menyerukan masyarakat Sulawesi Utara agar terus menjaga kerukunan dan toleransi antar umat beragama yang selama ini telah terjalin baik. Jangan sampai nila setitik merusak susu sebelanga, jangan perbuatan segelintir orang memancing sikap intoleransi.
Penghadangan Habib Bahar Bin Smitn menurutnya hanya soal isu yang ditanggapi tanpa mengecek kebenarannya. Seharusnya jika mendatangkan tokoh di Sulawesi Utara gelar pertemuan dulu. "Tokoh ini mau datang, tanggapannya gimana. Apakah ceramahnya bisa memersatukan umat atau malah memecah belah. Memang pihak penyelenggara tidak konsultasi dengan MUI. Makanya saya tak tahu," ucapnya.
Ia mengatakan jangan mendatangkan penceramah di Sulut yang intoleran, yang bisa memecah belah, yang mengandung Sara. Warga Sulawesi Utara tak menerima penceramah intoleran. "Jika datangkan penceramah dari luar, harus tahu materi apa yang disajikan. Yang mengandung persatuan dan kesatuan, NKRI harga mati. Dan yang pasti yang mendekatkan diri pada Allah," ujarnya.
Tokoh Gereja Masehi Injili di Minahasa juga angkat bicara. Wakil Ketua Bidang Ajaran Pembinaan dan Pengembalaan Sinode GMIM Pendeta Anthonius Dan Sompe salut kepada warga Sulawesi Utara yang di dalamnya GMIM secara historis teruji dan tidak mudah terprovokasi oleh isu yang muncul dari dalam maupun di luar. Peran pemerintah dan agama di dalamnya gereja, menurutnya memberi posisi sentral untuk terus menjaga kerukunan.
Perwakilan Ormas adat Minahasa mengatakan aksi penolakan Bahar Bin Smith karena agamanya, tapi karena dia dinilai sebagai tokoh intoleran, anti NKRI. Sementara masyarakat Sulawesi Utara menolak kelompok intoleran yang bisa memecah kerukunan yang selama ini telah terjaga. Ormas adat Minahasa bukan menolak acara tabligh akbar yang diselenggarakan umat Muslim, namun tak terima dengan kehadiran Bahar Bin Smith yang menurut mereka anti NKRI.
Untuk menghangatkan lagi hubungan persaudaraan, Habib Muhammad bin Smith, kakak Habib Bahar datang ke Manado, tak lama setelah peristiwa itu. Kedatangan Habib disambut penuh hangat oleh tokoh adat Minahasa. Tarian Kabasaran ikut mengawal kedatangan sang tokoh Islam asal Sulawesi Utara ini.
Paman dari Habib Bahar ini sangat paham dengan falsafah orang Minahasa, yakni “Pakatuan Wo Pakalawiren. Menurutnya toleransi antar umat beragama di Sulut telah berlangsung lama. Ia mengumpamakan toleransi di Sulut bak air yang mengalir di lautan. “Kita semua basudara (bersaudara), rukun dan damai,” kata dia. Smith datang untuk meluruskan permasalahan beberapa waktu lalu. Ia menilai ada salah paham.
Habib mengaku terharu dengan penerimaan ormas adat Minahasa di Bandara Samrat. “Saya bertemu dan salaman dengan para pemimpin suku Minahasa,” kata dia. Mengenai ceramah yang akan dilaksanakannya di Manado, Habib menyatakan, isinya tentang menebar salam dan keselamatan. Ia berharap kerukunan antarumat beragama di Manado tetap terjalin mesra.
Tokoh ormas adat Minahasa, Tonaas Wangko Pendeta Hanny Pantouw menyatakan penyambutan Habib dilaksanakan untuk meluruskan opini yang beredar pasca penolakan beberapa waktu lalu. “Seolah diplesetkan bahwa orang Manado antiagama tertentu padahal tidak seperti itu,” kata dia. Menurutnya aksi itu penting demi perdamaian nasional. Ia mengakui sempat beredar hoaks yang menyebut Manado intoleran. “Dengan ini kita buktikan bahwa Sulut aman,” kata dia.
Ada berbagai kisah dan peristiwa yang menjadi bagian dari dinamika kehidupan warga Sulawesi Utara yang majemuk. Kehidupan di Mopuya hanya satu di antara banyaknya kisah inspiratif. Bukan berarti tak menemui ancaman perpecahan, namun eratnya toleransi dan kekeluargaan dapat meredam konflik. (tribunmanado.co.id/finneke wolajan)