Indonesia Mini di Tanah Eks Transmigrasi, Mopuya Surga Toleransi
Mopuya surga toleransi, tergambar indahnya hidup bersama dalam perbedaan. Bagai oase di tengah kehidupan berbangsa yang sering diganggu intoleransi
Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Finneke Wolajan
Mugi bahkan beberapa kali mengikhlaskan keponakannya menikah dengan etnis Bali menjadi Umat Hindu. Banyak juga etnis Minahasa beragama Kristiani pindah Agama Muslim. “Kalau soal pernikahan bercampur, kami sudah biasa. Bukan persoalan di sini,’’ ujarnya.
Kekuatan Mencegah Konflik Antarumat Beragama
Mopuya tetap rukun dan damai, di saat banyak daerah terancam dengan sikap intoleransi. Isu suku, agama dan ras bisa saja memecah belah bangsa, namun masyarakat Mopuya punya kekuatan untuk mencegah konflik perpecahan.
Warga Mopuya tidak mudah terpengaruh atau terprovokasi oleh hal-hal yang bisa menyebabkan pertikaian. Masyarakat Mopuya tetap berpegang teguh dan taat akan agama yang dianut. Seperti yang dikatakan salah seorang warga Wayang Luwek, dilansir dari Jurnal Kerukunan Umat Beragama di Desa Mopuya: Kajian Teologi Kerukunan Islam, Kristen, dan Hindu yang terbitkan 30 Januari 2020.
Ketika ada masalah, masyarakat tidak menyalahkan agama melainkan berfokus pada oknum. Dalam menyikapi setiap berita dan kabar yang beredar mengenai pertikaian umat beragama di luar daerah, masyarakat Mopuya menjadikan berita tersebut sebagai pelajaran untuk tetap menjaga tali persaudaraan dan kerukunan yang sudah terjalin.
Sikap toleransi, saling menghargai dan menghormati menjadi pola hidup terpenting masyarakat Mopuya sehingga terhindar dari pertikaian. Sejak tahun 1972, ketika para transmigran datang, hingga saat ini belum pernah atau tidak pernah terjadi gesekan antar umat beragama. Ada beberapa kejadian yang bersumber dari para pendatang yang diduga ingin mencoba merusak kerukunan yang ada di Mopuya. Namun semua itu boleh teratasi tanpa menyebabkan masalah.

Pemahaman masyarakat Mopuya dalam mempertahankan kerukunan yaitu dengan cara menjadi teladan buat anak-anak dan cucu-cucu dalam menumbuhkan rasa saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Mengajarkan kepada generasi muda pentingnya sikap toleransi supaya kerukunan antar umat beragama tetap berlangsung indah di Mopuya. Karena yang akan menentukan keadaan desa Mopuya ke depannya adalah anak-cucu nanti.
Masih dalam Jurnal Kerukunan Umat Beragama di Desa Mopuya: Kajian Teologi Kerukunan Islam, Kristen, dan Hindu yang terbitkan 30 Januari 2020, mengulas mengenai kerukunan dari sudut pandang agama baik Hindu, Islam dan Kristen yang menjadi dasar dalam menjalankan kehidupan. Semua agama mengajarkan bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia. Melaksanakan perintah agama dalam menciptakan perdamaian.
Ajaran Hindu mengenai penjabaran dalam berbuat, berpikir, dan berkata yang baik menjadi peganggan bagi umat Hindu dalam membangun hubungan yang baik. Dalam Islam, Ukhuwah Basyariah yang berarti persaudaraan sesama umat manusia. Dan dalam kepercayaan Kristen Protestan yang mengajarkan hukum kasih adalah kunci umat Kristiani untuk menciptakan damai sejahtera. Teologi kerukunan dari ketiga agama ini sangatlah mirip.
Hindu yang mengajarkan tentang hubungan yang baik dengan Tuhan dan menyangkut hubungan yang baik dengan manusia. Sama dengan hukum Kasih yang diajarkan oleh Kristen. Dalam Islam juga menjelaskan bagaimana umat muslim boleh menjadi rahmat bagi sesama. Kristen yang terus diajarkan mengenai berkat yang telah diberikan dan menjadi berkat buat orang lain. Dari pemahaman dan ajaran dari agama Kristen, Islam, dan Hindu masing-masing memberikan pedoman kepada umatnya untuk melakukan yang terbaik kepada semua orang.
Sejarah Desa Mopuya
Desa Mopuya merupakan daerah transmigrasi yang berada di Provinsi Sulawesi Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow. Berdasarkan catatan Humas Pemkab Bolmong, ada empat gelombang transmigrasi di Desa Mopuya yaitu tahun 1972 dengan jumlah Kepala Keluarga 100, tahun 1973 dengan 300 kepala keluarga, tahun 1974 100 kepala keluarga, dan di tahun 1975 yaitu dengan 100 kepala keluarga. Gelombang keempat yang datang adalah transmigrasi dari Bali.
Suatu ketika pada bulan September 1972, sekitar 100 Kepala Keluarga dari Bojonegoro dan Banyuwangi di Jawa Timur berangkat menuju Pelabuhan Inobonto, Bolaang Mongondouw dengan kapal laut. Mereka adalah para transmigran yang akan ditempatkan di Desa Mopuya Selatan, Kecamatan Dumoga Utara.
Pada tanggal 18 Sepertember 1972, gelombang pertama yang dipimpin oleh Tohirin (Purn) yang berjumlah 100 kepala keluarga tiba di desa Mopuya. Di dalammnya terdapat 34 kepala keluarga umat Kristen yang berasal dari Gereja Kristen Jawi Wetan Jemaat Tolongrejo, desa Tolongrejo kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur.
Daerah baru ini masih hutan belantara, namun pemerintah telah menyiapkan rumah-rumah dengan tipe rumah sangat sederhana untuk mereka. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka bercocok tanam jagung dan kedelai.