Indonesia Mini di Tanah Eks Transmigrasi, Mopuya Surga Toleransi
Mopuya surga toleransi, tergambar indahnya hidup bersama dalam perbedaan. Bagai oase di tengah kehidupan berbangsa yang sering diganggu intoleransi
Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Finneke Wolajan
Desa yang harmonis dalam keberagaman. Tidak memandang suku maupun agama, masyarakat di desa ini hidup bagaikan saudara. Tak mengherankan, pada tahun 2017, Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow menetapkan Mopuya sebagai desa sadar kerukunan.
Warga suku Minahasa memeluk Kristen, Jawa yang memeluk Islam, dan Bali memeluk Hindu. Lonceng Gereja berbunyi, lantunan Adzan yang berkumandang, juga tercium aroma dupa. Saling berdampingan, menjadi dorongan untuk tetap bersama dalam menjaga keutuhan keharmonisan. Sangat terasa suasana yang damai ketika berada di Desa Mopuya.
Hari Raya Keagamaan
Setiap tanggal 24 Desember, Faisal menyiapkan kondisinya tetap fit. Setiap malam Natal itu, Faisal bersama pemuda Muslim berjaga di gereja GMIBM Imanuel Mopuya untuk mengamankan ibadah Natal. Pun dengan ibadah tahun baru.

Jika tak benar-benar lelah, Faisal akan kembali ke Gereja esok paginya, 25 Desember, untuk kembali berjaga. Kegiatan ini sudah bertahun-tahun dilakukan Faisal dan menjadi kebanggaan tersendiri baginya. “Saya bangga ada di Mopuya. Kebanggaan ini yang akan terus saya bawa untuk melestarikan tradisi kerukunan di sini,” ujarnya.
Tak hanya pemuda berbaju koko rupanya, ada juga pemuda Hindu yang menggunakan baju khas Hindunya, sarung kotak-kotak, lengkap dengan ikat kepala. Pemuda Muslim dan Hindu berbaur mengamankan perayaan Natal tiap tahunnya. Jika hari raya muslim, pemuda Hindu dan Kristen hanya bergeser sedikit dari gereja. Masjid Al Muhajirin tepat berada di samping gereja. Pemuda Kristen yang ketika Natal berada di dalam gereja, bergantian tumpah ruah ke jalan di sekitaran masjid.
Berjaga bersama pemuda Hindu. Perayaan Hindu pun demikian. Pemuda Muslim dan Kristen hanya bergeser sedikit dari gereja dan masjid, ke Pura Puseh, mengamankan jalannya ibadah Hindu.
Mereka saling menjaga, bahkan memeriahkan perayaan keagamaan antar umat. Pawai malam takbiran ramai dengan pemuda Kristen dan Hindu yang ikut dalam konvoi. Begitu pula ketika konvoi Natal dan Tahun Baru. Saat perayaan pawai Ogoh-ogoh, ada warga non Hindu yang ke jalan, menyaksikan dan turut meramaikan pawai ini.
Kawin-mawin
Kerukunan di Mopuya terus terpelihara karena adanya ikatan kekeluargaan di antara warga. Warga telah kawin-mawin, lintas agama maupun suku. Ada orang Bali yang menikah dengan Jawa, ada orang Jawa dan Minahasa, ada orang Bali dan Minahasa. Terjadi persilangan antar suku dan agama di Mopuya.
"Ada orang bali yang sudah kawin lantas pindah agama dan sebaliknya, jadi kami terikat saudara," kata I Ketuk Kolak, pemuka agama Hindu.
Menurut I Gede Gunung warga lainnya, kawin mawin lantas pindah agama lumrah dan itu terjadi dengan mulus. "Kalau sudah saling mencintai ya mau bagaimana," katanya.
Di suatu siang, pada perayaan ritual Melasti yang berlangsung di Dumoga, seorang wanita yang jualan makanan dan minuman tampak bertegur sapa dengan umat Hindu yang menjalankan ritual. Terpantau, mereka tampak sangat akrab.

Rupanya mereka adalah keluarga, anak dan orangtua. Wanita tersebut tak lagi merayakan Melasti karena sudah memeluk agama Muslim, ikut dengan suaminya. Namun keputusannya ini tak menimbulkan gesekan di antara keluarganya. Mereka tetap menerima mereka apa adanya. “Mereka baik-baik saja, rukun-rukun saja,” ujar Faisal, kerabat keluarga tersebut, saat ditemui di ritual tersebut.
Salah seorang warga Mopuya yang beragama Muslin, Mugi, berkata hidup plural dan saling berdampingan membuat perkawinan campur tak terhindarkan. Saling pindah agama, saat sepasang kekasih memantapkan langkah ke jenjang perkawinan. Menurut Mugi, sebelum menikah pasangan itu sudah menentukan dulu agama yang akan disakralkan.