Indonesia Mini di Tanah Eks Transmigrasi, Mopuya Surga Toleransi
Mopuya surga toleransi, tergambar indahnya hidup bersama dalam perbedaan. Bagai oase di tengah kehidupan berbangsa yang sering diganggu intoleransi
Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Finneke Wolajan
TRIBUNMANADO.CO.ID – Lantunan azan menggema, lonceng gereja berbunyi dan bau dupa tercium. Rumah ibadah tiga agama ini berdiri berjejeran di satu lokasi. Desa Mopuya, Kecamatan Dumoga Selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara memilki warisan leluhur yang tak ternilai. Mopuya surga toleransi, di sini tergambar indahnya hidup bersama dalam perbedaan. Bagai oase di tengah kehidupan berbangsa yang acap kali diganggu intoleransi.
Khotbah Pendeta B Wahani terhenti sejenak. Saat itu adzan salat isya terdengar dari Masjid Al Muhajirin, Mopuya. Ibadah malam itu seketika hening beberapa saat. Gema adzan pun usai, Wahani melanjutkan ibadah yang ia pimpin.
Saat Wahani baru pertama kali melayani di GMIBM Imanuel Mopuya, ia tak mengindahkan suara adzan dan terus melanjutkan ibadah. Namun suatu ketika, seorang jemaat gereja berbisik kepadanya. Bisikan ini pun membuat dia sadar, ia benar-benar berada di Mopuya, daerah dengan pluralisme yang begitu mengakar. “Katanya kalau boleh pas adzan ibadah dijeda dulu,” katanya.

Mopuya memang tempat yang berbeda baginya. Puluhan tahun Wahani menjadi pendeta, ia biasanya melayani di desa yang warganya mayoritas Kristen. Namun di Mopuya, ia berada di tengah-tengah masyarakat Muslim dan Hindu. "Berhenti bukan karena terganggu, tapi toleransi. Adzannya kan hanya beberapa menit,” katanya.
Wahani terkesima dengan kebiasaan masyarakat di Mopuya. Sebagai tokoh agama, Wahani pun menjadi ujung tombak untuk terus mengingatkan semua jemaatnya agar menjaga kerukunan dengan pemeluk agama lainnya. Seperti yang telah dilakukan tokoh-tokoh agama sebelumnya. "Dalam berbagai kesempatan, saya selipkan pesan untuk terus menjaga kerukunan di sini," ucapnya. Ini adalah pengalaman Pendeta B Wahani selama melayani di GMIBM Imanuel Mopuya.
Muhammad Nuri, Imam Masjid Al Muhajirin tampak semringah bercerita bagaimana jemaahnya hidup dengan warga Kristen dan Hindu. "Kami tak saling ganggu. Tak ada kendala sama sekali," ucapnya dengan senyum tipis di bibirnya, saat berbincang di rumahnya yang berada di samping masjid.
Nuri sudah belasan tahun menjadi imam masjid di sini. Ia berujar, ketika ada Hari Raya Idul Fitri, warga Kristen maupun Hindu sama-sama menjaga keamanan dan ketertiban. Bahkan turut meramaikan perayaan tersebut. "Malah mereka sama-sama ikut malam takbiran. Kalau acara Natal diundang juga ikut perayaan. Atau acara saudara-saudara dari Hindu," ucapnya.
Tiga agama ini tak jarang beribadah di waktu yang bersamaan. Salat di masjid, ibadah di gereja, dan sembahyang di pura. "Di sini azan, di gereja bernyanyi, di pura mereka memainkan alat musik dan memasang dupa. Tak masalah, itu sudah biasa dan kami saling mengerti," ujarnya.
Nuri senang, jemaahnya makin giat ibadah, dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tingginya toleransi ini ternyata memotivasi ia dan jemaahnya untuk lebih bertaqwa. "Jadi motivasi kami untuk lebih dekat dengan Tuhan, untuk kebaikan bersama," ucapnya.
Di tiap kesempatan, Nuri selalu menyelipkan pesan damai itu Untuk lestari hingga seterusnya. "Selalu diingkatkan. Jangan sampai ada gesekan. Jaga kerukunan, wariskan pada anak dan cucu kita nanti," ungkapnya.
Agama Hindu mengerahkan pecalang untuk menjaga gereja saat ibadah Natal. Para pecalang ini berbaur dengan pemuda Muslim yang juga ikut berjaga. "Sebaliknya saat nyepi, giliran mereka yang berjaga,” kata I Ketut Kolak, Pemuka agama Hindu.
Usai ibadah natal, umat Muslim dan Umat Hindu akan bertamu di rumah umat Kristen. Sang tuan rumah menyediakan makanan yang halal bagi para tamunya. Tradisi ini sudah seusia Desa Mopuya dan terus dipelihara dari generasi ke generasi. Ketut Kolak menyebut sudah ada rasa seperti keluarga.
Warga Hindu menurutnya terpengaruh secara positif dengan tradisi berkunjung Natal dan Idul Fitri. Beberapa hari setelah nyepi, Ketut Kolak akan menyediakan jamuan bagi umat Kristen dan Muslim.

Perwujudan kerukunan di tengah kehidupan plural dapat dilihat Mopuya. Desa Mopuya merupakan contoh indahnya kerukunan di tengah perbedaan. Masjid, gereja dan pura berdiri berdampingan.
Jadwal ibadah salat lima waktu dari umat Muslim tak pernah terhambat, dari pihak gereja pun selalu memprioritaskan umat Muslim untuk beribadah. Nanti jam ibadah di gereja menyesuaikan. Sebab ibadah umat Kristiani masih bisa ditoleransi waktunya. Sementara ibadah di Pura Puseh memang tak sesering di masjid dan gereja.