Hari Sumpah Pemuda
Sosok Johanna Masdani Tumbuan, Perempuan Asal Minahasa yang Jadi Salah Satu Pengikrar Sumpah Pemuda
Johanna Tumbuan, yang ketika itu masih berusia 18. Di hari kelahiran Sumpah Pemuda itu, Johanna hadir mewakili sayap pemudi Jong Minahasa.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Sumpah Pemuda selalu diperingati setiap 28 Oktober setiap tahunnya.
Hari Sumpah Pemuda lahir pada 28 Oktober 1928 silam.
Biasanya untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda, rakyat Indonesia akan mengumandangkan ikrar / Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda merupakan hasil rumusan dari Kongres Pemuda II.

Sumpah Pemuda merupakan peristiwa penting sebagai tonggak yang kelak melahirkannya bangsa Indonesia.
Para pemuda dari seluruh penjuru Nusantara kala itu berkumpul untuk bersatu melalui Kongres Pemuda II.
Mereka berikrar satu tujuan bertekad melawan kolonial serta mewujudkan cita-cita untuk bersatu.
Dari sekian banyak orang muda yang ikut serta dalam momen peringatan itu ada sosok Nona Purnomowulan, Nona Tumbel.
Wage Rudolf Supratman tersenyum lebar ketika mendapati banyak perempuan yang hadir dalam Kongres Pemuda Indonesia II pada 27-28 Oktober 1928.
Menurut pengamatannya, jumlah pengunjung perempuan jauh meningkat dibanding saat Kongres Pemuda I dua tahun sebelumnya.
Baca juga: 13 Orang yang Ikut Membuat Teks Sumpah Pemuda, Nomor 7 Pasti Banyak yang Kenal
Bambang Sularto dalam memoar Wage Rudolf Supratman (1980: 40) mengisahkan kegiatan Supratman di siang hari selama berlangsungnya kongres kedua.
Supratman sempat berkeliling sambil membuat catatan mengenai jumlah peserta perempuan yang ditemuinya.
Paling tidak ada sepuluh perempuan yang hadir dan empat orang di antaranya sudah dikenalnya dengan baik.
Mereka adalah Nona Purnomowulan, Nona Tumbel, Siti Soendari, dan Suwarni Pringgodigdo.
Namun ternyata masih ada beberapa nama yang tidak dikenal oleh Supratman.
Salah satunya Johanna Tumbuan, yang ketika itu masih berusia 18.
Di hari kelahiran Sumpah Pemuda itu, Johanna hadir mewakili sayap pemudi Jong Minahasa.
Dua tahun sebelumnya, Johanna adalah seorang gadis yang berbeda.

Ia tak seperti siswa-siswa MULO lainnya yang antusias menyambut Kongres Pemuda I di Batavia pada April 1926.
Banyak kawan-kawan MULO-nya yang tertarik terjun ke organisasi. Johanna justru sebaliknya, ia tidak peduli.
Orang tua Johanna memang ingin agar anak gadis satu-satunya itu fokus menuntut ilmu, lalu pulang kampung ke Sulawesi Utara menjadi perempuan berpendidikan kebanggaan keluarga.
Sebagai anak orang kaya, Johanna dididik untuk tidak perlu memikirkan segala urusan pergerakan, apalagi melawan pemerintah kolonial.
Sikap Johanna mulai berubah tatkala berjumpa dengan mahasiswa STOVIA bernama Masdani. Dari Masdani, Johanna mulai belajar tentang arti pergerakan.
Bersama-sama, mereka sering mengkoordinasi gerakan-gerakan sosial dan terlibat dalam pertemuan pemuda.
Ujung-ujungnya, mereka pun berpacaran dan menikah di Jakarta pada 1942.
Berkat ajakan Masdani pula Johanna berkesempatan menjadi salah satu dari sepuluh perempuan pengikrar Sumpah Pemuda.
Dari situ, aktivitas pergerakan Johanna berlanjut sepanjang masa Revolusi.
Baca juga: 2 Tokoh Penting Sumpah Pemuda yang Dieksekusi Karena Dianggap Pemberontak, PKI & Darul Islam
Jasanya yang paling besar ialah memprakarsai pembangunan Tugu Peringatan Proklamasi Kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat, pada 1946.
Merantau dan Membabat Sekat Sukuisme
Johanna Nanap Tumbuan lahir di Amurang, Sulawesi Utara, pada 29 November 1910.
Ia merupakan putri seorang juragan perkebunan kelapa bernama Alexander Tumbuan.
Sejak kecil Johanna dibesarkan dalam keluarga elite yang mendidik anak mereka secara Barat.
Sebagai anak perempuan satu-satunya, Johanna sangat dimanja kedua orang tuanya, terutama oleh sang ibu, Henriette Mosal.
“Ibu memperlakukan saya seperti porselen,” ujar Johanna dalam sebuah wawancara dengan majalah Gatra (2/11/1998).
Menjadi perempuan dari keluarga kaya dan terpandang menuntut Johanna untuk jadi orang terpelajar.
Setelah menamatkan pendidikan dasar di Amurang, Johanna dikirim merantau ke Batavia pada 1926.
Dimulailah hari-hari Johanna sebagai siswi sekolah menengah Christelijke MULO di Jalan Kwini.
Di tahun pertamanya menuntut ilmu, Johanna tidak kekurangan suatu apapun.
Dia hidup enak. Setiap hari pergi ke sekolah kemudian pulang ke asrama yang nyaman tanpa membawa beban. “Tiap bulan saya dikirimi uang cukup.
Dua ratus gulden lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan di Jakarta,” aku Johanna.
Kehidupan Johanna yang serba monoton berubah 180 derajat tatkala mulai berpacaran dengan Masdani, seorang pemuda Jawa yang sedang menuntut ilmu kedokteran di STOVIA.
Perlahan tapi pasti, Johanna terpengaruh sikap kekasihnya yang simpatik dan revolusioner itu.
Tak butuh waktu lama sampai Johanna akhirnya mau bergabung ke dalam organisasi kepanduan Indonesische Nationale Padvinders Organisatie (INPO) dan aktif di Jong Minahasa sedari 1927.
Di luar dugaan, Johanna menikmati bergaul dengan pemuda dan pemudi dari berbagai suku bangsa, khususnya Jawa.
Dari sekian banyak kegiatan amalnya, Johanna belajar banyak jenis adat dan kesenian Jawa.
Dalam pertunjukan amal untuk korban meletusnya Gunung Merapi tahun 1931, ia pernah tampil sebagai tokoh Chandra Kirana dan mengenakan kemben.
Rupanya, pertunjukan Johanna mendapat perhatian dari seorang wartawan.
Foto-foto Johanna berbusana Jawa pun masuk ke surat kabar dan tiba di atas meja sarapan Alexander di Amurang.
Sang ayah marah, terlebih ketika mengetahui putrinya berpacaran dengan orang Jawa.
“Saat itu, sukuisme kuat sekali. Saya hanya boleh menikah dengan sesama Manado dari keluarga terpandang,” kenang Johanna kepada Gatra.