Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

UU Cipta Kerja

PROJO Kutuk Keras Pelaku Kerusuhan: 'Tak Setuju UU Cipta Kerja, Ajukan Judicial Review ke MK'

PROJO menyerukan kepada masyarakat agar penyampaian kritik, masukan, atau ketidaksetujuan terhadap substansi UU Cipta Kerja secara konstitusional.

Editor:
TRIBUN MEDAN/DANIL SIREGAR
TRIBUN MEDAN/DANIL SIREGAR Pengunjuk rasa melemparkan kembali gas air mata ke aparat kepolisian saat aksi menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law di depan Gedung DPRD Sumut, Medan, Kamis (8/10/2020). Aksi demontrasi dari berbagai lembaga di Medan tersebut berujung bentrok dengan aparat kepolisian. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Unjuk rasa tolak Undang Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Menurut informasi yang ada, sebagian unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja berakhir ricuh.

Hal ini pun mendapat tanggapan dari berbagai pihak.

Mencermati situasi terkini setelah pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja di DPR pada Senin lalu, DPP PROJO, dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, kemenyampaikan pernyataan sikap.

PROJO menyerukan kepada masyarakat agar penyampaian kritik, masukan, atau ketidaksetujuan terhadap substansi UU Cipta Kerja dilakukan secara konstitusional melalui saluran hukum yang ada.

PROJO meyakini bahwa segala masukan dan tanggapan tersebut untuk kebaikan bangsa dan negara.

Kondisi pandemi Covid-19 membutuhkan kebersamaan segenap komponen bangsa untuk mengatasinya. UU Cipta Kerja menjadi salah satu upaya mengatasinya.

Kericuhan terjadi saat demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di kawasan Istana Negara, Jakarta, Kamis (8/10/2020).
Kericuhan terjadi saat demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di kawasan Istana Negara, Jakarta, Kamis (8/10/2020). (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Atas dasar tersebut di atas, DPP PROJO menyatakan sebagai berikut:

  • PROJO mengutuk keras pelaku tindak kerusuhan dan perusakan fasilitas umum yang diduga menyusupi demonstrasi berbagai kelompok mahasiswa dan buruh di sejumlah wilayah.
  • Mendesak aparat penegak hukum menindak tegas pelaku dan aktor intelektual serta penyandang dana di balik tindakan anarkistis tersebut.
  • Mendukung pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik
  • Ketidaksetujuan terhadap substansi UU Cipta Kerja dapat diuji melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
  • Menyerukan kepada kader dan simpatisan PROJO di seluruh Tanah Air agar menahan diri dan tetap bergotong-royong mengatasi pandemi Covid-19.
Massa pengunjuk rasa yang menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja memblokir jalan dengan membakar sejumlah fasilitas di Jalan Gubernur Suryo, Kota Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020). Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di depan Gedung Grahadi Surabaya berakhir ricuh.
Massa pengunjuk rasa yang menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja memblokir jalan dengan membakar sejumlah fasilitas di Jalan Gubernur Suryo, Kota Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020). Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di depan Gedung Grahadi Surabaya berakhir ricuh. (Surya/Ahmad Zaimul Haq (Surya/Ahmad Zaimul Haq))

Delapan poin yang mendapat sorotan dalam UU Cipta Kerja, yakni:

1. Masifnya kerja kontrak

Dalam Pasal 59 ayat 1 huruf b disebutkan bahwa pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Pergantian batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi "tidak terlalu lama" bisa menyebabkan pengusaha leluasa menafsirkan frasa tersebut.

Berdasarkan Pasal 59 ayat 4, pengaturan mengenai perpanjangan PKWT dialihkan untuk diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Sementara itu, pelanggaran penerapan kerja kontrak selama ini cenderung tidak pernah diusut secara serius oleh pemerintah.

Dengan demikian, PP yang akan dibentuk ke depan sangat berpotensi memperburuk jaminan kepastian kerja.

2. Outsourcing pada semua jenis pekerjaan

Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktik outsourcing hanya dibatasi pada jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi.

Batasan ini kemudian dihapuskan oleh UU Cipta Kerja. Padahal, praktik kerja outsourcing selama ini hanya menguntungkan perusahaan dan berimbas pada pengurangan hak-hak buruh.

 3. Jam lembur yang semakin eksploitatif

Pada Pasal 78, batasan maksimal jam lembur dari awalnya maksimal tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.

Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding mengingat upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

4. Menghapus hak istirahat dan cuti

Berdasarkan Pasal 79, hak istirahat selama dua hari kepada pekerja yang bekerja dalam lima hari seminggu dihapus.

Hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal enam tahun juga dihapus oleh UU Cipta Kerja.

5. Gubernur tak wajib menetapkan upah minimum kabupaten/kota

Berdasarkan Pasal 88C UU, disebutkan bahwa gubernur “dapat” menetapkan upah minimum kabupaten/kota.

Artinya, tidak ada kewajiban hukum bagi gubernur untuk menetapkan UMK.

Dengan demikian, kepastian adanya jaminan upah minimum yang selama ini dinarasikan sebagai “jaring pengaman sosial” terancam.

Ketentuan pengupahan yang termuat dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan juga diadopsi oleh UU Cipta Kerja yang mengakibatkan semakin kokohnya cengkeraman mekanisme pasar dalam penentuan upah.

6. Peran negara dalam mengawasi praktik PHK sepihak diminimalisasi

Sebelumnya, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat kewajiban pengusaha untuk meminta penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial saat melakukan PHK kepada buruh.

 Hal ini, kendati sering dilanggar, penting guna memastikan terpenuhinya hak-hak buruh saat terjadi PHK.

Namun, UU Cipta Kerja menghapuskan ketentuan ini.

7. Berkurangnya hak pesangon

Berkurangnya hak itu karena penggabungan atau pengambilalihan perusahaan, perusahaan tutup, sakit berkepanjangan, dan meninggal dunia.

Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, dinyatakan berhak atas pesangon sebanyak dua kali lipat dari perhitungan berdasarkan masa kerja, kini dihapus UU Cipta Kerja.

8. Perusahaan makin mudah melakukan PHK sepihak

Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003, diatur bahwa PHK kepada pekerja yang mangkir atau melanggar peraturan perusahaan diatur syarat yang cukup ketat.

Namun, ketentuan ini dihapus oleh UU Cipta Kerja. Hal ini akan mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK dengan alasan yang tidak obyektif.

Hal ini juga membuat pengurus dan anggota serikat buruh sangat potensial untuk mengalami PHK sepihak oleh perusahaan.

Berdasarkan temuan tersebut, FBLP mendesak agar UU Cipta Kerja dibatalkan.

"UU Cipta Kerja, sebagaimana telah mendapatkan kritikan sebelumnya, juga merupakan serangan pada masyarakat luas, petani, nelayan, masyarakat adat, kaum miskin kota, perempuan, pemuda, pelajar, mahasiswa, dan lainnya. Karena itu, kami menyatakan sikap, batalkan UU Cipta Kerja sekarang juga," kata Jumisih. (*)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kutuk Pelaku Kerusuhan, Projo: Yang Tak Setuju UU Cipta Kerja, Silakan Ajukan Judicial Review ke MK dan Kompas.com Dari Kontrak Seumur Hidup hingga PHK Sepihak, Ini 8 Poin UU Cipta Kerja yang Jadi Sorotan Buruh

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved