UU Cipta Kerja
PROJO Kutuk Keras Pelaku Kerusuhan: 'Tak Setuju UU Cipta Kerja, Ajukan Judicial Review ke MK'
PROJO menyerukan kepada masyarakat agar penyampaian kritik, masukan, atau ketidaksetujuan terhadap substansi UU Cipta Kerja secara konstitusional.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Unjuk rasa tolak Undang Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Menurut informasi yang ada, sebagian unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja berakhir ricuh.
Hal ini pun mendapat tanggapan dari berbagai pihak.
Mencermati situasi terkini setelah pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja di DPR pada Senin lalu, DPP PROJO, dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, kemenyampaikan pernyataan sikap.
PROJO menyerukan kepada masyarakat agar penyampaian kritik, masukan, atau ketidaksetujuan terhadap substansi UU Cipta Kerja dilakukan secara konstitusional melalui saluran hukum yang ada.
PROJO meyakini bahwa segala masukan dan tanggapan tersebut untuk kebaikan bangsa dan negara.
Kondisi pandemi Covid-19 membutuhkan kebersamaan segenap komponen bangsa untuk mengatasinya. UU Cipta Kerja menjadi salah satu upaya mengatasinya.

Atas dasar tersebut di atas, DPP PROJO menyatakan sebagai berikut:
- PROJO mengutuk keras pelaku tindak kerusuhan dan perusakan fasilitas umum yang diduga menyusupi demonstrasi berbagai kelompok mahasiswa dan buruh di sejumlah wilayah.
- Mendesak aparat penegak hukum menindak tegas pelaku dan aktor intelektual serta penyandang dana di balik tindakan anarkistis tersebut.
- Mendukung pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik
- Ketidaksetujuan terhadap substansi UU Cipta Kerja dapat diuji melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
- Menyerukan kepada kader dan simpatisan PROJO di seluruh Tanah Air agar menahan diri dan tetap bergotong-royong mengatasi pandemi Covid-19.

Delapan poin yang mendapat sorotan dalam UU Cipta Kerja, yakni:
1. Masifnya kerja kontrak
Dalam Pasal 59 ayat 1 huruf b disebutkan bahwa pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Pergantian batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya "tiga tahun" sebagai salah satu kriteria perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi "tidak terlalu lama" bisa menyebabkan pengusaha leluasa menafsirkan frasa tersebut.
Berdasarkan Pasal 59 ayat 4, pengaturan mengenai perpanjangan PKWT dialihkan untuk diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Sementara itu, pelanggaran penerapan kerja kontrak selama ini cenderung tidak pernah diusut secara serius oleh pemerintah.
Dengan demikian, PP yang akan dibentuk ke depan sangat berpotensi memperburuk jaminan kepastian kerja.