Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

G30S

Hasil Wawancara DN Aidit saat Masih Hidup, Ubah Nama Jabatan di PKI Gara-gara Ditanya Orang Manado

Alasan DN Aidit Pilih PKI Dibanding Partai Lain, Ubah Nama Jabatan Gara-gara Ditanya Warga Manado

Editor: Aldi Ponge
Life
DN Aidit Pentolan PKI yang Diburu TNI AD Setelah G30SPKI 

 Kepada anak-anaknya, sering ia berceritera tentang pemimpin-pemimpin masa itu seperti Soekarno, Hatta, pemuka-pemuka lain yang banyak dibuang ke Digul.

Mereka itu orang pandai-pandai. Ini berkesan pada Aidit kecil.

DN Aidit dan Presiden Soekarno.
DN Aidit dan Presiden Soekarno. (Antara)

Nama ayahnya Abdullah Aidit, seorang buruh perkebunan tamatan sekolah HIS. Dipa Nusantara Aidit kelahiran Medan tanggal 30 Juni 1923.

Kemudian keluarganya pindah ke Belitung dan di sanalah ia menamatkan sekolah dasar.

Saudaranya empat dengan dia, semuanya lelaki: Basri, Sobron, Murad, dan D.N. Aidit.

Semuanya pengikut Marx dan Lenin, hanya ada yang aktif ada yang tidak. Ibunya meninggal tatkala bung Aidit berumur 6 tahun.

Di Belitung ada tambang. Sering bung Aidit bersama teman-temannya masuk ke tambang sampai 200 m di bawah tanah.

Kontras antara kehidupan buruh dan majikan berkesan padanya.

Begitu pula nasib yang dialami ayahnya. Sekalipun pendidikannya lebih tinggi, ia tetap buruh, sedangkan kepalanya, orang Belanda yang lulus sekolah dasar saja tidak, lagi tolol dalam pekerjaan.

Abdullah Aidit oleh anaknya dilukiskan sebagai seorang Muslim liberal. Liberal dalam arti membiarkan anak-anaknya memilih ideologi, lapangan hidup dan kawan hidup menurut kehendak mereka sendiri-sendiri.

Sekitar tahun 1937 bung Aidit tiba di Jakarta, masuk sekolah dagang sambil mengikuti kursus bahasa-bahasa asing. Karena biaya macet, tidak sampai tamat.

Malahan pernah ia bekerja sebagai pembuat lubang kancing pada tukang jahit. Katanya, ia pun suka sekali ke museum membaca buku-buku.

Ganyangannya buku-buku sosiologi dari penulis-penulis bukan Marxis, Adler, Vierkandt, Max Weber, Le Bon, Rolandhols, Kautzky, adalah beberapa nama yang ia sebutkan.

Pandangan mereka tak memuaskan hatinya. Berlainan halnya tatkala ia membaca buku Manifesto Komunis dan buku-buku Marx dan Lenin lainnya.

Penderitaan lenyap apabila kelas-kelas itu lenyap. Tetapi untuk meniadakan kelas-kelas itu, justru dibutuhkan kesadaran kelas untuk dipertentangkan menjadi “perang kelas”.

Sumber: Grid.ID
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved