Pengkhianatan G30S PKI
Pengkhianatan G30S/PKI, Pierre Tendean Ajudan Jenderal AH Nasution Diculik Pasukan Tjakrabirawa
Tak lama lagi Indonesia akan diingatkan dengan peristiwa G30S/PKI. Dalam sejara tercatat beberapa insiden kelam dalam perjalanan Republik Indonesia.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Tak lama lagi Indonesia akan diingatkan dengan peristiwa G30S/PKI.
Dalam sejara tercatat beberapa insiden kelam dalam perjalanan Republik Indonesia.
Seperti yang diketahui dalam aksi tersebut membuat para Jenderal TNI menjadi korban.
• Pertarungan Pilkada Minut Sengit, Tiga Paslon Saling Klaim Kemenangan
• Karier Sabtu 26 September 2020, Ramalan Zodiak Besok Cancer Sebaiknya Tidak Menyerah, Leo Ada Bahaya
• Kecelakaan Lalu Lintas Tadi Pukul 09.48 WIB, Mobil Avanza Terbalik di Jalan Tol Usai Pecah Ban
Sejarah mencatat, peristiwa G30S/PKI menjadi momen kelam dalam perjalanan Republik Indonesia.
Pasukan bersenjata yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI), melakukan operasi penculikan sejumlah jenderal TNI.
Oknum dari Pasukan Tjakrabirawa itu tak pandang bulu.
Mereka menembak mati sejumlah orang dalam melaksanakan operasi tersebut.
Tragedi berdarah G30S/PKI itu juga memupuskan harapan The Rising Star di lingkungan TNI AD, Lettu Pierre Tendean untuk menikah dengan wanita pujaan hatinya.
Pesta pernikahan yang rencananya digelar di Medan, Sumatera Utara batal terwujud.
Ajudan Jenderal AH Nasution itu dibunuh dan jasadnya dibuang ke Lubang Buaya, kawasan Jakarta Timur.
Lettu Pierre Tendean, pada masanya dikenal sebagai The Rising Star di lingkungan TNI AD.
Inilah jejak Lettu Pierre Tendean hingga menjadi ajudan Jenderal AH Nasution:
Pierre Andries Tendean, merupakan anak dari pasangan AL Tendean, seorang dokter dari Minahasa, dan ME Cornet, wanita Indo berdarah Prancis.
Sejak kecil, Pierre Tendean selalu memiliki tekad menjadi seorang tentara.
Namun, orang tuanya sempat lebih mengarahkan Pierre Tendean untuk menjadi seorang dokter atau insinyur.
Walaupun begitu, Pierre Andreas Tendean tetap teguh pada tekadnya menjadi TNI.
Ia masuk Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada 1958 dan lulus pada 1961.
Setelah lulus, Pierre Andreas Tendean berpangkat letnan dua.
Setahun bertugas di Medan, Pierre Tendean pun menjalani pendidikan intelijen di Bogor.
Usai mengenyam pendidikan intelijen Pierre Andreas Tendean menjadi seorang mata-mata.
Ia sempat ditugaskan melakukan penyusupan saat adanya konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Berkat kerja keras dan kemampuannya, Pierre Andreas Tendean dipandang sebagai Trhe Rising Star TNI.
Hal ini terbukti dari berebutnya tiga jenderal untuk menjadikan Pierre Tendean sebagai ajudan.
Mereka adalah Jenderal AH Nasution, Jenderal Hartawan, dan Jenderal Kadarsan.
Dari ketiga jenderal itu, Jenderal AH Nasution-lah yang mendapatkan sosok Pierre Tendean.
Hal ini disebabkan Jenderal AH Nasution disebut-sebut sangat menginginkan Pierre Tendean menjadi ajudannya.
Akhirnya, Pierre Tendean pun menggantikan ajudan sebelumnya, Kapten Manullang.
Adapun Kapten Manullang gugur saat bertugas di Kongo untuk menjaga perdamaian.
Pierre Andreas Tendean dipromosikan sebagai Letnan Satu (Lettu).
Lettu Pierre Tendean pun menjadi ajudan termuda Jenderal AH Nasution.
Pada usia 26 tahun, ia sudah mengawal sang jenderal ternama.
Tidak hanya mengawal Jenderal AH Nasution, Lettu Pierre Tendean pun akrab dengan putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma Suryani.
Potret berdua mereka bahkan terpajang di Museum AH Nasution.
Namun, segala kecemerlangan dalam bidang militer dan masa depan cerah Lettu Pierre Tendean harus berakhir.
Saat itu 30 September 1965, Lettu Pierre Tendean biasanya pulang ke Semarang merayakan ulang tahun sang ibu.
Namun, ia menunda kepulangannya karena tugasnya sebagai pengawal Jenderal AH Nasution.
Ia tengah beristirahat di ruang tamu, di rumah Jenderal AH Nasution, Jalan Teuku Umar Nomor 40, Jakarta Pusat.
Namun, waktu istirahatnya terganggu karena ada keributan. Lettu Pierre Tendean pun bergegas mencari sumber keributan itu.
Ternyata keributan itu berasal dari segerombol orang.

Disebutkan bahwa orang-orang yang datang ke rumah AH Nasution adalah pasukan Tjakrabirawa. Mereka pun menodongkan senjata pada Lettu Pierre Tendean.
Lettu Pierre Tendean tak bisa berkutik. Ia dikepung pasukan itu.
Demi melindungi atasan, Lettu Pierre Tendean menyebut dirinya sebagai Jenderal AH Nasution.
"Saya Jenderal AH Nasution," ujarnya.
Akhirnya, Pierre Tendean yang dikira Jenderal AH Nasution langsung diculik.
Sementara itu, nyawa putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma, tak tertolong karena tertembak.
Pada akhirnya, Lettu Pierre Tendean harus gugur di tangan orang-orang yang menyerangnya.
Meski Pierre Tendean tak lagi bernyawa, kakinya diikat lalu dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya.
Pada usianya yang masih muda, Lettu Pierre Tendean tinggal menjadi kenangan dalam peristiwa mengerikan itu.
Kematiannya memberikan luka mendalam terhadap keluarganya.
Padahal, pada November 1965, Lettu Pierre Tendean dijadwalkan akan menikahi wanita pujannya, Rukmini Chaimin. Pernikahan The Rising Star itu rencananya digelar di Medan.
Takdir berkata lain. Ia diculik demi melindungi atasannya, sehingga berakhir tragis di lubang buaya.
Sebagai bentuk penghormatan, Pierre Tendean mendpat kenaikan pangkat menjadi kapten.
Kapten Pierre Tendean pun ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada 5 Oktober 1965.(*)
Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul G30S/PKI - Kisah Pilu Pierre Tendean Batal Nikah di Medan, Berani Ngaku Sebagai Jenderal AH Nasution, https://medan.tribunnews.com/2020/09/25/g30spki-kisah-pilu-pierre-tendean-batal-nikah-di-medan-berani-ngaku-sebagai-jenderal-ah-nasution?page=all.