NEWS
WHO Pastikan Calon Vaksin Corona AstraZeneca dan Moderna jadi Kandidat Terdepan
Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan mengatakan, kandidat vaksin corona yang dikembangkan Moderna juga tidak jauh di belakang Astrazeneca.
TRIBUNMANAD.CO.ID - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut ratusan kandidat vaksin corona (Covid-19), calon vaksin yang dikembangkan AstraZeneca merupakan kandidat terkemuka dunia dan paling maju dalam hal pengembangan.
Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan mengatakan, kandidat vaksin corona yang dikembangkan Moderna juga tidak jauh di belakang Astrazeneca.
Menurut Swaminathan, dari sekitar 200 kandidat vaksin corona, 15 diantaranya telah memasuki uji klinis.
"WHO sedang dalam pembicaraan dengan beberapa produsen China, termasuk Sinovac tentang vaksin potensial," ujar Swaminathan seperti dikutip Reuters, Jumat (26/6).
Swaminathan menyerukan agar mempertimbangkan untuk berkolaborasi dalam uji coba vaksin corona, mirip dengan uji coba Solidaritas WHO yang sedang berlangsung untuk obat-obatan.
Pendanaan
Koalisi pimpinan WHO melawan pandemi corona meminta donor pemerintah dan sektor swasta untuk membantu mengumpulkan dana US$ 31,3 miliar dalam 12 bulan ke depan untuk mengembangkan dan memberikan tes, perawatan, dan vaksin untuk penyakit tersebut.
Dana sebanyak US$ 3,4 miliar telah dikontribusikan untuk koalisi sampai saat ini, sehingga masih kurang pendanaan US$ 27,9 miliar.
WHO bekerja sama dengan koalisi besar organisasi pengembangan obat, pendanaan dan distribusi di bawah apa yang disebutnya ACT-Accelerator Hub.
Inisiatif ini dimaksudkan untuk mengembangkan dan memberikan 500 juta tes corona dan 245 juta program pengobatan baru untuk penyakit ini ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada pertengahan 2021.
WHO juga berharap 2 miliar dosis vaksin, termasuk 1 miliar yang akan dibeli oleh negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, akan tersedia pada akhir tahun 2021.
Terapi Plasma Konvalesen Bukan Mencegah Covid-19
Terapi plasma konvalesen bukan mencegah penularan virus corona (Covid-19).
Hal ini ditegaskan oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Indonesia.
"Dia (terapi plasma konvalesen) tidak menggantikan vaksin," kata Direktur LBM Eijkman Prof. Amin Soebandrio dalam siaran BNPB, Jumat (26/6/2020).
Maka Amin meminta masyarakat agar tidak menggunakan metode tersebut sebagai cara pencegahan Covid-19.
"Artinya masyarakat jangan beranggapan oh ini ada saudara atau teman saya yang baru sembuh, terus disuntikkan darahnya ke tubuh, lalu kita bebas dari yang serangan, itu anggapan yang keliru," lanjutnya.
Pasalnya, plasma konvalesen ini adalah imunisasi pasif, yang artinya antibodi sudah terbentuk dari luar lewat darah pasien yang sudah sembuh dari Covid-19, untuk kemudian ditransferkan kepada penderita Covid-19 yang masih dirawat.
"Kalau imunisasi aktif itu yang vaksinasi, yang menggunakan vaksin lalu merangsang pembentukan antibodi dalam tubuh. Jadi itu berbeda," kata Amin.
Meskipun vaksin belum ditemukan, Amin menyebut pendekatan ini bisa dijalankan jika ada penderita maupun pasien sembuh.
"Setelah dipastikan semua aman dan cocok untuk pasiennya, nanti diberikan plasmanya ke pasien yang masih sedang dirawat atau dalam keadaan berat," kata Amin.
"Karena plasma ini bisa mengeliminasi dan memobilisasi virusnya, maka diharapkan lingkaran infeksi itu akan di terputuskan, sehingga pasien bisa terhindar dari serangan virus itu kemudian memperbaiki jaringannya yang sudah rusak dan sistem imunnya. Jika satu komponen dari lingkaran itu bisa diputus, maka yang lainnya diharapkan menjadi lebih baik," pungkasnya.(*)