Hendropriyono
Mantan Kepala BIN Sebut Sultan Hamid II Pengkhianat, Tak Pantas Jadi Pahlawan, Ini Alasannya
menghina Sultan Hamid II yang tidak layak disebut pahlawan karena dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa dalam sebuah video.
Sultan Hamid II lahir pada 12 Juli 1913.
Ayahnya adalah Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie (Sultan Keenam/VI) dan ibunya adalah Syecha Jamilah Syarwani.
Menurut beberapa sumber, Sultan Hamid II menempuh pendidikan ELS (sekolah dasar) di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung.
HBS (sekolah lanjutan tingkat pertama) di Bandung satu tahun, THS (sekolah tinggi teknik) di Bandung, namun tidak tamat.
Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Breda, Belanda, hingga tamat dan meraih pangkat Letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Di era federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat.
Sultan Hamid II pernah memperoleh jabatan "Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden", yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai Asisten Ratu Kerajaan Belanda dan menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Ia pernah menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di masa Presiden Soekarno (Republik Indonesia Serikat), dan Ketua BFO atau Permusyawaratan Negara-negara Federal dalam Konferensi Meja Bundar.
Namun, namanya pun dianggap tersangkut dalam Peristiwa Westerling Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), meski berdasarkan putusan Mahkamah Agung Tahun 1953, meski di kemudian hari, tuduhan itu tidak terbukti.
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) adalah milisi dan tentara swasta pro-Belanda yang didirikan pada masa Revolusi Nasional Indonesia.
Milisi ini didirikan oleh mantan Kapten DST KNIL Raymond Westerling setelah demobilisasinya dari kesatuan Depot Speciale Troepen (depot pasukan khusus KNIL) pada tanggal 09 Januari 1949
Pada 5 April 1950, Sultan Hamid II ditangkap.
Kemudian dijatuhi hukuman penjara 10 tahun, lalu mendapat potongan masa tahanan tiga tahun.
Tahun 1962, ia kembali ditahan setelah dibebaskan pada tahun 1958.
Bersama sejumlah tokoh lain, ia dituduh terlibat konspirasi untuk melakukan tindakan subversif terhadap negara.
Pada Jumat (12/7) sore, tepat satu abad peringatan kelahiran Sultan Hamid II, diluncurkan sebuah buku tentang biografi politik sang sultan.
Judulnya, "Sang Perancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila".
Buku setebal 600 halaman itu digarap bertiga oleh Turiman Fachturachman Nur, Nur Iskandar dan Dimyati Anshari.
Tokoh nasional asal Kalbar, Oesman Sapta mengatakan, Sultan Hamid II merupakan tokoh yang besar dengan rakyat.
Ia punya pengalaman dengan Sultan Hamid II saat bertamu di Jakarta 45 tahun silam.
"Saya pernah disuruh membangunkan beliau, padahal ada tamu, tapi sang sekretaris beliau, tidak berani membangunkan," ujar Oesman Sapta.
Turiman menegaskan, hingga kini belum ada pengakuan secara hukum kepada Sultan Hamid II selaku perancang lambang negara Indonesia.
"Siapa pencipta lagu Indonesia Raya, penjahit bendera Pusaka Sangsaka Merah Putih, pencipta lagu Garuda Pancasila, semua bisa menjawab.
Tetapi, siapa perancang lambang negara, tidak ada yang bisa menjawab," kata Turiman Fachturachman.
Ia berharap, buku tersebut dapat menggugah kesadaran berbangsa mengenai Sultan Hamid II yang hingga kini karyanya masih menjadi salah satu alat pemersatu bangsa, di samping meluruskan alur sejarah selama ini mengenai kiprah politik sang sultan.
Ada catatan singkat Sultan Hamid II di atas kertas berlogo Ronde Tafel Conferentie atau Konferensi Meja Bundar ketika menyerahkan arsip Rancangan Lambang Negara kepada Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu - Jakarta), pada 18 Juli 1974.
Isinya, "mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan kepada bangsa saya, dan mudah-mudahan sumbangan pertama saya (Lambang Negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita".
Sultan Hamid II wafat di Jakarta pada tanggal 30 Maret 1978.
Ia dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batu Layang, Pontianak Utara.
(Kompas.com/TribunJateng.com)