Catatan Wartawan Senior J Osdar
Inga, Inga Sejarah Kopra dan Cingke.
Hampir 80 persen petani Sulut hidup dari pertanian kopra dan cengkeh. Akibat dari pengenaan PPN, menurut Olly Dondokambey, harga cengkeh jadi turun.
J.Osdar - Wartawan Senior
Senin, tanggal 1 Juni 2020, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey membawa angan saya ke sejarah masa lalu Sulut. Olly menggemakan suara masa lalu dan “mendatang” di salah satu bumi PDI Perjuangan dan Trisakti. Hari itu tepat hari lahir Pancasila dan di awal bulan Bung Karno. Di tanggal itu juga , 1 Juni 1956, pemerintah pusat di Jakarta menutup Bitung sebagai pelabuhan samudera. Ini menyangkut soal kopra. Peristiwa itu menandai sejarah krisis daerah tahun 1950-an.
Cingke (cengkeh), pala dan kopra sangat dipuja di Sulawesi Utara. Devosi pada ketiga hasil pertanian itu sangat merasuk di jiwa dan raga masyarakat. Kebahagiaan, kegembiraan, dan kemarahan yang semarah-marahnya batasnya hanya serambut dibelah seratus bila masalah ketiga komoditi pertanian itu diusik. Perlu pendekatan yang super bijaksana, termasuk soal perpajakan.
Devosi Sulut kepada ketiga hasil pertanian ini bisa didengarkan dalam lirik lagu rakyat Minahasa. (Oh Minahasa tempat lahirku, sungguh bangga rasa hatiku, memandang keindahanmu. Namamu masyur di Nusantara, karena pala, cingke dan kopra, kagumkan pasaran dunia - Oh Minahasa kina toanku, selari mae un ateku, meilek ung kewangunanu, ngaranu kendis wia Nusantara, nuun cingke pala wo kopra, sematels malolowa).
Dengan intonasi suara dan bahasa penuh kesopanan, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey menyampaikan permohonan penghapusan pajak hasil pertanian kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Hari itu diselenggarakan rapat video conference (vicon) “program prioritas pemerintah super hubungan kawasan timur”.
Vicon ini dihadiri Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Tohir, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri Pekerjaan Umum dan Pemukiman Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. Para menteri ada di Jakarta dan Olly di Manado, Sulut.
Sebelum menyampaikan permintaannya, Olly menyampaikan terimakasih dan penghargaannya kepada pemerintah pusat yang “telah mempercayakan Sulut dalam Program prioritas Pemerintah Super Hubungan Kawasan Timur”.
“Pak Menko, kita bulan depan ada panen raya cengkeh, sehingga ini menjadi dilema. Dulu saya masih pimpinan Komisi XI DPR tidak ada PPN (Pajak Pertambahan Nilai) bagi hasil pertanian Pak Menko. Tapi, sekarang hasil pertanian dikenai PPN 10 persen,” kata Bendahara Umum PDI Perjuangan itu.
Hampir 80 persen petani Sulut hidup dari pertanian kopra dan cengkeh. Ini, terutama kopra, merupakan ihwal yang menyejarah sejak tahun 1940-an. Akibat dari PPN itu, menurut Olly, harga cengkeh jadi turun.
“Jadi, kami mohon dalam situasi ini, regulasi kalau bisa dicabut kembali, karena produk kelapa dan produk cengkeh ini masih raw material (bahan baku) , belum barang jadi. Sehingga terjadi double PPN. Semoga harapan kami bisa menjadi kenyataan untuk saya sampaikan kepada masyarakat petani,” tutur Olly.
Selain itu, Olly dalam rapat dengan Menko Airlangga itu juga mengemukakan bulan April 2017 telah dibuka lalulintas perdagangan dengan Kapal Ro-Ro antara Filipina Selatan dengan Bitung, Sulut. Upacara pembukaan ini disaksikan Presiden Joko Widodo dan Presiden Filipina Rodrigo Duarte di Kudos Port, Davao Filipina, Minggu 30 April 2017. Tapi, menurut Olly, layanan kapal itu kini terhenti, karena regulasi yang ada di Indonesia.
Megawati : Trisakti Pro-Rakyat
Mari kita lihat permintaan Olly dalam konteks sejarah. Tapi, sebelum menelusuri sejarah masa lalu kita lihat posisi Gubernur Sulut Olly setelah menang pemilihan gubernur 9 Desember 2015 lalu. Ia menang di atas 50 persen. Ia membuat Sulut menjadi salah satu basis kuat PDI Perjuangan di Indonesia. Ia menegakkan ajaran Bung Karno, terutama Tri Sakti, di bumi nyiur melambai.
Dalam masa kampanye Pilgub 2015, Olly membuat buku berjudul “Membumikan TRISAKTI melalui NAWACITA” yang diberi pengantar oleh Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDI Perjuangan dan Presiden ke-5 RI.
“Keberhasilan kebijakan dan program pemerintah Presiden Joko Widodo ditentukan oleh pencapaian pada hal-hal intrinsik dan luhur dari konsep Trisakti : Pro-rakyat”, demikian kata Megawati dalam pengantar buku itu..
“Saya dalam berbagai, pidato kebangsaan, selalu menekankan supaya Trisakti dibumikan sebagai obat bagi persoalan bangsa. Trisakti itu artinya, berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan,” tegas Mega.
“Saudara Olly dengan begitu indah menjelaskan poin-poin utama atau hakikat ekonomi mandiri atau ekonomi kerakyatan yang digagas Bung Karno ; ekonomi pro- rakyat, “ lanjut Megawati menegaskan.

Maka, di depan patung Bung Karno di Desa Kolongan, Kecamatan Kalawat, Minahasa Utara, Selasa, 3 Januari 2017, Gubernur Olly didampingi Wagub Steven Kandouw, melantik para pejabat eselon II dan III serta Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)(Harian Tribune Manado, 4 Januari 2017).
“Sengaja saya buat di sini untuk memperlihatkan visi-misi kami, yaitu Trisakti Bung Karno. Supaya para pejabat ingat dalam menjalankan tugas mereka harus memahami Trisakti. Karena banyak pejabat yang belum tahu namanya Trisakti,” seru Olly menggema di depan markas DPD PDI Perjuangan Sulut itu.
Seorang pengamat ekonomi kerakyatan di Manado yang enggan disebut namanya, 1 Juni 2020 lalu mengatakan adanya pajak 10 persen untuk hasil pertanian itu berkaitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE/PJ/2014 - Peraturan Pajak.
Kebijakan ini mendasarkan pada putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 70 tahun 2014. Dalam surat edarannya, kata pengamat itu, PPN mengena ke seluruh hasil pertanian, tidak ada pengecualian, jadi termasuk hasil pertanian rakyat kecil cengkeh, pala dan kopra.
Masih menurut kata pengamat dari Manado itu, MA mengeluarkan keputusannya setelah ada gugatan dari KADIN atas Peraturan Pemerintah (PP) nomor 31 tahun 2007. Putusan MA itu sifatnya menyeluruh untuk semua komoditas pertanian, bukan hanya untuk hasil perusahaan perkebunan seperti sawit dan karet.
Maka, terjadilah gugatan (uji materi ) atas putusan MA itu di Mahkamah Konstitusi (MK). Selanjutnya, MK mengeluarkan putusan nomor 39/PUU - XIV/2016. Putusan MK ini antara menyebutkan PPN 10 persen itu hanya untuk sawit dan karet. ”Tapi putusan MK ini tidak ditidaklanjuti oleh Kementrian Keuangan, ” ujar sang pengamat ini.
“Jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, PPN ini ditangguhkan untuk pengenaan dari dari awal (raw material), hanya dikenakan pada produk akhir, contohnya rokok. Di seluruh dunia, hanya di sini yang menerapkan PPN pada raw material atau bahan baku. Hal ini menghambat ekonomi kerakyatan di tingkat pedagang kecil kampung dan kecamatan. Di Sulut, ini menjadi masalah karena menyentuh kebun rakyat cengkeh, pala dan kopra yang sensitif sejak dulu.” Demikain pengamat itu berbicara dengan suara keras
Ketika saya tanyakan masalah pajak ini kepada seorang anggota Komisi XI DPR dari fraksi Golkar, ia hanya mengatakan , “Waduh soal pajak kita saat ini baru hancur, nggak keruan”. Tidak disadari pajak yang kena pada hasil pertanian rakyat menyentuh masalah sensitif sekali di Sulut. Ini mengingatkan krisis daerah tahun 1956 - 1960, ketika Indonesia belum berusia 17 tahun. Kini, Indonesia walau diserbu covid-19 tapi sudah cukup dewasa. Sudah sering didengungkan tentang “sinergi antara pusat dan daerah”.
Bahagia dan Marah
Masyarakat Minahasa/Sulut bisa dibuat bahagia dan marah oleh cengkeh, pala, dan kopra. Kita lihat tulisan wartawan Rizal Layuck di Harian Kompas 9 Agustus 2017. Dikatakan, Presiden Abdurrachman Wahid (Gus Dur) saat memerintah 1999 - 2001, dikenang sebagai pahlawan oleh petani cengkeh Minahasa. Ketika Soeharto lengser, diikuti dengan bubarnya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) , Gus Dur menahan impor cengkeh dari luar negeri. Ini membuat harga cengkeh di Minahasa, Sulut, melambung tinggi dari Rp 2.000 per satu kilogram (di masa BPPC) menjadi Rp 70.000 per satu kilogram. Ketika itu, harga emas Rp 80.000 per satu gram.
Sebelum BPPC yang dipimpin Tommy Soeharto diberi hak monopoli oleh Presiden (waktu itu) Soeharto, harga cengkeh Sulut mencapai Rp 20.000 per satu kilogram. Ketika BPPC berdiri tahun 1992 dan masuk ke Sulut, harga di provinsi ini menjadi Rp 2.000. Kemarahan rakyat Sulut ditunjukan dengan penebangan pohon cengkeh milik mereka sendiri.

Kemarahan itu disuarakan kembali oleh Benny Tengker dalam bukunya, terbitan Februari 2009, berjudul “Inga- Inga Permesta pe Perjuangan - Pemberontak ? : No. Koreksi ?: Yes.” . Di bawah sub judul, Soeharto sahabat atau pengkhianat ?, Benny Tengker, antara lain mengatakan,” Dan yang lebih merugikan kehidupan masyarakat Kawanua (Sulut) lagi adalah Hutomo Mandala Putera atau Tommy Soeharto, putera kesayangan Soeharto.”
“Di era masa jayanya, Tommy menghancurkan sistem perdagangan cengkeh, komoditi yang membuat masyarakat hidup berkecukupan. Kekesalan mereka (Kawanua) tidak terukur,” tegas mantan pejuang Permesta Benny Tengker.
Mungkin Olly tidak begitu antusias jika dalam penulisan ini disinggung soal Permesta. Tapi, ini sebuah kenyataan sejarah. Kita lihat buku Permesta -pemberontakan setengah hati tulisan penulis Amerika, Barbara Sillars Harvey yang diterjemahkan oleh PT Grafiti Pers dan diterbitkan April 1984. Di halaman 51 sampai 56 (lima halaman), Barbara menuliskan dengan sub judul “Kopra” yang sangat berkaitan dengan pemberontakan Permesta, terutama di Sulawesi Utara.
Piagam Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) dibacakan oleh Panglima Tentara dan Teritorial (TT) VII wilayah Indonesia bagian timur, Letnan Kolonel Ventje Sumual di Makasar, 2 Maret 1957. Selanjutnya, Panglima Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT) Letnan Kolonel Yus Somba di Manado 17 Frebuari 1958, mengumukan Permesta solider dengan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan memutuskan hubungan dengan Pemerintah RI. Pecahlan perang.
Hampir di seluruh buku ini banyak sekali disinggung soal kopra dan perdagangannya. Saya kutip beberapa yang menarik untuk melihat kaitan kopra dengan masalah aksi protes/koreksi atau bahkan pemberontakan Sulawesi Utara terhadap pemerintahan pusat/Jakarta (1958 - 1961).
“Secara ekonomi Sulawesi tergantung pada kopra. Diperkirakan kopra merupakan sumber penghasilan utama bagi 70 persen penduduk Sulawesi (dan Indonesia Timur) pada awal 1950-an. .......Pengusaha-pengusahanya boleh dikatakan semua (95 persen) pemilik-pemilik kecil, dengan produksi rata-rata setiap tahunnya satu ton kopra. Sekitar tahun 1920 kopra telah menjadi hasil tanaman untuk ekspor yang paling bernilai di Sulawesi Utara dan Selatan.Pada tahun 1939, jumlah eksport dari Manado 86 persen dan dari Makasar 57 persen.”
Menurut catatan Barbara, ekonomi Sulawesi Selatan tidak menggantungkan diri dari satu, dua atau macam tanaman, tapi bermacam-macam. Sulawesi Utara hanya kepada hasil tanaman kopra, cengkeh dan pala.
Tujuan mendeklarasi gerakan Permesta sebagai protes atau koreksi kepada pusat, ada perbedaan antara Sulawesi Utara dan selatan.”Rakyat di dua daerah itu menafsirkan tujuan-tujuan Permesta dalam hubungan kepentingan mereka yang khusus. Di Selatan mengakhiri pemberontakan Kahar Muzakkar. Di Sulawesi Utara, menguasai hasil perdagangan kopra,” tulis Barbara. .
“Persoalan di Sulawesi Utara berpusat pada kopra, terutama dalam penguasaan dan penggunaan penghasilan ekspornya. Rakyat Minahasa merasa penghasilan ini dengan peraturan-peraturan pemerintah yang ada, tidak digunakan untuk memenuhi kepentingan mereka, tetapi dihambur-hampurkan untuk kepentingan mercusuar di Jakarta.”
Berkaitan dengan perdagangan barter yang dilakukan di Sulawesi Utara dan “penyelundupan”, “Tiga kejadian di Sulawesi Utara menggambarkan ketidakpuasan kepada pemerintahan dan Yayasan Kopra (di Jakarta). Dan semuanya ini meningkatkan krisis daerah yang mulai terbangun di seluruh negeri (Indonesia) tahun 1956.........Kolonel JF Warouw secara terbuka mensponsori ekspor gelap kopra dengan Muang Bama (sebuah kapal Burma)....”
“Pemerintah bertindak pada pada tanggal 1 Jumi 1956, untuk mengekang penyelundupan itu dengan menutup Pelabuhan Bitung bagi pelayaran samudera. Badai protes di Minahasa mempersatukan daerah itu melawan Jakarta di bawah semboyan : Buka kembali Pelabuhan Bitung , atau Hadapilah Pemberontakan.” “Kolonel Warouw dalam konperensi pers terakhir di Makasar 13 Agustus 1956, menerima semua tanggung jawab semua penyelundupan lewat Bitung .”
“Dia menambahkan , persoalannya ialah sesuatu yang lebih dalam dan kejadian Bitung adalah manifestasi yang tampak dari perjuangan daerah . Sementara pandangan dari pusat mungkin adalah daerah-daerah menyelundupkan kopra.”
Pandangan dari wilayah penghasil kopra Sulawesi Utara, menurut Kolonel Warouw, “Orang-orang pusatlah yang melakukan penyelundupan, bukan rakyat di daerah. Yaitu pusat telah selundupkan hasil kopra rakyat untuk kepentingan lain pihak, bukan untuk kepentingan daerah, di mana rakyat penghasil kopra itu bertempat.”
Dalam buku terbitan 1988, berjudul “Permesta - Kandasnya Sebuah Cita-Cita - Kenangan seorang panglima permesta” yang ditulis oleh KML Tobing, juga banyak menyinggung soal kopra, pala dan cengkeh. Dalam buku ini, Dolf Runturambi mengatakan, “Selaku komandan pasukan Permesta yang berkedudukan di Kotamobagu saya mengawasi ekspor kopra......Tahun 1958, merupakan tahun nahas bagi penduduk Sulawesi Utara dan Tengah. Perang berkobar di semua penjuru daerah kelapa, pala dan cengkeh.”
Seorang wartawan di Sulut yang ikut dalam perang di wilayah itu antara tahun 1958 sampai 1960, Phill M Sullu, melukiskan dalam bukunya yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 2011 betapa menyedihkan perang itu.
Dalam buku berjudul Permesta dalam Romantika, Kemelut & Misteri melukiskan desa tempat kelahirannya, Kakaskasen, Tomohon, sebagai kampung maut. Itu menjadi sebuah sub judul bukunya di halaman satu.. Ribuan orang meninggal, penduduk sipil, tentara Permesta maupun TNI. “Perang memang suatu kekuatan pemusnah yang dahsyat. Tidak ada yang menang. Seharusnya tidak perlu terjadi,” ujar Phil M Sulu ketika saya temui di kediamannya di Kakaskasen, Agustus 2019 lalu.
Perang PRRI/Permesta adalah salah satu noda hitam. Semoga tidak berlaku pepetah Perancis di negeri ini. “L’Histoire se Repete (sejarah mengulang dirinya sendiri). Tidak-tidak !!. Kini kita sudah dewasa dan matang.