Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Catatan Wartawan Senior J Osdar

Inga, Inga Sejarah Kopra dan Cingke.

Hampir 80 persen petani Sulut hidup dari pertanian kopra dan cengkeh. Akibat dari pengenaan PPN, menurut Olly Dondokambey, harga cengkeh jadi turun.

Editor: Sigit Sugiharto
J Osdar
Gubernur Sulut Olly Dondokambey dengan Presiden RI ke 5 /Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Manado, 19 Januari 2019 

Kemarahan itu disuarakan kembali oleh Benny Tengker dalam bukunya, terbitan Februari 2009, berjudul “Inga- Inga Permesta pe Perjuangan - Pemberontak ? : No. Koreksi ?: Yes.” . Di bawah sub judul, Soeharto sahabat atau pengkhianat ?, Benny Tengker, antara lain mengatakan,” Dan yang lebih merugikan kehidupan masyarakat Kawanua (Sulut) lagi adalah Hutomo Mandala Putera atau Tommy Soeharto, putera kesayangan Soeharto.”

“Di era masa jayanya, Tommy menghancurkan sistem perdagangan cengkeh, komoditi yang membuat masyarakat hidup berkecukupan. Kekesalan mereka (Kawanua) tidak terukur,” tegas mantan pejuang Permesta Benny Tengker.

Mungkin Olly tidak begitu antusias jika dalam penulisan ini disinggung soal Permesta. Tapi, ini sebuah kenyataan sejarah. Kita lihat buku Permesta -pemberontakan setengah hati tulisan penulis Amerika, Barbara Sillars Harvey yang diterjemahkan oleh PT Grafiti Pers dan diterbitkan April 1984. Di halaman 51 sampai 56 (lima halaman), Barbara menuliskan dengan sub judul “Kopra” yang sangat berkaitan dengan pemberontakan Permesta, terutama di Sulawesi Utara.

Piagam Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) dibacakan oleh Panglima Tentara dan Teritorial (TT) VII wilayah Indonesia bagian timur, Letnan Kolonel Ventje Sumual di Makasar, 2 Maret 1957. Selanjutnya, Panglima Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah (KDMSUT) Letnan Kolonel Yus Somba di Manado 17 Frebuari 1958, mengumukan Permesta solider dengan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan memutuskan hubungan dengan Pemerintah RI. Pecahlan perang.

Hampir di seluruh buku ini banyak sekali disinggung soal kopra dan perdagangannya. Saya kutip beberapa yang menarik untuk melihat kaitan kopra dengan masalah aksi protes/koreksi atau bahkan pemberontakan Sulawesi Utara terhadap pemerintahan pusat/Jakarta (1958 - 1961).

“Secara ekonomi Sulawesi tergantung pada kopra. Diperkirakan kopra merupakan sumber penghasilan utama bagi 70 persen penduduk Sulawesi (dan Indonesia Timur) pada awal 1950-an. .......Pengusaha-pengusahanya boleh dikatakan semua (95 persen) pemilik-pemilik kecil, dengan produksi rata-rata setiap tahunnya satu ton kopra. Sekitar tahun 1920 kopra telah menjadi hasil tanaman untuk ekspor yang paling bernilai di Sulawesi Utara dan Selatan.Pada tahun 1939, jumlah eksport dari Manado 86 persen dan dari Makasar 57 persen.”

Menurut catatan Barbara, ekonomi Sulawesi Selatan tidak menggantungkan diri dari satu, dua atau macam tanaman, tapi bermacam-macam. Sulawesi Utara hanya kepada hasil tanaman kopra, cengkeh dan pala.

Tujuan mendeklarasi gerakan Permesta sebagai protes atau koreksi kepada pusat, ada perbedaan antara Sulawesi Utara dan selatan.”Rakyat di dua daerah itu menafsirkan tujuan-tujuan Permesta dalam hubungan kepentingan mereka yang khusus. Di Selatan mengakhiri pemberontakan Kahar Muzakkar. Di Sulawesi Utara, menguasai hasil perdagangan kopra,” tulis Barbara. .

“Persoalan di Sulawesi Utara berpusat pada kopra, terutama dalam penguasaan dan penggunaan penghasilan ekspornya. Rakyat Minahasa merasa penghasilan ini dengan peraturan-peraturan pemerintah yang ada, tidak digunakan untuk memenuhi kepentingan mereka, tetapi dihambur-hampurkan untuk kepentingan mercusuar di Jakarta.”

Berkaitan dengan perdagangan barter yang dilakukan di Sulawesi Utara dan “penyelundupan”, “Tiga kejadian di Sulawesi Utara menggambarkan ketidakpuasan kepada pemerintahan dan Yayasan Kopra (di Jakarta). Dan semuanya ini meningkatkan krisis daerah yang mulai terbangun di seluruh negeri (Indonesia) tahun 1956.........Kolonel JF Warouw secara terbuka mensponsori ekspor gelap kopra dengan Muang Bama (sebuah kapal Burma)....”

“Pemerintah bertindak pada pada tanggal 1 Jumi 1956, untuk mengekang penyelundupan itu dengan menutup Pelabuhan Bitung bagi pelayaran samudera. Badai protes di Minahasa mempersatukan daerah itu melawan Jakarta di bawah semboyan : Buka kembali Pelabuhan Bitung , atau Hadapilah Pemberontakan.” “Kolonel Warouw dalam konperensi pers terakhir di Makasar 13 Agustus 1956, menerima semua tanggung jawab semua penyelundupan lewat Bitung .”

“Dia menambahkan , persoalannya ialah sesuatu yang lebih dalam dan kejadian Bitung adalah manifestasi yang tampak dari perjuangan daerah . Sementara pandangan dari pusat mungkin adalah daerah-daerah menyelundupkan kopra.”

Pandangan dari wilayah penghasil kopra Sulawesi Utara, menurut Kolonel Warouw, “Orang-orang pusatlah yang melakukan penyelundupan, bukan rakyat di daerah. Yaitu pusat telah selundupkan hasil kopra rakyat untuk kepentingan lain pihak, bukan untuk kepentingan daerah, di mana rakyat penghasil kopra itu bertempat.”

Dalam buku terbitan 1988, berjudul “Permesta - Kandasnya Sebuah Cita-Cita - Kenangan seorang panglima permesta” yang ditulis oleh KML Tobing, juga banyak menyinggung soal kopra, pala dan cengkeh. Dalam buku ini, Dolf Runturambi mengatakan, “Selaku komandan pasukan Permesta yang berkedudukan di Kotamobagu saya mengawasi ekspor kopra......Tahun 1958, merupakan tahun nahas bagi penduduk Sulawesi Utara dan Tengah. Perang berkobar di semua penjuru daerah kelapa, pala dan cengkeh.”

Seorang wartawan di Sulut yang ikut dalam perang di wilayah itu antara tahun 1958 sampai 1960, Phill M Sullu, melukiskan dalam bukunya yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 2011 betapa menyedihkan perang itu.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved