Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Catatan Wartawan Senior J Osdar

Inga, Inga Sejarah Kopra dan Cingke.

Hampir 80 persen petani Sulut hidup dari pertanian kopra dan cengkeh. Akibat dari pengenaan PPN, menurut Olly Dondokambey, harga cengkeh jadi turun.

Editor: Sigit Sugiharto
J Osdar
Gubernur Sulut Olly Dondokambey dengan Presiden RI ke 5 /Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Manado, 19 Januari 2019 

Dalam masa kampanye Pilgub 2015, Olly membuat buku berjudul “Membumikan TRISAKTI melalui NAWACITA” yang diberi pengantar oleh Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDI Perjuangan dan Presiden ke-5 RI.

“Keberhasilan kebijakan dan program pemerintah Presiden Joko Widodo ditentukan oleh pencapaian pada hal-hal intrinsik dan luhur dari konsep Trisakti : Pro-rakyat”, demikian kata Megawati dalam pengantar buku itu..

“Saya dalam berbagai, pidato kebangsaan, selalu menekankan supaya Trisakti dibumikan sebagai obat bagi persoalan bangsa. Trisakti itu artinya, berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan,” tegas Mega.

“Saudara Olly dengan begitu indah menjelaskan poin-poin utama atau hakikat ekonomi mandiri atau ekonomi kerakyatan yang digagas Bung Karno ; ekonomi pro- rakyat, “ lanjut Megawati menegaskan.

Gubernur Sulut Olly Dondokambey bersama Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana Jokowi serta Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam suatu acara.
Gubernur Sulut Olly Dondokambey bersama Presiden RI ke-5 Megawati Sokarnoputri serta Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Ny Iriana Joko Widodo dalam suatu acara

Maka, di depan patung Bung Karno di Desa Kolongan, Kecamatan Kalawat, Minahasa Utara, Selasa, 3 Januari 2017, Gubernur Olly didampingi Wagub Steven Kandouw, melantik para pejabat eselon II dan III serta Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)(Harian Tribune Manado, 4 Januari 2017).

“Sengaja saya buat di sini untuk memperlihatkan visi-misi kami, yaitu Trisakti Bung Karno. Supaya para pejabat ingat dalam menjalankan tugas mereka harus memahami Trisakti. Karena banyak pejabat yang belum tahu namanya Trisakti,” seru Olly menggema di depan markas DPD PDI Perjuangan Sulut itu.

Seorang pengamat ekonomi kerakyatan di Manado yang enggan disebut namanya, 1 Juni 2020 lalu mengatakan adanya pajak 10 persen untuk hasil pertanian itu berkaitan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE/PJ/2014 - Peraturan Pajak.

Kebijakan ini mendasarkan pada putusan Mahkamah Agung (MA) nomor 70 tahun 2014. Dalam surat edarannya, kata pengamat itu, PPN mengena ke seluruh hasil pertanian, tidak ada pengecualian, jadi termasuk hasil pertanian rakyat kecil cengkeh, pala dan kopra.

Masih menurut kata pengamat dari Manado itu, MA mengeluarkan keputusannya setelah ada gugatan dari KADIN atas Peraturan Pemerintah (PP) nomor 31 tahun 2007. Putusan MA itu sifatnya menyeluruh untuk semua komoditas pertanian, bukan hanya untuk hasil perusahaan perkebunan seperti sawit dan karet.

Maka, terjadilah gugatan (uji materi ) atas putusan MA itu di Mahkamah Konstitusi (MK). Selanjutnya, MK mengeluarkan putusan nomor 39/PUU - XIV/2016. Putusan MK ini antara menyebutkan PPN 10 persen itu hanya untuk sawit dan karet. ”Tapi putusan MK ini tidak ditidaklanjuti oleh Kementrian Keuangan, ” ujar sang pengamat ini.

“Jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, PPN ini ditangguhkan untuk pengenaan dari dari awal (raw material), hanya dikenakan pada produk akhir, contohnya rokok. Di seluruh dunia, hanya di sini yang menerapkan PPN pada raw material atau bahan baku. Hal ini menghambat ekonomi kerakyatan di tingkat pedagang kecil kampung dan kecamatan. Di Sulut, ini menjadi masalah karena menyentuh kebun rakyat cengkeh, pala dan kopra yang sensitif sejak dulu.” Demikain pengamat itu berbicara dengan suara keras

Ketika saya tanyakan masalah pajak ini kepada seorang anggota Komisi XI DPR dari fraksi Golkar, ia hanya mengatakan , “Waduh soal pajak kita saat ini baru hancur, nggak keruan”. Tidak disadari pajak yang kena pada hasil pertanian rakyat menyentuh masalah sensitif sekali di Sulut. Ini mengingatkan krisis daerah tahun 1956 - 1960, ketika Indonesia belum berusia 17 tahun.  Kini, Indonesia walau diserbu covid-19 tapi sudah cukup dewasa. Sudah sering didengungkan tentang “sinergi antara pusat dan daerah”.

Bahagia dan Marah

Masyarakat Minahasa/Sulut bisa dibuat bahagia dan marah oleh cengkeh, pala, dan kopra. Kita lihat tulisan wartawan Rizal Layuck di Harian Kompas 9 Agustus 2017. Dikatakan, Presiden Abdurrachman Wahid (Gus Dur) saat memerintah 1999 - 2001, dikenang sebagai pahlawan oleh petani cengkeh Minahasa. Ketika Soeharto lengser, diikuti dengan bubarnya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) , Gus Dur menahan impor cengkeh dari luar negeri. Ini membuat harga cengkeh di Minahasa, Sulut, melambung tinggi dari Rp 2.000 per satu kilogram (di masa BPPC) menjadi Rp 70.000 per satu kilogram. Ketika itu, harga emas Rp 80.000 per satu gram.

Sebelum BPPC yang dipimpin Tommy Soeharto diberi hak monopoli oleh Presiden (waktu itu) Soeharto, harga cengkeh Sulut mencapai Rp 20.000 per satu kilogram. Ketika BPPC berdiri tahun 1992 dan masuk ke Sulut, harga di provinsi ini menjadi Rp 2.000. Kemarahan rakyat Sulut ditunjukan dengan penebangan pohon cengkeh milik mereka sendiri.

Gubernur Sulut Olly Dondokambey bersama Uskup Manado Benedictus Estephanus Rolly Untu dalam sebuah acara.
Gubernur Sulut Olly Dondokambey bersama Kardinal Ignatius Suharyo di kediaman pribadi Olly, Desa Kolongan, Minahasa Utara, Sulut, Oktober 2019.
Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved