Idul Fitri 2020
Tata Cara Ibadah Idul Fitri di Masa Pandemi Covid-19
Artikel ini ditulis oleh DR. Ahmad Rajafi, M.HI, Wakil Rektor 1 IAIN Manado. DR Ahmad Rajafi M.HI adalah Wakil Rois Syuriah PWNU Sulawesi Utara.
Bisa jadi shalat idul fitri dilaksanakan sendiri, karena kondisi yang tidak memungkinkannya untuk mudik ke kampung halaman, sehingga memaksanya untuk tetap tinggal di kost atau kontrakan yang jauh dari sanak saudara dan keluarga.
Mengenai hal ini, hukumnya dikategorikan sebagai orang yang luput dari berjamaah shalat idul fitri, karena sunnahnya pelaksanaan shalat idul fitri adalah secara berjamaah, dan dibaca secara jahr (keras dan jelas) bacaan surah al-fatihah dan ayat atau surah pendek setelahnya oleh imam.
Namun mengenai tatacara pelaksanaannya, terjadi perbedaan pendapat antara ulama fiqh, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, I/204.
واختلفوا فيمن تفوته صلاة العيد مع الإمام فقال قوم: يصلي أربعا وبه قال أحمد والثوري وهو مروي عن ابن مسعود. وقال قوم: بل يقضيها على صفة صلاة الإمام ركعتين يكبر فيهما نحو تكبيره ويجهر كجهره وبه قال الشافعي وأبو ثور. وقال قوم: بل ركعتين فقط لا يجهر فيهما ولا يكبر تكبير العيد. وقال قوم: إن صلى الإمام في المصلى صلى ركعتين وإن صلى في غير المصلى صلى أربع ركعات. وقال قوم: لا قضاء عليه أصلا وهو قول مالك وأصحابه.
Artinya: “Ulama berbeda pendapat perihal orang yang luput shalat ‘ied bersama imam, maka sebagian ulama berpendapat; hendaknya orang tersebut shalat empat rakaat, ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Ahmad dan ats-Tsauri berdasarkan riwayat dari sahabat Ibnu Mas’ud ra. Sebagian ulama mengatakan; ia harus meng-qadha’ shalat dua rakaat dengan cara yang dilakukan imam, baca takbir dan baca surat dengan jelas (jahr) seperti yang dilakukan imam, pendapat ini dipegang oleh Imam asy-Syafi’i dan Abu Tsaur. Ulama lain mengatakan; ia cukup shalat dua rakaat tanpa suara yang keras dalam membaca surat dan tanpa takbir shalat ‘ied. Ulama lain mengatakan; jika imam shalat ‘ied di mushalla, maka ia shalat ‘ied dua rakaat, akan tetapi jika imam shalat di luar mushalla, maka ia shalat ‘ied empat rakaat. Ada lagi ulama mengatakan; ia tidak perlu meng-qadha’ shalat ‘ied sama sekali, dan ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Malik dan pengikutnya.”
Namun pendapat yang layak dirujuk adalah keterangan dari Imam asy-Syafi’i – karena mayoritas muslim di Indonesia adalah bermadzhab asy-Syafi’i – yang menjelaskan untuk melakukan shalat ‘ied dua rakaat ketika sendirian tanpa perlu menjelaskan (jahr) bacaan shalatnya dan juga tanpa khutbah idul fitri. Sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Rusyd dalam Kitab dalan halaman yang sama;
وحكى ابن المنذر عنه مثل قول الشافعي فمن قال أربعا شبهها بصلاة الجمعة وهو تشبيه ضعيف ومن قال ركعتين كما صلاهما الإمام فمصير إلى أن الأصل هو أن القضاء يجب أن يكون على صفة الأداء ومن منع القضاء فلأنه رأى أنها صلاة من شرطها الجماعة والإمام كالجمعة فلم يجب قضاؤها ركعتين ولا أربعا إذ ليست هي بدلا من شيء وهذان القولان هما اللذان يتردد فيهما النظر: أعني قول الشافعي وقول مالك. وأما سائر الأقاويل في ذلك فضعيف لا معنى له.
Artinya: “Ibnul Mundzir menceritakan sebagaimana pandangan dari Imam asy-Syafi’I, di mana pendapat yang menyatakan shalat ‘ied yang dilaksanakan sendiri berjumlah empat rakaat karena menganalogikannya seperti shalat jum’at didasarkan pada analogi yang lemah. Sedangkan ulama yang mengatakan bahwa shalat ‘ied yang dilaksanakan sendiri berjumlah dua rakaat seperti yang dikerjakan imam, merujuk pada prinsip bahwa qadha’ wajib dilakukan sesuai dengan sifat atau cara yang dilakukan secara tunai (ada’an). Sementara ulama yang menyatakan bahwa shalat ‘ied tidak perlu di-qadha’, memandang bahwa pelaksanaan shalat ‘ied disyaratkan secara berjamaah dan bersama imam sebagaimana shalat jum’at sehingga bila luput maka tidak perlu mengqadha dua ataupun empat rakaat, jika shalat ‘ied bukan ganti dari shalat lain (sebagaimana shalat jum’at dan zuhur). Dua pandangan inilah yang patut dipertimbangkan, yaitu pandangan Imam asy-Syafi’i dan Imam Malik. Sedangkan pandangan selain keduanya dikategorikan lemah, dan tidak ada maknanya.”
Jika Shalat ‘Ied Dilaksanakan Secara Berjama’ah
Hukum shalat idul fitri adalah sunnah muakad (sunnah yang utama) sebagaimana pendapat jumhur ulama atau mayoritas ulama, hal ini dikarenakan shalat idul fitri hanya dilaksanakan setahun sekali dan merupakan puncak dari berakhirnya serangkaian ibadah di bulan Ramadhan.
Adapun ketika seseorang tidak melaksanakannya, maka ia tidak berdosa, hanya saja ia tidak mendapatkan pahala utama dari ibadah tersebut.
Karena pelaksanaan shalat ‘ied di rumah bersama anggota keluarga, maka suami sebagai pemimpin rumahtangga seyogyanya menjadi imam shalat ‘ied, akan tetapi jika ada putranya yang sudah akil baligh dan lebih baik bacaan al-Qur’annya dari ayahnya, maka putranya tersebut dapat menggantikan ayahnya untuk menjadi imam karena ketentuan fiqh mejelaskan bahwa yang layak menjadi imam shalat adalah yang paling baik bacaan al-Qur’annya. Adapun tatacaranya adalah:
1. Waktu pelaksanaan shalat idul fitri sama seperti pelaksanaan shalat dhuha, dilaksanakan di pagi hari mulai terbit matahari (sekitar jam 07.00 pagi), hingga waktu paling akhir adalah saat zawal (masuk waktu zuhur);
2. Selesai shalat subuh, bersegeralah untuk membersihkan diri dengan cara mandi sunah idul fitri, dan kemudian berpakaian yang bersih lagi baik, lalu duduk menghadap kiblat untuk bertakbir bersama, sembari menunggu masuknya waktu pelaksanaan shalat ‘ied;
3. Awali ibadah shalat dengan niat. Jika menjadi imam maka niatnya adalah (ushalli sunnatal li ‘iedil fitri rak’ataini mustaqbilal qiblati ada’an imaman lillahi ta’ala), dan jika menjadi makmum (ushalli sunnatal li ‘iedil fitri rak’ataini mustaqbilal qiblati ada’an ma’mumam lillahi ta’ala);