Sejak Kecil Djoko Santoso Hidup Prihatin: Kadang Makan Kadang Tidak
Separuh perjalanan kehidupan Panglima TNI era Presiden SBY Djoko Santoso dihabiskan di Solo, Jawa Tengah.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Separuh perjalanan kehidupan Panglima TNI era Presiden SBY Djoko Santoso dihabiskan di Solo, Jawa Tengah. Sejak lahir hingga remaja Politikus Partai Gerindra ini menjalani kehidupan layaknya rakyat biasa.
• Pemerintah Didesak Evaluasi PSBB: MUI Ingatkan Banyak Rakyat Kelaparan
Ia berasal dari keluarga yang sederhana, ayahnya seorang guru SMA dan ibundanya ibu rumah tangga pada umumnya. Rumah orang tuanya kala itu masih berbentuk joglo di lingkungan RW II Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo.
Rumah tersebut kondisinya kini sudah cukup bagus bercat hijau di kawasan permukiman padat. Gaji ayahnya menjadi andalan keluarga Djoko Santoso untuk bertahan hidup dan membuat mereka menjalani hidup prihatin.
Adik keempat Djoko Santoso, Tutik Suyono (63) menuturkan masa kecil mendiang sama seperti kebanyakan anak-anak. Sementara Djoko Santoso merupakan anak sulung dari 10 bersaudara.
"Hidup prihatin dilakukan, kadang makan nasi kadang tidak, bapak-ibu saya itu ingin kesepuluh anaknya jadi orang hebat semua," tutur Tutik. Waktu menginjakan jenjang pendidikan SMP, Djoko Santoso ikut membantu keuangan keluarga dengan menjual kartu ucapan hari raya."Waktu hari libur, beliau beli kartu ucapan hari raya terus dijual di Sriwedari, kartu itu berbagai macam," ujar Tutik.
Tutik lupa harga kartu-kartu ucapan itu dijual kakak pertamanya tersebut. "Saya lupa untuk harganya berapa pada waktu itu," katanya. Djoko kadang juga mengajak teman-teman dikampungnya untuk belajar bersama di rumahnya yang sederhana. "Waktu SMP-SMA, belajar mengumpulkan teman-teman di sini, bapak sampai menyiapkan meja besar panjang," ujar Tutik.
• Imbauan Tidak Mudik Lewat Seni Lebih Menyentuh
"Ya, karena anaknya segitu banyaknya, paling ya seminggu sekali, bapak juga menemani waktu belajar," tambahnya. Tutik tidak menampik cara mendidik kedua orang tuanya saat masih hidup menjadi satu di antara faktor kesuksesan yang diterima anak-anaknya kini, tak terkecuali Djoko Santoso.
Ditambah lagi, kedua orang tuanya memiliki tanggungan 10 anak dan tidak ingin merepotkan tetangga."Bapak-ibu hebat, beliau orang tidak mampu selalu berusaha untuk membiayai kesepuluh anaknya, tidak merepotkan orang sekitar, itu luar biasa," ucap Tutik. "Ternyata bisa jadi orang semua," kata Tutik.
Dia menyebut usai kakaknya baru mulai merantau untuk mengawali karier militer dari pendidikan Akademi Militer (Akmil) di Magelang sekitar tahun 1970-an. "Sampai akhirnya Mas Djoko jadi Panglima TNI," jelasnya.
Mata Tutik berkaca-kaca saat menceritakan kabar duka kakak pertamanya itu. Air matanya tak bisa dibendung menetes di pipinya. "Pak Joko meninggal sekira pukul 06.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto, beliau sudah beberapa hari di rumah sakit," tutur Tutik.
"Beliau itu tidak sakit, dicek kesehatannya bagus," ujarnya. Tutik menceritakan detik-detik DJoko Santoso dilarikan ke RSPAD. Awalnya Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Sandiaga tersebut sedang berbuka puasa.
"Dia makan buka puasa, waktu makam tersedak terus pingsan langsung dibawa ke RSPAD, diketahui ada pendarahan otak, paginya di operasi," ujar Tutik. "Operasi berjalan lancar, masa kritisnya 3 sampai 4 hari, ini hari kelima, tadi pagi sudah meninggal dunia," tambahnya.
• Ini Pertimbangan Olly Tak Usulkan PSBB Corona
Tutik tidak percaya sang kakak kini telah meninggalkannya untuk selama-lamanya. "Allah lebih sayang, kita ambil sisi positifnya, lebih disayang Allah, kita harus ikhlas, tidak boleh menangis, dia orang yang luar biasa," imbuhnya.
Tutik mengaku tidak memiliki firasat apapun terkait meninggalnya Djoko Santoso. "Tidak ada firasat apapun," ujarnya. (Tribun Network/adi/wly)