Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Bulan Suci Ramadan

Renungan Ramadan: Tamu Agung di Ruang Privat

Penyambutan bulan suci Ramadan sering ditandai dengan ungkapan Marhaban yang berarti selamat datang.

Penulis: Dewangga Ardhiananta | Editor: Maickel Karundeng
istimewa
Sudarwin Jusuf Tompunu SIP, Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sulut 

Oleh Sudarwin Jusuf Tompunu SIP, Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sulut

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Penyambutan bulan suci Ramadan sering ditandai dengan ungkapan Marhaban yang berarti selamat datang.

Marhaban berasal dari kata ‘Rahb’ yang berarti luas atau lapang.

Psikologi bahasa ini (Marhaban) dengan sendirinya mengandung pesan bahwa shaaim (orang yang hendak berpuasa), dalam menyambut bulan suci Ramadan hendaknya memiliki hati yang terbuka, ikhlas, yang bertujuan mengakomodir segala tuntunan ibadah Ramadan agar memperoleh prestasi takwa.

Di situasi seperti sekarang ini, kita perlu merenungkan kembali fenomena epidemi dan pandemi, bahwa wabah biologis tidak lebih berbahaya dibandingkan wabah yang senantiasa menggerogoti hati.

Ramadhan tahun ini datang di tengah kegelisahan jagad.

Seperti hendak menagih esensi iman kepada Tuhan, namun bukan untuk Tuhan yg selama ini diperdebatkan dan diperebutkan, melainkan Tuhan yg dirindui tiap-tiap jiwa, didamba oleh setiap hamba.

Bukan hamba yang berteriak memperdebatkan fatwa dan tuntunan ibadah di situasi covid, melainkan hamba yang senantiasa 'memasjidkan' dirinya di setiap saat.

Semua itu (pandemi) seperti hendak memporandakan bangun-ibadah semu, bahwa memang selama ini jejak ibadah publik menjadi subur ritual namun kering spritual.

Kita lebih sering tersuasana ketimbang tersadar. Sehingga, atas dasar ketersinggugan moral personal, kita seperti mengendus fenomena 'yuraa'uun (setoran publik) di setiap jejak penghambaan, yang entah semua itu ingin dilihat oleh siapa dan untuk apa.

Kini situasi berbalik. Keadaan seperti menagih iman di ruang privat. Seperti titah suci, bahwa “semua amal anak cucu Adam untuknya, kecuali puasa, ia untuk-Ku, Aku yang akan membalasnya...” demikian firman Tuhan, yang pada akhirnya memunculkan beruntun pertanyaan semakna;

Apakah kita sanggup beriman jika diisolir layaknya bahtera Nabi Nuh? Masihkah kita mendawamkan dzikir jika tersimpan dalam perut ikan selayaknya Nabi Yunus? Ataukah mengambil sikap physical distancing layaknya Ash-Habul Kahfi demi memutus mata rantai kedzaliman? Bukankah Nabi Muhammad pernah berdiam diri di gua Hira?

Sampai di sini malu rasanya diri ini mempertentangkan semua hukum kausalitas kehidupan di tengah pandemi dan epidemi, mempertanyakan tarawih yang sunnah dan lupa lima waktu yg wajib, bersikukuh soal ibadah sebulan dan abai terhadap perkara wajib di sebelas bulan sisanya, rindu gema shalawat tarhim di tiap-tiap menara masjid dan lupa bahwa kita umat Nabi Muhammad di setiap lompatan usia.

Lagi-lagi kita hanya tersuasana dan bukan tersadar. Kini ibadah rahasia ini makin mengukuhkan hikmah di balik semua ini. Bahwa memang, datangnya Ramadan merupakan tamu agung di ruang privat. (Ang)

Subscribe Youtube Channel Tribun Manado:

 

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved