Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Perayaan Paskah 2020

Makna dan Sejarah Pembasuhan Kaki Kamis Putih, Berawal dari Tuhan Yesus hingga Paus Fransiskus

Misa Tri Hari Suci ini dilakukan ibadah misa berturut-turut selama tiga hari, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci, umat Katolik beribadah di gereja.

Editor: Aldi Ponge
AFP/ALBERTO PIZZOLI
Paus Fransiskus membangun budaya baru dalam ritual Kamis Putih dengan membasuh kaki orang-orang biasa. Tahun ini, Paus Fransiskus membasuh kaki 12 orang tua dan penyandang disabilitas, termasuk seorang pria Muslim 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Umat Katolik seluruh dunia melaksanakan misa Tri Hari Suci sebelum Paskah dimulai pada Kamis (09/04/2020)

Misa Tri Hari Suci ini dilakukan ibadah misa berturut-turut selama tiga hari, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci, umat Katolik beribadah di gereja.

Dikutip dari Tribun Jambi, hal ini merupakan satu di antara tradisi Gereja Katolik untuk mengenang peristiwa wafatnya Yesus Kristus.

Pada Jumat Agung, merupakan hari Yesus wafat di salib.

Kemudian Sabtu Suci, merupakan hari menjelang kebangkitan Yesus Kristus.

Pembasuhan kaki saat Kamis Putih

Saat misa Kamis Putih di gereja, pastor akan mengenang tradisi pembasuhan kaki.

Ada 12 orang, yang diibaratkan 12 rasul, yang akan dibasuh kakinya.

Ini sebagai perlambang pelayanan tak terbatas Yesus kepada manusia.

Di katolisitas.org, Stefanus Tay dan Ingrid Listiati pasangan suami istri awam dan telah menyelesaikan program studi

S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat, mengulas tentang pencucian kaki pada Kamis Putih.

Belakangan ini ada banyak orang bertanya, mengapa dalam dua tahun ini, di perayaan Ekaristi hari Kamis Putih, Paus melakukan hal yang di luar kebiasaan.

Paus pernah membasuh kaki 12 orang penghuni penjara remaja, di antaranya 2 orang remaja putri, dan salah satunya bahkan non-Katolik.

Lalu tahun lalu , Paus juga membasuh kaki 12 orang di panti jompo dan cacat, beberapa di antaranya non-Katolik dan seorang wanita.

Apakah sebenarnya Paus boleh melakukan hal itu, adakah ketentuannya?

Untuk membahas tentang hal ini, pertama- tama perlu kita sadari terlebih dahulu bahwa kunjungan ke penjara dan ke panti jompo merupakan perbuatan yang baik dan diajarkan oleh Tuhan Yesus (lih. Mat 25:36-40).

Maka di sini Paus nampaknya ingin menekankan misinya sebagai pelayan dan pembawa Kabar Gembira kepada segala bangsa.

Umumnya orang berpandangan bahwa ritus pembasuhan kaki berhubungan dengan peringatan Yesus membasuh kaki ke-12 murid-Nya.

Namun teks dokumen memang tidak menyebutkan angka 12 orang.

Kisah pencucian kaki diambil dari Injil Yohanes dan di perikop itu disebutkan istilah “murid-murid” dan bukan “rasul-rasul”.

Namun kalau Injil tersebut dibaca dalam kesatuan dengan ketiga Injil lainnya, dapat dimengerti bahwa peristiwa pembasuhan kaki pada saat Perjamuan Terakhir itu, memang dilakukan Yesus dengan ke 12 rasul-Nya.

Sebab Injil Matius dan Markus menyebut bahwa di Perjamuan Terakhir itu Yesus makan bersama dengan ke-12 murid-Nya (lih. Mat 26:20; Mrk 14:17); dan Injil Lukas menyebutkan bahwa Yesus makan bersama dengan rasul-rasul-Nya (lih. Luk 22:14).

Namun adalah fakta bahwa Yohanes memilih kata “murid-murid”, bukan “rasul-rasul” untuk mengisahkan peristiwa pembasuhan kaki dalam Injilnya; dan memang hanya Injil Yohanes yang mengisahkan tentang pembasuhan kaki ini.

Maka kemudian Gereja melestarikannya upacara pembasuhan kaki untuk maksud yang lebih luas, dan tidak terbatas kepada para rasul. Sebagaimana dicatat dalam sejarah, ada pembasuhan kaki juga dilakukan kepada sejumlah kaum miskin.

Bahkan upacara ini dilestarikan juga di zaman Abad Pertengahan oleh para raja dan ratu Katolik -seperti yang dilakukan oleh para Raja Inggris dan Ratu Isabella II dari Spanyol ((Lih. Thurston, Herbert, Lent and Holy Week (London: Longmans, Green, 1856-1939). p. 306-307))- yang mencuci kaki para bawahannya/ para kaum miskin di kerajaan mereka. Namun tentu tidak pada saat perayaan Misa kudus.

Dengan demikian, nampaknya pembasuhan kaki memang memiliki arti yang lebih luas daripada mandat Kristus kepada para Rasul untuk mengenangkan peristiwa kurban Tubuh dan Darah Kristus dengan mengucap syukur/ berkat, memecah-mecah roti dan membagi-bagikan roti tersebut, yang terjadi oleh perkataan konsekrasi dalam perayaan Ekaristi.

Sebab untuk hal yang kedua ini, Injil jelas menyebutkan “keduabelas murid” atau “rasul-rasul”, dan dengan demikian, meng-institusikan Ekaristi kepada kedua belas Rasul-Nya, yang kemudian diteruskan oleh mereka kepada para penerus mereka, yaitu para Uskup dan imam melalui tahbisan. Kepada merekalah Tuhan Yesus memberikan kuasa untuk menghadirkan kembali kurban Tubuh dan Darah-Nya (lih. Luk. 22:19).

Sedangkan tentang pembasuhan kaki penekanannya tidak untuk menghadirkan kembali peristiwa itu, tetapi untuk memberikan teladan pelayanan dan kasih Kristus.

Maka tak mengherankan, jika Paschale Solemnitatis kemudian mengatakan:

“51. Pencucian kaki dari para laki-laki dewasa yang terpilih, menurut tradisi, dilakukan pada hari ini [Kamis Putih], untuk menyatakan pelayanan dan cinta kasih Kristus, yang telah datang “bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani.”

Tradisi ini harus dipertahankan, dan pentingnya maknanya dijelaskan secara sepantasnya.”

Karena maksud pencucian kaki ini adalah untuk menyatakan pelayanan dan cinta kasih Kristus, maka tidak ada kaitan langsung antara upacara pembasuhan kaki ini dengan tahbisan imam.

Maka sekalipun dari 12 orang yang dibasuh oleh Paus itu ada wanitanya, tidak dapat dikatakan bahwa Paus setuju untuk menahbiskan wanita.

Ketika ditanya perihal tahbisan wanita, Paus Fransiskus menjawab, “Sehubungan dengan tahbisan wanita, Gereja telah memutuskan dan mengatakan tidak. Paus Yohanes Paulus II telah mengatakan demikian, dengan rumusan yang definitif. Pintu itu sudah tertutup.”

Paus Fransiskus mengacu kepada dokumen yang dituliskan oleh Paus Yohanes Paulus II, Ordinatio Sacerdotalis.

Di sana Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa Gereja tidak berhak menahbiskan wanita, dan pandangan ini harus dipegang oleh semua, sebagai sesuatu yang definitif.

Pada akhirnya baik diingat bahwa ritus pembasuhan kaki adalah ritus optional, dan baru dimasukkan ke dalam bagian Misa pada 1955 oleh Paus Pius XII.

Maka walaupun memiliki sejarah yang panjang, namun detail pelaksanaannya memang mengalami perubahan dari masa ke masa. Namun karena tidak menjadi ritus yang mutlak, maka hal tersebut memungkinkan untuk disesuaikan oleh pihak Tahta Suci, jika kelak memang diputuskan demikian.

Jika hal pencucian kaki ini menimbulkan banyak pertanyaan baik dari kalangan umat maupun imam, tentunya ini akan ditanyakan kepada Kongregasi Penyembahan Ilahi, yang berwewenang untuk menjelaskannya lebih lanjut.

Namun sejauh ini, sepanjang pengetahuan kami, belum ada pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Kongregasi tersebut, selain dari ketentuan Paschales Solemnitatis, 51, seperti telah disebutkan di atas.

Maka sebelum dikeluarkan penjelasan lebih lanjut, sebaiknya kita berpegang kepada ketentuan tersebut, namun tetap menghormati keputusan Paus yang pasti mempunyai pertimbangan tersendiri, jika ia memutuskan untuk melakukan kekecualian ataupun penyesuaian dari ketentuan itu.

Itulah makna dan sejarah dari pembasuhan kaki saat Kamis Putih.

SUMBER: https://jambi.tribunnews.com/2019/04/18/inilah-yang-terjadi-saat-kamis-putih-sejarah-pembasuhan-kaki-dari-zaman-yesus-sd-paus-fransiskus?_ga=2.175779557.61693520.1586139360-1332908455.1575506899

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved