Bedah Buku di STFSP, Mahasiswa dan Dosen Harus Berpikir Kritis
Ia mengatakan perlu berpikir kritis di era post truth. Akademisi harus bermartabat dan tahu berpikir mana yang baik dan mana yang tidak baik.
Penulis: | Editor: Maickel Karundeng
TRIBUNMANADO.CO.ID - Mahasiswa-mahasiswi Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STFSP) harus rajin menulis.
Itu kata Prof. Dr. Johanis Ohoitimur, guru besar STFSP saat menanggapi bedah buku "melangkah dengan akal budi, karsa dan karya" yang dieditori oleh Dr. Barnabas Ohoiwutun dan "Matuari Wo Tonaas" karya Dr. Paul Richard Renwarin.
Tampil sebagai pembedah buku pertama ialah Dr. Ignatius Welerubun SS, MA. Sementara, untuk buku kedua dibedah Alex Ulaen, DEA. Judul materi pembedahannya "Aroma strukturalisme atau simbolisme dalam "matuari wo tonaaas" karya PR Renwarin.
Sebagai moderator Pastor Dr. Barnabas Ohoiwutun.
Dalam kegiatan di aula STFSP, Sabtu (8/2/2020), Pastor Yong, sapaan akrabnya mengatakan menulis harus dimulai dengan penelitian. Ini baginya yang paling dibutuhkan dalam dunia pendidikan.
Ia mengatakan perlu berpikir kritis di era post truth. Akademisi harus bermartabat dan tahu berpikir mana yang baik dan mana yang tidak baik.
Para dosen juga harus berpikir kritis. Perlu duduk tenang dan ketenangan batin untuk itu.
Para dosen harus bergaul dalam organisasi profesi dan lintas ilmu. Manfaat terbesar ialah mendapat pengetahuan jauh dari keahlian.
Filsafat harus grounded. Filsafat diperkenalkan dalam pergaulan antar organisasi.
Ia sudah membuat tulisan soal filsafat praktis tahun 2007. Ia juga sudah mengajarkan etika pemerintahan di badan diklat propinsi Sulut.
Ia mengatakan sudah membuat penelitian bersama Yosef Raco dari Universitas Katolik De La Salle tentang spiritualitas dan dibuat dalam bentuk jurnal internasional. Hal ini katanya merupakan bidang keilmuan.
Pastor Cardo sapaan akrab Pastor Paul Richard Renwarin mengatakan bukunya ditulis karena "pencarian" identitas diri. Ia menemukan berbagai khas dari karakter budaya orang Minahasa.
Di satu sisi ada nilai kolektivitas dalam konsep matuari. Di sisi lain ada budaya baku cungkel dalam konsep Tonaas.
Ia mengatakan ada persatuan dalam persaingan. Kata Minahasa juga menyiratkan hal itu.
Pastor Igo sapaan akrab Dr. Ignatius Welerubun SS, MA memulai dengan mengomentari bentuk fisik buku untuk Pastor Yong. Bentuk fisik buku katanya sudah mengambarkan Pastor Yong. Juga di dalamnya langkah Pastor Yong sebagai biarawan MSC.
Walau begitu, ia menemukan bahwa buku ini bukan merupakan reproduksi, dekonstruksi, atau rekonstruksi karya-karya Pastor Yong. Karya-karya bungai rampai dari Pastor Dr. Johanis Joseph Montolalu, Paulina Kuntag S.Fils, Pastor Timoteus Ata Leuehaq SS, MA, Pastor Antonius Baju Nujartanto SS, MA, Dr. Barnabas Ohoiwutun, Anselmus Jamlean, SS, M.Hum, dan Dr. Valentino Lumowa. Artikel-artikel ini berisi pemikiran filsafati yang selama ini digumuli oleh Pastor Yong.
Sementara itu, Ulaen mengatakan belum banyak buku yang bercerita soal Minahasa sebagus "Matuari Wo Tonaas". Bahasanya baginya mudah dimengerti. Skema berpikirnya mirip dengan beberapa tokoh antropologi terkenal.
Wakil Ketua I Bidang Akademik Dr. Stenly Viany Pondaag, S.S., M.Th membuka kegiatan ini.
Ia mewakili Ketua STFSP Pastor Dr. Gregorius Hertanto, SS. M.Th yang sementara bertugas di tempat lain.
Acara ini dihadiri uskup emeritus Keuskupan Manado Mgr. Joseph Suwatan MSC.
Hadir pula pembimas Katolik Kemenag Sulut Joula Makarawung.
Joula juga merupakan alumnus STFSP.
Beberapa penulis bunga Rampai seperti Pastor Bayu dan Valen Lumowa juga hadir.
Selain mahasiswa dan mahasiswi kegiatan memang diikuti ikatan alumni.
Terlihat pula Maxi Paat dari komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI)
• Pohon Tumbang di Molibagu Akibatkan Listrik Padam hingga 2 Jam
Subscribe YouTube Channel Tribun Manado: