Sejarah TVRI
Sejarah TVRI, Hidup Dari Iuran Warga Hingga Perbedaannya Dengan BBC dan NHK
Pemberitaan tentang TVRI masih hangat di kalangan masyarakat. Berikut sejarah TVRI dari masa ke masa.
Razia yang dilakukan pada 2 Juli hingga 27 September 1973 di Jakarta, misalnya, menemukan ada 4.308 pesawat televisi yang belum didaftarkan kepemilikannya.
Dari hasil razia tersebut, Daerah Pos I Jakarta menerima denda dan iuran sebesar Rp 9.915.200.
Mulai 1 Januari 1974, iuran televisi naik menjadi Rp 500 per bulan untuk pesawat televisi ukuran 16 inci ke bawah dan Rp 750 per bulan untuk pesawat televisi ukuran di atas 16 inci.
Kini televisi bukan lagi barang mewah. Siaran televisi bahkan bisa dilihat melalui layar smartphone.
Televisi berada dalam genggaman. Iuran televisi pun sudah tidak ada lagi.
Pembiayaan BBC dan NHK
Kondisi TVRI jauh berbeda dari lembaga penyiaran publik BBC di Inggris dan NHK di Jepang.
Dua lembaga penyiaran publik tersebut sangat kokoh dari sisi badan hukum dan sumber pendanaan serta sumber daya manusianya.
BBC dan NHK dalam setahun memiliki anggaran setara lebih kurang Rp 80 triliun.
Dalam pendanaan, BBC-Inggris dan NHK-Jepang melibatkan partisipasi publik dalam pembiayaan berbentuk iuran publik (tv license) dan government grant (hibah dari pemerintah).
Adapun TVRI mengandalkan APBN dan penghasilan negara bukan pajak (PNBP).
Dalam setahun, anggarannya kurang dari Rp 1 triliun.
TVRI berusaha memanfaatkan secara optimal dana yang diperoleh dari pemerintah untuk menggaji 4.800 pegawai, membiayai operasional siaran, dan meremajakan aset perusahaan.
Gaji pegawai merupakan komponen biaya tertinggi, menyedot 27 persen dari total anggaran TVRI.
Pengeluaran lainnya adalah biaya listrik, telepon, gas dan air, serta pemeliharaan aset.
Anggaran stasiun TVRI di daerah bervariasi antara Rp 2 miliar dan Rp 5 miliar setiap tahun.
Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan stasiun televisi swasta, apalagi dibandingkan dengan BBC dan NHK.(*)