Kapal Cina Masuk Perairan Natuna: Prabowo Koordinasi TNI AL
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto akan berkoordinasi dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan TNI AL menyikapi insiden
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
"Klaim historis Cina atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan Cina telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982," kata Retno, Rabu (1/1).
Kemlu mengatakan Indonesia tidak menerima klaim Cina yang menyebut istilah "perairan terkait atau relevant waters" yang merujuk wilayah di sekitar perairan yang mereka klaim di Laut Cina Selatan. "Indonesia mendesak Cina untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaim RRC di ZEE Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982," kata Retno Marsudi.
Adapun Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan saat ini pemerintah tengah menunggu nota protes yang sudah dilayangkan oleh Kemenlu. "Ya kan sudah, Menlu sudah mengajukan protes ya, itu ditunggu perkembangannya," ujar Mahfud di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (2/1).
Mahfud tidak menjelaskan lebih lanjut langkah yang akan ditempuh oleh RI. Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyebut tidak akan melakukan pertemuan dengan pihak China. "Nggak (ada pertemuan)," kata Mahfud.
Jangan Negosiasi
Sementara itu Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menilai Indonesia tak perlu membuka pintu negosiasi dengan Cina terkait sengketa di Laut China Selatan alias Laut Natuna Utara.
Menurut Hikmahanto, Indonesia harus menolak keinginan China yang ingin menyelesaikan sengketa ini secara bilateral. "Rencana Cina itu harus ditolak oleh pemerintah Indonesia karena empat alasan," katanya.
Pertama, bila Cina tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna Utara, demikian pula Indonesia harus tetap konsisten tidak mengakui wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan Cina. "Atas dasar sikap Indonesia ini, bagaimana mungkin Indonesia bernegosiasi dengan sebuah negara yang klaimnya tidak diakui oleh Indonesia?" sebutnya.
Kedua, sikap Indonesia yang konsisten ini telah mendapat penegasan dari Permanent Court of Arbitration (PCA) dalam penyelesaian sengketa antara Filipina melawan Cina. Dalam putusannya PCA, tidak mengakui dasar klaim Cina atas 9 garis putus (9-dash) maupun konsep traditional fishing right.
Menurut PCA, dasar klaim yang dilakukan oleh pemerintah China tidak dikenal dalam 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) di mana Indonesia dan Cina adalah anggotanya. "Jangan sampai posisi yang sudah menguntungkan Indonesia dalam putusan PCA dirusak dengan suatu kesepakatan antarkedua negara," tegasnya.
Ketiga, Indonesia tidak mungkin bernegosiasi dengan Cina karena masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan 9 garis putus dan traditional fishing right yang diklaim oleh Cina. Terakhir, jangan sampai pemerintah Indonesia oleh publiknya dipersepsi telah menciderai politik luar negeri yang bebas aktif.
Menurut Hikmahanto, ketergantungan Indonesia atas utang luar negeri asal Cina tidak seharusnya dikompromikan dengan kesediaan pemerintah bernegosiasi dengan pemerintah Cina. "Justru bila perlu Presiden mengulang kembali bentuk ketegasan Indonesia di tahun 2016 dengan mengadakan rapat terbatas di kapal perang Indonesia di Natuna Utara," sebutnya. (tribun network/git/dod/kps)