Prihatin Konsumsi Daging Anjing di Yogyakarta, Anggota Parlemen Eropa Bertemu Pemerintah Provinsi
Sambutan baik dari Pemda DIY dan komitmen pemerintah untuk mengatasi masalah ini diapresiasi oleh tim dari Eropa dan organisasi lokal
Pasokan anjing didatangkan sebagian besar dari Jawa Barat (70 persen) juga dari Jawa Timur dan Bali (20 presen) serta dari pasokan lokal di Jawa Tengah (10persen).
Anjing-anjing ini kebanyakan adalah anjing terlantar ataupun hasil curian, dari pasar gelap yang ada di Jawa Barat, serta sebagian juga berasal dari pembiak anjing ras yang menjual anjing cacat atau tidak memenuhi kriteria ras yang bagus kepada pedagang daging anjing.
Daging anjing tersebut kebanyakan dikonsumsi oleh masyarakat lokal dan juga sebagian oleh pendatang (bukan turis mancanegara).
Dalam kesempatan ini, Sandra yang juga ditemani oleh Sebastian Margenfeld (Förderverein Animal Hope & Wellness e.V.), Davide Acito (Action Project Animal), Frank Delano Manus dan Nicky Kindangen (AFMI-Indonesia) menyampaikan terima kasih kepada keramah-tamahan masyarakat DIY dan Jawa Tengah yang mencerminkan bahwa DIY dan Jawa Tengah layak menjadi daerah tujuan wisata internasional karena ditunjang juga dengan keindahan alamnya.
Mereka juga menghimau agar masyarakat di kedua daerah ini semakin sadar akan bahayanya mengonsumsi daging anjing karena selain sudah diatur dalam surat edaran resmi pemerintah bahwa daging anjing bukan termasuk bahan pangan, perdagangan dan konsumsi daging anjing juga berpotensi menyebarkan rabies dan berbagai zoonosis lainnya yang berbahaya bagi manusia.
Hal ini tentu dapat berpengaruh terhadap kunjungan wisatawan ke daerah ini yang juga akan berpengaruh terhadap pendapatan daerah.
Mereka berharap dan mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan DIY bisa secepatnya mengeluarkan aturan resmi yang melarang perdagangan daging anjing di daerah ini berdasarkan Pasal 302 KUHP dan UU No. 18 tahun 2009 juncto UU No. 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.