Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

News

Megawati Ajak Prabowo Hadapi Pendukung Khilafah, Sentil ASN dan Masjid Terpapar Radikalisme

Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri mengajak Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, untuk bersama-sama berdiskusi

Editor: Aswin_Lumintang
(Foto: Grandyos Zafna)
Prabowo Subianto bersama Megawati Soekarnoputri serta Puan Maharani saat berswafoto usai Kongres V PDIP, Kamis (08/08/19) 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri mengajak Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, untuk bersama-sama berdiskusi mencari titik temu demi kebersamaan dengan para pendukung khilafah.

Megawati mengatakan, Fraksi PDI Perjuangan di DPR membuka diri kepada mereka yang mendukung khilafah.

Karena itu, Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Sukarnoputri meminta pengusung khilafah datang ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Cerita Megawati Soal Persahabatan dengan Prabowo hingga Minta Pendukung Khilafah Datang ke DPR
Cerita Megawati Soal Persahabatan dengan Prabowo hingga Minta Pendukung Khilafah Datang ke DPR (KOMPAS.com/Ihsanuddin)

Hal yang sama diharapkan Megawati dilakukan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto agar Fraksi Gerindra juga membuka diri kepada pendukung khilafah.

"Bagi mereka yang sangat berkeinginan untuk mendirikan yang namanya khilafah, boleh ke DPR. Kami dengarkan itu.

"Opo toh karepe?" Ujarnya saat memberikan sambutan dalam acara presidential Lecture Internalisasi dan Pembumian Pancasila di Istana Negara, Selasa (3/12/2019).

‎Megawati menyinggung bentuk khilafah dan mempertanyakan siapa sosok khalifah yang memimpin hingga bagaimana cara memilihnya.

Sampai dengan saat ini, menurut Megawati, tidak ada kelompok pro khilafah yang datang ke DPR bertemu Fraksi PDI Perjuangan.

Padahal, ungkap Megawati, jajaran partainya sudah menunggu untuk berdiskusi soal khilafah.

"Padahal saya sudah nunggu-nunggu, bukan saya, nanti yang hadapi anak buah saya. Supaya enak gitu loh," tuturnya.

Megawati juga angkat bicara soal aparatur sipil negara (ASN) yang terpapar radikalisme.

GSVL Harap Dinas Semakin Baik Tata Kelolanya

Rocky Gerung Terancam Dipolisikan, Orangnya Megawati Ungkap Alasannya

Rocky Gerung Sebut Presiden Tak Paham Pancasila : Hanya Mencari Panggung

Bahkan, Megawati menyinggung Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo yang memiliki tugas berat terkait ASN terpapar radikalisme.

"Seperti ASN, sekarang yang pusing kepala sebetulnya Pak Tjahjo."

"Saya bilang hati-hati loh Yo, kamu yang mesti mikirkan kenapa ASN bisa terpapar (radikalisme), sampai sebegitu," paparnya.

Megawati juga menyebut banyak masjid terpapar radikalisme.

Untuk itu, dia ingin membumikan nilai Pancasila di kementerian/lembaga.

"Karena kita sendiri tahu sudah sampai seberapa jauh terpaparnya masjid-masjid kita," kata Megawati.

Megawati berpendapat masih banyak masjid di lingkungan kementerian/lembaga yang mengizinkan kiai ataupun ustaz menyampaikan kebencian.

Menyoal itu, Ketua Umum PDI Perjuangan ini menyatakan pernah menyampaikan hal ini kepada Jusuf Kalla, Ketua Dewan Masjid Indonesia.

"Tolong pak kalau dibiarkan saja hanya kebencian yang diberikan kepada mereka-mereka ini, rakyat kita yang perlu rohaninya diisi, tapi oleh seperti itu."

"Bagaimana kalau kita kejadian seperti di timur tengah? Siapa yang akan menghentikan?" bebernya.

Megawati lantas meminta izin pada pimpinan kementerian/lembaga, agar dia bersama BPIP bisa masuk membumikan nilai-nilai Pancasila.

Puan Maharani foto selfie bersama ibunya, Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto.
Puan Maharani foto selfie bersama ibunya, Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto. (Instagram/puanmaharaniri)

"Dengan segala hormat saya, kalau nanti saya mau kulonuwun mohon diterima. Kalau saya ditolak enggak apa-apa, tapi jangan Buya, Pak Tri ditolak," pintanya.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai sistem khilafah tidak bisa lagi digunakan dalam sistem pemerintahan negara mana pun.

Wakil Ketua Komisi Hukum MUI Ikhsan Abdullah mengatakan, kerangka politik khilafah bertolak belakang dengan sistem demokrasi negara modern saat ini.

Menurutnya, kekhalifahan sudah kehilangan legitimasinya di dunia. Juga, tidak ada negara modern yang menggunakan sistem tersebut, bahkan di Timur Tengah.

"Kekhalifahan di dunia juga telah kehilangan legitimasi. Hilang sejak masa Ottoman terakhir di Turki. Jadi kita tidak relevan lagi bicara khilafah," kata Ikhsan saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (15/5/2017).

Pada zaman Kesultanan Ottoman berakhir, sistem khalifah juga sudah tidak digunakan lagi. Kesultanan ini pun pecahannya memisahkan diri dan membentuk negara-negara bagian.

"Mereka membentuk negara yang mempunyai batas teritori. Sudah kehilangan legitimasi internasional. Bahkan kalau dihidupkan, ya amat sulit."

"Jangankan di Indonesia, di suku saja sulit. Sudah enggak ada lagi," katanya.

Begitu juga di Indonesia, Ikhsan menjelaskan, sistem khilafah tentu bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Namun, jika hanya sebagai wadah pembelajaran dan sejarah, hal tersebut tentu tidak perlu dikhawatirkan oleh pemerintah.

"Kalau khilafah itu berkaitan dengan sistem negara berkebangsaan kita sudah final, tidak ada lagi gagasan yang di luar NKRI."

"Jadi sebagai negara, kita sudah selesai, jangan lagi ada pemikiran atau ide yang ingin mengubah NKRI," tuturnya.

Ikhsan menambahkan, dari pengamatan sementara MUI, sebenarnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) belum menunjukkan ancaman dalam perspektif syiar agama dan dakwah.

Hanya, yang patut dikhawatirkan adalah apakah ada agenda mendirikan sistem khilafah di Indonesia.

Oleh karenanya, lanjut dia, MUI tengah membuka kajian khusus membahas HTI dengan menghadirkan sejumlah ahli dari luar, seperti pakar organisasi dan ahli sosiologi.

"Yang kita curigai dan waspadai, apakah yang dimaksud dengan khilafah di HTI itu hendak membangun negara yang di luar NKRI," katanya.

Langkah pembubaran HTI harus melewati proses peradilan.

Sebelum ada keputusan, lanjut dia, pemerintah tidak boleh membubarpaksakan HTI, karena akan berdampak buruk pada sistem demokrasi.

"Kalau namanya pembubaran organisasi, juga harus ada terapinya, ada ketentuannya. Yaitu UU Ormas No 17 Tahun 2013."

"Kan itu menyangkut hak berserikat, berkumpul, dan berorganisasi yang legal. Jadi kalau pemerintah membubarkan HTI, yang harus dilakukan adalah dengan cara yang baik," paparnya.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri tengah melakukan kajian untuk menggugat HTI ke pengadilan.

HTI dianggap menyebarkan sistem khilafah yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved