Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Kabinet Menteri

Menteri Zainudin Amali, Sebuah Tanda Tanya Lain di Balik Target Besar Kemenpora

Dalam konteks sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, mampukah Zainudin mencapai target-target yang dibebankan?

Editor: Frandi Piring
Kolase Tribun Manado
Zainudin Amali 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Politisi Partai Golkar Zainudin Amali tiba di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/10/2019). Zainudin dipilih menduduki jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga

Presiden Jokowi telah memilih menteri-menterinya dan beberapa dari pilihannya mencuatkan tanda tanya.

Dibanding yang dipilih kembali, jumlah menteri kabinet lama yang tidak terpilih kembali sebenarnya lebih besar.

Dari 34 pos menteri, hanya 12 yang diisi menteri terdahulu.

Ada yang tetap di posnya, ada yang digeser. Selebihnya orang-orang baru.

Tentu saja, dari sekian tanda tanya, satu di antara yang paling besar adalah tanda tanya mengenai Susi Pudjiastuti. Sebab apa yang membuatnya terdepak dari kabinet?

Pelantikan para menteri dan lembaga negara dalam Kabinet Indonesia Maju, di Istana Negara, Rabu (23/10).
Pelantikan para menteri dan lembaga negara dalam Kabinet Indonesia Maju, di Istana Negara, Rabu (23/10). (antara)

Susi, setelah rangkaian hantaman kenyinyiran yang tiada terkira pedasnya di awal-awal masa kerja pada periode pertama pemerintahan Jokowi, pelan-pelan menjelma kesayangan publik.

Tak peduli pendukung Jokowi atau Prabowo, hampir semuanya menaruh respek. Menteri nyentrik dengan gaya serba ceplas-ceplos. Seruannya, "tenggelamkan (!)", menjelma pula jadi slogan.

Simbolisme kedigdayaan pemerintah Indonesia atas para bandit yang telah bertahun-tahun mencuri kekayaan laut nusantara.

Namun saya tak bermaksud berlama-lama dengan Ibu Susi. Ketidakterpilihannya kembali, dugaan saya, sangat politis.

Ada banyak kepentingan di baliknya. Kepentingan politis.

Termasuk juga kepentingan para cukong yang selama lima tahun kepemimpinannya di Kementerian Kelautan dan Perikanan acap mengalami rugi besar.

Maka dari itu, tanda tanya terkait Susi saya cukupkan sampai di sini.

Saya ke pertanyaan yang lain saja. Pertanyaan yang barangkali tidak terlalu diusik.

Mungkin belum. Setidaknya sampai sejauh ini. Yaitu pertanyaan seputar Zainudin Amali, Menteri Pemuda dan Olahraga.

Sebagai wartawan, mungkin separuh lebih karier saya "tercecer" di arena-arena olahraga. Sepak bola, bulu tangkis, basket, voli, tenis, tinju, balap mobil dan motor.

Juga atletik, catur, renang, biliar, plus satu cabang yang sungguh mati saya rasakan amatlah membosankan tatkala meliputnya, golf.

Sepanjang itu pula, komandan olahraga Indonesia berganti-ganti. Dari Mahadi Sinambela ke Adhyaksa Dault, sampai tahun-tahun awal Andi Mallarangeng.

Saya tidak lagi intens ke lapangan pada era kedua Agung Laksono sebagai pelaksana tugas (sebelumnya Agung pernah jadi pelaksana tugas pada bulan-bulan menjelang reformasi) yang kemudian dilanjutkan Roy Suryo dan Imam Nahrawi. Lebih sering memantau dari depan layar komputer.

Satu benang merah bisa ditarik dari sini. Bahwa sejak orde reformasi bergulir, dari sekian menteri, tak satu orang pun yang punya latar belakang sebagai olahragawan. Tak ada yang pernah jadi atlet.

Dalam hal ini atlet "betulan", bukan atlet sekadar yang turun bertanding setahun sekali pada pertandingan-pertandingan 17 Agustusan.

Seluruh menteri terpilih adalah politisi tulen. Orang-orang partai. Apakah sebelum reformasi ada? Ada, yakni Raden Maladi, menteri pertama, dan memang jadi satu-satunya.

Maladi mantan kiper PSIM Jogjakarta. Maladi juga pernah dua kali bermain untuk "tim nasional" --tim dadakan yang dibentuk pemerintah Hindia Belanda; tahun 1936 melawan Wiener Sport Club (sekarang berada di Divisi Tiga Liga Austria) dan setahun berselang kontra Hwa Nan (kini bernama South China AA dan berkompetisi di Divisi Satu Liga Hong Kong).

Maladi menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga pada 1964 sampai 1966. Selebihnya politisi.

Presiden Soeharto sepertinya memang lebih memercayai politisi untuk menduduki jabatan ini. Persisnya, politisi yang berangkat dari tokoh pemuda.

Aktivis atau unsur pimpinan organisasi- organisasi kepemudaan. Sebutlah Abdul Gafur, Akbar Tanjung, dan Haryono Isman.

Menyusul kemudian nama-nama yang saya kemukakan sebelumnya. Diselingi dua pengganti; Juwono Sudarsono, dan terakhir, Hanif Dhakiri. Dengan kata lain, faktor pemilihan menteri-menteri ini lebih condong ke poin 'pemuda' ketimbang 'olahraga'.

Begitu juga Zainudin Amali. Walau pun dengar-dengar Pak Menteri bisa bermain sepak bola dan suka menonton pertandingan-pertandingan sepak bola, penunjukannya sebagai menteri menunjukkan bahwa Presiden Jokowi memilih untuk tidak keluar dari pakem lama.

Sebelum ditunjuk jadi menteri, Zainudin lebih banyak berkutat di politik praktis sebagai kader Partai Golkar. Tiga periode beruntun ia wara-wiri di Senayan.

Dimulai pada periode 2004-2009 tatkala ia datang sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Gorontalo.

Dua periode berikutnya, ia mewakili daerah pemilihan Jawa Timur. Periode ini pun sebenarnya Zainudin kembali terpilih.

Bagaimana pengalamannya di organisasi kepemudaan? Zainuddin pernah masuk dalam jajaran elite Gema Kosgoro dan AMPI.

Jadi sekali lagi, pakemnya tidak berubah. Seperti para pendahulunya, Jokowi condong ke pemuda ketimbang olahraga.

Sampai di sini mengemuka lelucon. Dari warganet, tentunya. Menurut mereka, Pak Menteri Zainudin adalah menteri pemuda yang bukan pemuda. Beliau terlalu tua untuk jadi menterinya orang muda. Benarkah demikian?

Berdasarkan UU RI Nomor 40/2009 tentang Pemuda, kategori pemuda adalah tiap orang yang berusia 16 sampai 30 tahun.

Zainudin, September lalu, genap berusia 57. Lewat tengah baya jelang masuk kelompok larut senja. Ia bahkan merupakan yang tertua dibanding menteri-menteri terdahulu.

Abdul Gafur, pada hari pertama menjabat masih berusia 44. Akbar Tanjung lebih muda setahun dari Gafur.

Haryono Isman lebih muda lagi, 38 tahun. Mahadi Sinambela? 52. Sama dengan usia Maladi saat ditunjuk Sukarno.

Termuda adalah Adhyaksa Dault dan Imam Nachrowi, 41 tahun. Sedangkan Andi Mallarangeng dan Roy Suryo masing-masing 46 dan 45 tahun.

Usia Zainuddin dua kali lipat + 5 tahun dari Syed Saddiq Syed Abdul Rahman, Menteri Belia dan Sukan Malaysia. Di media sosial, sempat pula ada yang membanding-banding. Pembandingan yang kocak: selain tua kalah tampan juga.

Namun memang faktor keberhasilan bukan usia apalagi ketampanan. Melainkan kecakapan dalam bekerja.

Dalam konteks sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, mampukah Zainudin mencapai target-target yang dibebankan?

Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali. (dok. DPR RI)
Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali. (dok. DPR RI) (Istimewa)

Jokowi secara langsung telah menegaskan satu target. Di hadapan wartawan yang menyiarkan momentum perkenalan menteri kabinet baru ke seluruh penjuru Tanah Air, Jokowi bilang," sepak bolanya, Pak."

Ada satu anekdot terkait sepak bola dan kekalahan dan hubungannya dengan Indonesia.

Berasal dari satu adegan ikonik sinetron Si Doel Anak Sekolahan, saat keluarga Betawi ini berziarah ke makam leluhur yang ternyata sudah berubah jadi Stadion Gelora Bung Karno.

Tatkala "ritual" mereka dipaksa berhenti dan mereka dihalau lantaran lapangan hendak digunakan tim nasional Indonesia berlatih, Babe Sabeni, ayah Si Doel yang diperankan Benyamin Sueb, mengucapkan kalimat yang kedengaran lucu tapi sesungguhnya sangat nyelekit: "latihan melulu menangnya kagak!"

Kekecewaan pemain Timnas Indonesia usai dikalahkan Timnas Malaysia pada ajang kualifikasi Piala Dunia Qatar 2022 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Kamis (5/9/2019).

Begitulah kalah seperti bukan lagi hal yang luar biasa bagi sepak bola Indonesia. Terutama dalam persaingan di ruang lingkup internasional. Kalah sudah menjadi perkara yang biasa-biasa saja.

Malah ada yang sudah sampai pada tingkat kepasrahan ekstrim, menganggap ketidakberdayaan sepak bola Indonesia adalah semacam takdir.

Seturut ilmu hakekat, takdir diturunkan Tuhan, dan Indonesia ditakdirkan untuk tidak berharap pada sepak bola. Siapa berani menggugat?

Atau siapa berani membelokkan takdir Tuhan? Tidak ada, dan oleh sebab itu, Indonesia mesti menerima takdirnya.

Kepasrahan seperti ini tentu hanya milik kelompok-kelompok yang sudah terlanjur sangat pesimistis.

Di luar mereka masih banyak yang mengusung asa. Masih banyak yang berharap suatu ketika kelak sepakbola Indonesia akan berjaya.

Masih banyak yang yakin lantaran pada dasarnya Indonesia menyimpan banyak bakat.

Iya, benar, Indonesia berbakat. Bahkan bisa dibilang penuh bakat.

Anak-anak Indonesia sangat bisa bersaing di level internasional. Jangankan sekadar Asia Tenggara, mereka mampu berbicara di tingkat dunia.

Lalu pertanyaannya, kenapa setelah sampai ke jenjang senior, pesepak bola-pesepak bola berbakat tadi berubah melempem?

Saat masih sama-sama berusia 18, Hansamu Yama Pranata bertarung dengan Hwang Hee-chan.

Pada 12 Oktober 2013, Hansamu, palang pintu Tim Nasional U-19 Indonesia, membuat striker Korea Selatan ini mati kutu. Indonesia menang 3-2.

Enam tahun berselang, Hwang Hee-chan bermain di Liga Champions Eropa.

Klubnya, Red Bulls Salzburg berhadapan dengan Liverpool. Hwang Hee-chan mencetak satu gol dengan mengelabui benteng raksasa Liverpool; pemain tim nasional Belanda dan peraih Ballon d'Or, Sergio van Dijk.

Sementara, Hansamu, kita tahu tidak bergeser ke mana-mana.

Kenapa perbedaan yang kontras begini bisa terjadi? Untuk mencapai target Jokowi, Pak Menteri harus lebih dulu menjawab misteri ini.(t agus khaidir)

#Menteri Zainudin, Sebuah Tanda Tanya Lain

 Mantan Suami Jadi Menteri, Wina Natalia Ucapkan Selamat: Selamat Bekerja Ayah Wishnutama

 Nadiem Makarim, Johnny G Plate, Teten Masduki Tak Salami Ibu Negara hingga Wapres Maruf Amin

 Mendikbud Nadiem Makarim Tak Salami Wapres Maruf Amin saat Terima SK Menteri, Tonton Videonya

Tonton:

Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Menteri Zainudin, Sebuah Tanda Tanya Lain

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved