Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Level Buzzer di Israel Sangat Tinggi, Biayanya Capai Rp 1,4 Triliun, Cina Rambah Facebook

Dalam laporan, peneliti dari Universitas Oxford menyebutkan buzzer di Israel berada di level high capacity.

Editor:
Kirill Kudryavtsev/AFP
Ilustrasi 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Dana untuk buzzer di Israel mencapai 100 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,4 triliun. 

Angka tersebut terungkap dari hasil penelitian Universitas Oxford. 

Dalam laporan bertajuk The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation, peneliti menyebutkan buzzer di Israel berada di level high capacity.

Artinya, buzzer di sana melibatkan jumlah besar, baik dalam sisi orang yang mengatur atau anggaran yang dipersiapkan untuk menyebarkan disinformasi.

Buzzer Israel merupakan tim berisi sekitar 400 orang, dan mendapatkan pelatihan formal.

Terdapat sejumlah kontrak antara 778.000 dollar AS, sekitar Rp 11 miliar, hingga Rp 100 juta dollar AS, atau sekitar Rp 1,4 triliun.

Mereka menggunakan berbagai lembaga dalam memberikan informasi penangkal. Baik itu melalui lembaga pemerintah maupun swasta.

Strategi yang mereka pakai menurut laporan Global Disinformation Order adalah memberikan konten yang bersifat mendukung pemerintah setempat, dan membuat oposisi terbelah.

Selain Israel, Cina juga masuk dalam kategori pasukan siber berkapasitas besar dengan tim berjumlah 300.000 sampai 2.000.000 orang.

Dikatakan dalam laporan tersebut, buzzer dalam kategori berkapasitas besar tidak hanya aktif ketika masa pemilihan umum berlangsung.

Mereka juga mempunyai staf permanen yang terlibat dalam penyebaran informasi baik di level domestik hingga mencakup negara lain.

Selain itu seperti diberitakan Channel News Asia Rabu (2/10/2019), Cina mulai mengalihkan perhatian ke media sosial skala global.

Selama ini, kelompok buzzer Beijing fokus kepada media sosial lokal seperti WeChat atau Weibo. Namun belakangan mereka juga merambah Twitter dan Facebook.

"Pada 2019, pemerintah China mulai fokus menangkal demonstran Hong Kong, di mana aksi pro-demokrasi dipandang sebagai gerakan radikal tanpa dukungan rakyat," ungkap laporan peneliti Oxford.

Temuan dalam laporan Global Disinformation Order itu juga diperkuat keterangan Twitter dan Facebook soal adanya propaganda yang didukung pemerintah China.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved