Sejarah Indonesia
Soe Hok Gie: Saya Anggap Surat ‘Tidak Terlibat G30S’ Sebagai Surat yang Tidak Ada Gunanya
7 Jeneral Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh kelompok militer dari G30S ini. Dugaan kemudian mengarah keapada Partai Komunis Indonesia (PKI)
TRIBUNMANADO.CO.ID - Pada tahun 1960-an Indonesia mengalami gejolak politik.
Puncak dari itu melahirkan apa yang disebut Gerakan 30 September atau G30S. Peristiwa ini terjadi hingga 1 Oktober 1965.
7 Jeneral Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh kelompok militer dari G30S ini. Dugaan kemudian mengarah keapada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai pihak yang bertanggungjawab atas peristiwa G30S itu.
Peristiwa G30S ini membuat pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pembersihan orang-orang komunis.
Kebijakan itu diimplementasikan dengan dibuatnya aturan pembuatan surat tidak terlibat G30S sejak akhir 1965.
Surat itu mirip dengan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang biasa dijadikan syarat bagi seseorang yang hendak melamar pekerjaan.
Namun, surat keterangan tidak terlibat G30S tidak hanya ditujukan bagi mereka yang ingin bekerja, tapi juga mereka yang akan masuk sekolah dan pindah rumah.
Berita Populer
Baca: Peringatan Dini BMKG Hari ini, Senin 30 September 2019, Gelombang Tinggi Capai 2,5 hingga 4 Meter
Baca: Yasti Hengkang ke PDIP? Olly Siap Serahkan Kartu Anggota, Ini Tanggapan Yasti
Baca: Mengenang G30S 1965 - Berikut Hasil Autopsi Jenazah 6 Jenderal dan 1 Perwira Militer Angkatan Darat
Bahkan surat tidak terlibat G30S ini konon juga menjadi syarat seseorang ketika akan melangsungkan pernikahan.
“Tujuan dari surat ini memang baik, yaitu mencegah agar oknum-oknum komunis (yang nilainya kini lebih rendah dari kambing) tidak menyelusup ke dalam bidang-bidang kemasyarakatan,” tulis Soe Hok Gie dalam artikelnya yang berjudul “Surat Tidak Terlibat G30S”.
Artikel itu kemudian diterbitkan ulang dalam sebuah buku “Soe Hok Gie, Zaman Peralihan”.
Soe Hok Gie juga pernah diharuskan membuat surat tidak terlibat G30S ketika ia hendak membuat paspor.
Meski saat itu Gie berstatus sebagai mahasiswa dan juga pegawai negeri, yang notabene telah lolos screening dari dekan dan rektor, namun dia tetap diharuskan membuat surat sakti itu.
“Saya harus di RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Koramil. Saya tak peduli dengan semua peraturan tadi (saya anggap hanya dibuat-buat saja dan tidak ada gunanya),” lanjut Gie.
Dia akhirnya berhasil melalui semua prosedur berbelit itu berkat surat pengantar dari Sinar Harapan, harian yang biasa menerbitkan artikel-artikelnya.