PKS Ngotot Sahkan Revisi KUHP: Jokowi Tunda Pengesahan
Anggota Panitia Kerja Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Fraksi PKS, Nasir Djamil tidak setuju dengan permintaan
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA – Anggota Panitia Kerja Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Fraksi PKS, Nasir Djamil tidak setuju dengan permintaan Presiden Joko Widodo kepada DPR menunda pengesahan Revisi KUHP. "Sebaiknya jangan ditunda," ujar Nasir saat dihubungi, Jumat(20/9).
Menurutnya bila presiden tidak setuju dengan sejumlah pasal yang ada dalam Revisi KUHP, masih bisa membahasnya dengan DPR. Sebanyak 14 pasal yang dipermasalahkan presiden kata Nasir bisa dibahas sebelum disahkan dalam rapat paripurna 24 September 2019 mendatang.
"Saya yakin dalam waktu singkat bisa diselesaikan yang belum sesuai itu," katanya.
Baca: Cek Ramalan Zodiak Sabtu 21 September 2019: Leo Jangan Pelit, Scorpio Waspada
Menurut Nasir, selama ini pemerintah telah sepakat dengan sejumlah pasal dalam Revisi KUHP. Kesepakatan tersebut terbukti dengan dilakukannya pengambilan keputusan tingkat 1 antara DPR dan pemerintah (Raker) yang menyetujui Revisi KUHP akan disahkan dalam rapat paripurna.
"Sebab pengambilan putusan tingkat satu sudah dilakukan dan tidak ada sinyal bahwa presiden akan menunda pengesahan RUU KUHP," pungkasnya.
Dalam pembahasan Revisi KUHP pemerintah tampak inkonsisten. ýDalam rapat pengambilan keputusan tingkat pertama, Pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly setuju dengan seluruh pasal revisi KUHP untuk disahkan dalam sidang paripurna yang rencananya digelar pada 24 September mendatang. Namun, pemerintah kemudian meminta penundaan pengesahan tersebut.
Presiden Joko Widodo meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menyampaikan ke DPR, agar tidak mengesahkan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). "Sudah saya perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR dan pengesahannya tidak dilakukan oleh DPR periode ini, yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda," ujar Jokowi.
Baca: Veronica Koman jadi DPO, Polisi Minta Warga Melapor jika Menemukan Jejaknya
Jokowi mengaku terus mengikuti perkembangan pembahasan revisi KUHP yang dilakukan pemerintah dan DPR secara seksama. "Setelah memcermati masukan-masukan dari berbagai kalangan yang berkeberatan dengan sejumlah substansi RUU KUHP, saya berkesimpulan masih ada beberapa materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut," tutur Jokowi.
Menurut Jokowi, pemerintah dan DPR perlu meninjau kembali serta melakukan menerima masukan dari kalangan masyarakat sebagai upaya penyempurnaan RUU KUHP. "Tadi saya lihat materi yang ada, substansi yang ada ada, kurang lebih 14 pasal (harus ditinjau ulang)," ucap Jokowi.
"Saya berharap DPR juga mempunyai sikap yang sama, sehingga pembahasm RUU KUHP bisa dilakukan oleh DPR RI periode berikutnya," sambung Jokowi.
Usai diminta Jokowi, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo akhirnya memutuskan pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menuai polemik ditunda. "Jadi begini, pemerintah sudah menyampaikan melalui presiden meminta kepada DPR menunda pengesahan RKUHP ditunda atau dipending atau di hold untuk sementara," ucap pria yang akrab disapa Bamsoet.
Bamsoet melanjutkan permintaan ini disampaikan Presiden Jokowi ýkarena ada beberapa pasal yang masih pro dan kontra seperti kumpul kebo, LGBT, kebebasan pers, penghinaan pada kepala negara dan lainnya.
Sebagai pimpinan DPR, Bamsoet ýmengaku sudah berkomunikasi dengan beberapa pimpinan fraksi serta sepakat untuk mengkaji kembali apa yang sudah disampaikan Presiden Jokowi yang mewakili pemerintah.
"Pembahasan atau pengesahan RKUHP yang rencananya hari Selasa kemungkinan besar kita akan tunda dulu sambil melihat lagi pasal-pasal yang masih pro kontra. Sambil juga kita memberikan penjelasan atau sosialisasi, kepada masyarakat tentang pasal-pasal tersebut," ujarnya.
Dia juga berharap keputusan ditundanya pengesahan revisi KUHP ini bisa meredam tensi politik yang tinggi termasuk situasi keamanan belakangan ini. "Jadi kami mendengar masukan dari rakyat, mudah-mudahan ini bisa menurunkan tensi politik.
Dan mari sama-sama kita buat KUHP dengan menerima masukan dari berbagai kalangan," ujar Politikus Partai Golkar ini.
Sekretaris Jenderal PPP yang juga anggota Panja Revisi KUHP Arsul Sani juga ikut angkat bicara. Menurutnya, revisi KUHP tidak bisa disahkan karena pembuatan undang-undang harus berdasarkan persetujuan pemerintah dan DPR.
Baca: Artis Ini Mengaku Transgender Setelah 19 Tahun Disembunyikan: Sekarang Aku Stop dari Entertain
"Kalau salah satu unsur dalam pembentukan Undang-undang apakah DPR atau pemerintahnya minta ditunda, kan tentu tidak kemudian harusnya bisa kita paksakan," kata Arsul.
Keputusan presiden tersebut menurut Arsul akan didukung oleh fraksi-fraksi partai pendukung pemerintah,termasuk fraksi PPP. "Cuma itu saja. Nah tentu fraksi yang koalisinya masuk ke pemerintahan akan mendukung yang disampaikan presiden," katanya.
Kepentingan Bangsa
Menkopolhukam Wiranto mengatakan keputusan Presiden Joko Widodo menunda pengesahan revisi KUHP sudah dipertimbangkan masak-masak. Penundaan kata dia demi kepentingan bangsa dan negara.
"Jadi putusan yang sudah dipertimbangkan masak-masak untuk kepentingan masyarakat dan negara," ucap Wiranto.
Wiranto berharap, keputusan penundaan RUU KUHP tersebut bisa menenangkan. "Alhamdulillah (jika bisa menenangkan). Itu kan sudah keputusan pemerintah," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ( Menkumham) Yasonna Laoly menjelaskan pasal dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP) yang menjadi perhatian publik, salah satunya menyangkut penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden. Aturan itu dimuat dalam Pasal 218.
Bunyinya, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV".
Menurut Yasonna, pasal ini merupakan delik aduan yang tidak berlaku apabila untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
"Bukan berarti kalau seorang presiden bisa kita bebas caci maki, ini menyangkut harkat dan martabatnya," kata Yasonna.
Yasonna mengatakan, jika publik mengkritik kebijakan presiden atau wakil presiden, hal itu sah-sah saja. Ia pun menegaskan bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan meniadakan atau mengurangi kebebasan menyampaikan kritik dan pendapat. Akan tetapi, jika menyerang harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden, baru bisa diancam pidana.
"Itu delik aduan dan harus diajukan oleh presiden atau wapres sendiri ya. Ini sudah mempertimbangkan keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai pasal ini yang sebelumnya sudah dibatalkan ya," kata dia.
"Dan dia pasal-pasal yang berkaitan dengan penghinaan antara lain Pasal 241, 247, atau 354, dia merupakan delik materiil yang dapat dipidana apabila mengakibatkan terjadi huru-hara, kerusuhan dan lain-lain," ucap Yasonna.
Ia pun mencontohkan, jika ia dikritik publik tidak becus mengurus undang-undang dan tidak becus mengelola lembaga pemasyarakatan, hal itu sah-sah saja. Sebab, itu merupakan kritik kepada dirinya selaku pejabat publik.
"Tapi kalau saya dibilang Yasonna anak haram, ya, ku kejar kau sampai liang lahat. Itu bedanya kayak begitu antara harkat-martabat dengan kritik ya. Jadi kita hendak mengatur ketentuan ini secermat mungkin," kata dia.
Meski Presiden Jokowi telah meminta pengesahan RKUHP ditunda, Yasonna mengaku menjelaskan pasal-pasal yang menjadi perhatian publik tersebut untuk meluruskan mispersepsi yang timbul dari pasal ini. "Jadi ini saya jelaskan saja untuk meluruskan mispersepsi, sehingga saya menjelaskan satu per satu. Jadi supaya pemberitaan tidak diputar-balik," ujar dia. (Tribun Network/fel/fik/sen/kps/wly)