Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Wali Kota Bogor Akui Masih Ada Kelompok-kelompok Intoleran di Daerahnya

Bima Arya mengaku telah membentuk tim yang terdiri dari perwakilan pemerintah kota, gereja, dan kelompok Islam.

Editor:
TribunnewsBogor.com/Naufal Fauzy
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Persoalan proses izin Gereja Yasmin Bogor yang terkatung-katung dalam 13 tahun akan selesai tahun ini.

"Itu adalah PR yang tak bisa sendiri dihadapi, tapi kami percaya harus diselesaikan bersama-sama," kata Wali Kota Bogor Bima Arya saat peluncuran hasil riset Setara Institute di Jakarta, seperti dilansir kompas.com/BBC Indonesia, Selasa (13/8/2019).

Wali Kota Bogor, Bima Arya mengakui di daerahnya masih terdapat kelompok-kelompok intoleran, termasuk yang menolak keberadaan GKI Yasmin.

Terkait dengan penyelesaian GKI Yasmin, Bima Arya mengaku telah membentuk tim yang terdiri dari perwakilan pemerintah kota, gereja, dan kelompok Islam.

Saat ini tim yang terdiri dari tujuh orang masih membahas fokus penyelesaian GKI Yasmin dengan pilihan mendirikan di tempat yang baru, relokasi, atau berbagi lahan.

"Saya optimistis yang besar, Yasmin ini akan selesai. Mudah-mudahan Natal ini ada kabar baik bagi kita semua," kata Bima Arya.

Hasil penelitian Setara Institute menunjukkan terdapat 91 produk hukum di Jawa Barat dan 24 di Yogyakarta yang berisi elemen diskriminatif berdasarkan gender, etnisitas, kepercayaan dan orientasi seksual.

Dari temuan Setara Institute, dampak yang ditimbulkan dari produk hukum daerah diskriminatif antara lain hambatan pelayanan publik, hilangnya hak konstitusional warga untuk menjalankan ibadah, stigma terhadap kelompok LGBT/waria dan pekerja seks, meningkatnya kesulitan pendirian tempat ibadah, dan potensi tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas.

"Produk hukum diskriminatif akan menjadi bom waktu, menyebabkan konflik sosial antar etnik, agama dan ikatan sosio-kultural lainnya," kata peneliti Setara Institute, Ismail Hasani.

Kementerian Dalam Negeri mengakui sulit mengendalikan produk hukum daerah yang intoleran dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas, salah satunya karena masalah internal. Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Akmal Malik mengaku dari 56 anggota tim yang mengevaluasi produk hukum daerah, hanya tujuh yang berlatar belakang sarjana hukum.

"Selainnya, sarjana lain yang dipaksa menjadi sarjana hukum," katanya, Selasa (13/8/2019).

Akmal mengatakan pihaknya berjanji akan mengevaluasi satu persatu berdasarkan kewenangan direktorat untuk mengklarifikasi produk hukum daerah. Akmal mengatakan jika terdapat produk hukum daerah yang bertentangan dengan aturan lainnya termasuk Pancasila serta berpotensi menimbulkan konflik.

"Maka Kemendagri berhak untuk menyampaikan kepada pemda untuk dilakukan perubahan."

Ia mengatakan dalam waktu dekat, temuan Setara Institute ini akan dibawa dalam rapat bersama Kementerian Hukum dan HAM dan Ombudsman RI. Salah satu yang menjadi sorotan Setara Institute adalah produk hukum berupa Surat Keputusan Walikota Bogor No. 503/367-Huk tentang Pembatalan Surat Keputusan No. 601/389-Pem tahun 2006 tentang Pendirian Gereja Yasmin, Bogor.

Juru Bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging mengatakan proses izin pendirian gereja masih berlarut-larut karena belum ada keputusan tegas dari Wali Kota Bogor, Bima Arya. "Sekarang tinggal eksekusinya saja, kalau penalti itu tinggal tendangnya saja, Bima Arya mau bagaimana," katanya saat dihubungi BBC Indonesia, Selasa (13/08).

Bona juga mengatakan, sebagai jemaat GKI Yasmin, ia menginginkan lokasi gereja tidak dipindahkan ke tempat lain.

"Kalau dipindahkan itu berarti, pengingkaran terhadap cita-cita pendiri negara, bahwa negara ini harus berbaur antar satu penganut agama dengan agama lainnya," katanya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved