Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Metafisika: Variabel Yang (Sengaja) Dilupakan

Data proses dan hasil Pemilu 2019, secara khusus di Kota Manado, yang dikumpulkan dan dianalisis oleh SRaD (Shaad Research and Development)

Editor:
Istimewa
Data proses dan hasil Pemilu 2019, secara khusus di Kota Manado, yang dikumpulkan dan dianalisis oleh SRaD (Shaad Research and Development) 

TRIBUNMANADO.CO.ID,MANADO- Artikel ini merupakan jawaban atau katakanlah tanggapan terhadap artikel Variabel Religi Pada Pilkada Manado 2020 yang terbit di Tribun Manado tanggal 9-10 Juli 2019 yang berisi pandangan-pandangan rasional mengenai posisi religi dalam kontestasi politik.

Sekalipun mengambil contoh-contoh yang sifatnya lebih umum, namun artikel ini ingin menunjukkan adanya kelalaian kita dalam melihat berbagai aspek, dalam hal ini aspek yang kurang dibicarakan: metafisika.

Secara umum manusia tidak mampu mengontrol dirinya sendiri tanpa adanya seperangkat pengetahuan, entah itu yang dianggap rasional ataupun irasional.

 Selain dibutuhkan hal-hal yang dianggap rasional, dibutuhkan hal–hal yang sifatnya di luar nalar untuk merangsang dan mengembangkan daya pikir manusia terhadap sumber ilmu dan pengetahuan.

Sehingga saat ini semua orang menyadari bahwa kesuksesan manusia tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan Intelektual ataupun dengan kecerdasan emosional, melainkan juga ditentukan oleh kecerdasan spiritual.

Kecerdasan intelektual diperoleh malalui akal, kecerdasan emosional diperoleh dengan jiwa, sedangkan kecerdasan spiritual diperoleh dengan qalbu.

Olah qalbu inilah yang acapkali dalam Islam, oleh manusia adalah sentral perbuatan manusia.

Tatkala manusia acuh untuk memenuhi kebutuhan dasar spiritual (basic spiritual needs), maka manusia akan tertimpa krisis spiritual (spiritual crisis).

Krisis spiritual inilah indikasi dari semua krisis.

Qalbu atau dikenal sebagai hati yang ditempatkan didalam diri manusia mempunyai bentuk yang abstrak atau tidak bisa dilihat secara jelas.

Maka pentingya ilmu metafisika dalam perspektif pendidikan merupakan key (kunci) untuk menjawab permasalahan kenapa hati bisa dirasakan (afektif) dan mengetahui bagaimana hati bisa bekerja.

Kata hati dalam konteks budaya Indonesia menunjukan pada heart. Padahal hati yang sesunguhnya adalah liver.

Ketika kita mengatakan bahwa “hatiku sedang kacau”, yang berdebar-debar adalah jantung bukan liver.

Bahkan ketika pikiran sedang galau, kalut dan malu, jantung pula yang terasa berdebar lebih kencang, bukan liver.

Sebagaimana dijelaskan bahwa gelombang elektro-magnetik jantung 5000 kali lebih kuat dari pada otak (Sentanu via Mursidin, 2012: 18).

Bila positive thinking memakai tenaga satu watt, maka positive feeling memakai 5000 watt. Karena itu positive feeling lebih powerful dibandingkan dengan positive thinking.

Positive feeling mengunakan vibrasi yang tinggi, bersifat cinta, damai, penuh kasih sehingga vibrasi lebih dekat dengan vibrasi Tuhan.

Bahkan jantung mempunyai otak tesendiri yang dapat bekerja tanpa menungu perintah dari otak kepala.

 Penemuan para ilmuan seperti Wolf Singer, Michael Persinger, Ramachandra (via Mursidin, 2012: 18) membuktikan bahwa hati telah menjadi simbol spritual bagi kehadiran Tuhan dalam diri manusia.

Tuhan telah berada dalam hati manusia yang disebut God Spot. Hati atau jantung menjadi simbol segala kebajikan.

Tak ada kejelekan, kesalahan dan kekeliruan yang bisa dibenarkan oleh jantung hati kita.

Hati yang sering disebut kata hati atau hati nurani atau jantung hati menjadi puncang simbolik bagi spritual tertinggi.

Disinilah bersemayamnya naluri-naluri kearifan, kebijakan, keadilan dan kejujuran.

Ibnu Athaillah (709 H) mencoba meyakinkan pembaca karyanya, Lathaiful Minan, bahwa Allah memang memberikan kelebihan indra keenam untuk hamba pilihan-Nya.

Dalam bahasa Jawa kelebihan itu sering disebut dengan istilah Weruh Sak Durunge Winarah, mengetahui (sebuah permasalahan) sebelum (waktunya) terjadi.

Untuk memperkuat pendapatnya tersebut, Ibnu Athaillah menghadirkan dalil Hadis, cerita tentang beberapa sahabat yang diberikan kelebihan tersebut, dan pendapat Abul Abbas al-Mursi (686 H), yang tidak lain adalah gurunya.

Hadis yang dimaksud adalah ittaqu firasatal mu‘min, fa innahu yanzhuru bi nurillah, ‘Pertimbangkanlah firasat seorang mukmin, karena (bisa jadi) dia (dapat) melihat (sebuah permasalahan yang belum terjadi) berkat pertolongan Allah’ (HR Tirmidzi).

Selain itu, Ibnu Athaillah juga menyebutkan cuplikan hadis lain: fa idza ahbabtuhu kuntu sam’ahu alladzi yasma’u bihi, wa basharahu alladzi yusbshiru bihi, wa yadahu alladzi yabthisyu biha, wa rijlahu allati yamsyi biha [ketika Aku sudah mencintainya (wali Allah), maka Akulah yang mengarahkan telingannya untuk mendengar, matanya untuk melihat, tangannya untuk menggenggam sesuatu, dan kakinya untuk melangkah. -HR Ibn Hibban-].

Ada yang menarik yang perlu ditelusuri mengenai istilah firasah dalam bahasa Arab yang diserap dalam bahasa Indonesia menjadi firasat.

Secara leksikal (makna kamus), firasah dan firasat memiliki makna yang sama.

Firasah dalam kamus Lisanul Arab bermakna hati-hati, pandai, waspada, dan teliti.

Ibnu Manzhur (711 H) mengutip pendapat Ibnu Atsir (606 H) dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar mengenai makna firasah (firasatal mu‘min) di atas.

Definisi ini tidak jauh berbeda dengan yang dicatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa firasat itu kecakapan meramalkan sesuatu dengan melihat keadaan.

Islam sebagai ajaran ilahi, kaya dengan ide dan gagasan.

Paradigma dalam mengkaji dan menjelaskan suatu permasalahan selalu menunjukan perbedaan dikotomis dengan paradigma lainya, terutama barat atau non-Islam termasuk diantaranya konsep ilmu.

Perbedaan Islam dan non-Islam mengenai kerangka berpikir suatu persoalan, termasuk konsep ilmu, berawal dari perbedaan antara keduanya dalam memandang dan memberikan penilaian terhadap alam, manusia, dan kehidupan (al-Karim, 1968: 22).

Barat memandang atau menilai ketiga persoalan tersebut dari sudut material dan keuntunganya kepada manusia secara materil pula.

Maka berdasarkan filsafat materialismenya itu lahirlah kapitalisme dan sosialisme dalam bidang ekonomi serta empirisme dan rasionalisme dalam bidang kajian ilmiah.

Mereka yang kerangka berpikirnya berpijak atas dasar materialisme, cenderung menolak penjelasan imaterial dan mengangap sesuatu yang tidak empiris sebagai dongeng atau mitos yang mustahil, nir-wujud dan tidak perlu dikaji (Yusuf, 2012: 15-16).

Disini terlihat, bahwa ilmu itu bersumber dari alam, orang mempelajari alam maka dia mendapatkan ilmu.

Pandangan mazhab materialisme di atas jauh berbeda dari pandangan Islam.

Dimana Islam melihat alam, manusia dan kehidupan sebagai suatu sistem yang telah diatur Tuhan.

Berdasarkan ini, pandangan al-Quran mengenai ilmu, sumber ilmu, subjek dan objek yang dipelajari, cara mendapatkan ilmu serta tujuan mempelajari ilmu itu sangat jelas, yaitu suatu sistem tauhidi ilahi, yaitu segala sesuatu yang dipelajari berasal dari Tuhan dan objek-objek yang dipelajari itu berlaku sesuai dengan ketentuan atau ketetapan-Nya (Yusuf, 2012: 17).

Al-Qur’an mengunakan kata ilmu dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 584 kali, antara lain sebagai proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan (Q.S 2:31-32).

Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita pada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu, di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya.

Para pakar Islam berpendapat bahwa ilmu menurut Al-Quran mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam kehidupanya, baik masa kini maupun masa depan; fisika dan metafisika (Gojali, 2013 :164).

“Ilmu” merupakan suatu istilah yang berasal dari Bahasa Arab, yaitu ‘alima yang terdiri dari huruf ‘ayn, lam, dan mim. Al-Quran sering mengunakan kata ini dalam berbagai sighat (pola), yaitu masdar, fi’il mudari’ fi’il madi, amr, isim fail, isim maf’ul dan isim tafdil (Yusuf, 2012: 17).

Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan oleh para filsuf muslim-nonmuslim pada masa-masa silam, atau klasifikasi yang belakangan ini dikenal dalam ilmu-ilmu sosial, pemikir Islam abad 20 khususnya yang telah mengikuti Seminar Internasional Pendidikan Islam di Mekkah tahun 1977, mengklasifikasi ilmu menjadi dua kategori sebagai berikut: 

1.    Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu ilahi yang tertera dalam Al-Quran dan Hadis segala yang dapat diambil dari keduanya.

2.    Ilmu yang dicari (acquired knowledge), termasuk sains keislaman beserta terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan pengandaan, variasi terbatas dan pengalihan antar budaya selama tidak tertentangan dengan syariat sebagai sumber nilai (Nanang Gojali, 2013: 165).

Satu-satunya tumpuan perhatian sains mutakhir adalah alam materi.

Disinilah, letak perbedaan antara Al-Quran dengan sains.

Al-Quran menyatakan bahwa objek ilmu meliputi batas-batas alam materi (physical world).

Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa Al-Quran di samping mengajarkan untuk mengadakan observasi dan eksperimen, juga menganjurkan untuk mengunakan akal dan intuisi.

Di negeri nayoritas Muslim seperti Indonesia, walaupun tidak sampai meragukan Tuhan, umumnya  ilmuwan Muslim kurang menguasai ilmu agama.

Sekularisme telah menyebabkan timbulnya kepribadian ganda (split personality) dalam diri ilmuan tersebut.

Hal ini karena visi sekuler selalu memandang realitas secara dikotomis. Sains adalah sains, agama adalah agama.

Keduanya tidak berkaitan, sehingga wahyu tidak ada hubunganya dengan sains yang rasioanal dan empiris.

Tujuan metafisika adalah penemuan kebenaran.

Kebenaran tidak seharusnya berubah-ubah, karena jika demikian tak lagi dapat disebut kebenaran. Tetapi hanya dugaan.

Karena metafisika yang bertujuan menemukan kebenaran terumuskan dengan memadai, tugas berikutnya bukan mencari kebenaran namun mempertahankanya.

Tantangannya, pengungkapan metafisika pada zaman yang terus berkembang serta peradaban faham budaya masuk secara integral, baik dalam aspek tempat (space) maupun waktu (time).

Metafisika Islam ini berlaku universal di seluruh masyarakat Muslim dan kenyataanya telah tersebar ke seluruh wilayah dunia Islam.

Politik dan dunia metafisika punya hubungan yang kuat sepanjang sejarah manusia.

Di negara-negara yang memandang rasionalitas  dalam kerangka berpikir filsuf macam Rene Descartes (1596-1650) dengan ungkapannya yang terkenal cogito ergo sum –saya berpikir maka saya ada–, hal-hal metafisis pada titik tertentu masih punya tempat tersendiri.

Bahkan, banyak hal metafisik ini justru mempengaruhi banyak tokoh politik dan pemimpin besar sepanjang sejarah atau mereka-mereka yang dianggap paling rasional.

Presiden ke-16 Amerika Serikat (AS), Abraham Lincoln misalnya merupakan salah satu pemimpin yang percaya bahwa hal-hal supernatural punya hubungan dengan kekuasaan politik seseorang.

Kisah tentang perempuan muda bernama Nettie Colburn yang disebut sebagai medium komunikasi Lincoln dengan dunia lain masih menjadi perbincangan hangat hingga hari ini.

Hal serupa juga dipercaya terjadi pada beberapa Presiden AS setelahnya. Ronald Reagan disebut mengadopsi pemikiran tentang mistisisme dari buku The Secret Teachings of All Ages yang ditulis oleh ahli ilmu gaib Manly P. Hall ketika mengambil kebijakan politik.

Selain di Amerika Serikat, diktator besar sekelas Adolf Hitler disebut menaruh kepercayaan terhadap peran paranormal dalam melanggengkan kekuasaannya.

Hitler menggunakan jasa cenayang bernama Erik Jan Hanussen sebagai salah satu penasehat kebijakannya.

Erik disebut-sebut selalu hadir ketika Hitler membuat kebijakan politik tertentu.

Menariknya, Erik adalah cenayang berdarah Yahudi, etnis yang oleh Hitler direpresi habis-habisan di Jerman.

Hitler nyatanya sangat percaya pada hal-hal metafisik, termasuk dengan mengoleksi pusaka tertentu.

Hal serupa juga terjadi pada Kaisar terakhir Rusia, Tsar Nicholas II yang menjadi salah satu pemimpin besar yang begitu mempercayai paranormal.

Sebagai penasehat Tsar Nicholas II, Gregori Rasputin mungkin menjadi salah satu cenayang paling terkenal dalam dunia politik.

Ia menjadi orang yang ikut menentukan kebijakan politik sang Kaisar. Menariknya, pasca Revolusi Bolshevik yang menurunkan Tsar Nicholas II, posisi paranormal dalam politik masih terus kukuh di kepemimpinan-kepemimpinan selanjutnya di Uni Soviet.

Joseph Stalin misalnya dikenal mempercayai nasehat-nasehat dari seorang paranormal bernama Wolf Messing.

Messing dijuluki sebagai ‘penyihir’ pada zaman itu, bahkan juga ditakuti oleh Hitler, dan nasehat-nasehatnya sangat diperhatikan oleh Stalin.

Masih banyak daftar pemimpin dunia yang mempercayai metafisika.

Bahkan di era saat ini, tokoh macam mantan Presiden Korea Selatan Park Geun-hye disebut-sebut punya paranormal bernama Choi Soon-sil yang menjadi penasehatnya.

Nama terakhir disebut-sebut sebagai penyebab Park terkena skandal korupsi yang mengakhiri masa jabatannya.

Pada Pemilu AS 2016 lalu pun, peran paranormal juga disebut-sebut ikut andil, setidaknya menurut beberapa pihak.

Penasehat politik Presiden Donald Trump, Steve Bannon disebut-sebut sebagai orang yang sangat percaya pada hal-hal metafisis.

Fakta ini jelas menunjukkan bahwa di negara demokrasi modern macam AS pun, metafisika –yang seringkali tidak rasional– masih dianggap punya dampak yang besar terhadap politik.

Lalu, bagaimana di Indonesia?. Nyatanya, presiden yang paling lama berkuasa di negeri ini: Soeharto, adalah orang yang sangat percaya pada peran paranormal atau hal-hal yang berbau metafisika.

Saat berkuasa, Soeharto menggunakan jasa Sudjono Humardani dan sekitar 200-an paranormal sebagai penasehat politiknya.

Bahkan, saat itu muncul istilah ‘menteri mistis’ yang disematkan pada Sudjono.

Soeharto juga mempunyai koleksi 2000 lebih pusaka, hal yang lagi-lagi menunjukkan bahwa metafisika benar-benar mewarnai 32 tahun kekusaan sang presiden.

Dengan banyaknya pemimpin yang masih menaruh kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat metafisika, jelas menunjukkan bahwa politik – bahkan bagi yang beragama sekalipun – masih menganggap kekuatan lain di luar kampanye program kerja atau strategi politik menggaet pemilih misalnya, sebagai hal yang punya pengaruh besar terhadap probabilitas kemenangan dalam Pemilu atau eksistensi tokoh berkuasa.

Hal ini menarik karena melahirkan benturan dengan makin kuatnya strategi politik yang berbasis pendekatan ilmiah, katakanlah yang dilakukan oleh konsultan-konsultan politik. Pertanyaannya adalah metode mana yang akan menang?.

Munculnya pria berjuluk Harimau Jawa memang menimbulkan spekulasi; benarkah pertarungan politik di 2019 juga menjadi ajang ‘pertarungan’ kehebatan paranormal.

Jika berkaca pada Pemilu 2014 lalu, nyatanya jasa paranormal laris manis menjelang gelaran politik tersebut.

Paranormal macam Ki Joko Bodo misalnya, mendapatkan begitu banyak klien politisi yang resah dan memohon petunjuk atau strategi pemenangan darinya.

 Sebagian besar merasa kurang percaya diri dengan kapasitas politiknya, sehingga mengalihkan pandangan pada dukungan paranormal, ketimbang menggunakan jasa konsultan politik.

Menariknya, belakangan ini politik secara umum dapat dinilai makin rasional – katakanlah dengan hadirnya makin banyak lembaga konsultan politik –tetap tidak menyurutkan posisi paranormal.

Politisi umumnya tidak percaya diri jika belum datang meminta nasehat dari paranormal, demikian yang pernah disampaikan oleh mantan politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Artinya, strategi kampanye Pilpres 2019 pun akan ikut terpengaruh.

Tinggal melihat kubu mana yang paranormalnya paling kuat dan jampi-jampinya paling sakti.

Publik akan menyaksikan bagaimana metode ‘Ki Joko Bodo’ misalnya berhadapan dengan strategi berbasis survei politik ala konsultan macam ‘Eep Saefulloh’.

Rd. Kuncoro Lelono Yudhono

Mahasiswa Pascasarjana IAIN Manado

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved