Sekolah Terbakar, Bocah SD Wawunian Pulau Talise Bertaruh Nyawa Demi Bisa Belajar
Jalan kaki teracam jurang. Salah melangkah jatuh.Naik perahu terancam badai, perahu bisa terbalik.
Penulis: Fransiska_Noel | Editor: Fransiska_Noel
Laporan Jurnalis Tribunmanado.co.id, Fransiska Noel
TRIBUNMANADO.CO.ID, TALISE – Kapal yang saya tumpangi merapat di pesisir Desa Wawunian Pulau Talise Kabupaten Minahasa Utara sekitar pukul 09.30 Wita.
Saat hendak mendekati bibir pantai, haluan kapal tiba-tiba membentur sesuatu. Ternyata kapal kandas karena air sangat dangkal. Padahal jarak kapal dengan pesisir masih sekitar 200 an meter.
Alhasil, saya dan beberapa kawan terpaksa turun dari kapal, dan mulai jalan kaki.

Perjalanan menuju bibir pantai ini menjadi tidak mudah, karena kami harus hati-hati saat melangkah untuk menghindari kaki tertusuk bulu babi yang jumlahnya sangat banyak menyebar di sepanjang pantai.
Tinggi air laut mencapai selutut hingga sepaha mendekati kawasan hutan mangrove yang jumlahnya juga makin habis di sekitar pesisir pantai Desa Wawunian ini.
Tidak ada petunjuk perihal arah jalan menuju pantai mengakibatkan perjalanan memakan waktu lebih dari setengah jam.
Berbeda dengan tiga desa lain di Pulau Talise, Desa Wawunian tak memiliki dermaga sebagai tempat sandar kapal atau perahu.
Aktivitas berlayar baru bisa dilakukan saat air laut sudah pasang kembali.
Setelah berjuang mencari jalan, akhirnya kaki bisa berjejak di dataran kering pesisir pantai Desa Wawunian.
Jalanan desa lebih kecil, pesisir pantai agak kumuh karena warga seenaknya buang sampah di tepi pantai menjadi pemandangan sekilas saat saya memasuki desa ini.
Setelah bertanya sebentar, saya dan dua kawan dirahkan menuju rumah Hukum Tua Desa Wawunian, Uce Pudihan yang letaknya tak jauh dari pantai.
Sebelum berangkat ke Desa ini, saya sudah mendapatkan informasi bahwa ada Sekolah Dasar Negeri di Desa Wawunian yang terbakar dan mengakibatkan terhentinya aktivitas belajar.
Bukti terbakarnya sekolah satu atap yang menampung sekitar 50 siswa Sekolah Dasar kelas 1 dan 2 ini terlihat saat saya dalam perjalanan menuju pesisir pantai.
Dari kejauhan bangunan sekolah hanya tinggal dinding yang masih berdiri, sementara atapnya tidak ada lagi.
Terdapat dua bangunan sekolah yang rusak akibat kebakaran tahun 2014 silam ini.
Saat dikonfirmasi ke Uce Pudihan, Hukum Tua Desa Wawunian, ia membenarkan kondisi tersebut.
Bahkan mirisnya, pasca terbakar hingga saat ini, tidak ada tanda-tanda baik oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara maupun Pemerintah Provinsi Sulut untuk melakukan perbaikan kembali sekolah tersebut.
“Pertama-tama kami bersyukur karena tahun 2012 itu sebenarnya sudah ada bantuan pembangunan sekolah lewat dana PNPM. Tapi inilah kendala karena sekolah dibangun di atas lahan dengan vegetasi ilalang yang rawan terbakar,” ungkapnya.
Kondisi rawan ini akhirnya berujung bencana kebakaran yang terjadi tahun 2014 lalu di sekolah ini.
“Sekolah yang dibangun ini terbakar pada tahun 2014, bersama dengan satu unit ruang pendidikan, bantuan dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara,” jelasnya.
Sekitar 50 anak sekolah dasar kelas 1 dan 2 ini ada yang terpaksa harus belajar di Sekolah Dasar yang ada di Desa tentangga, yaitu Desa Airbanua, meski harus bertaruh nyawa lewat perjalanan darat yang berbahaya ataupun lewat perjalanan menyeberang laut yang harus berhadapan dengan badai saat musim badai tiba.
“Jarak jalan kaki ke sekolah di desa sebelah sekitar 3 kilometer. Belum lagi dengan medan harus menanjak tebing setinggi enam meter, kalau salah melangkah jatuh ke jurang. Mana mungkin anak-anak sekecil itu mampu menempuh perjalanan sulit seperti ini,” tutur Uce.
Menurutnya, pemerintah desa sudah berupaya untuk mencoba cari jalan keluar dengan menyediakan sarana transportasi laut menggunakan perahu untuk angkut anak-anak usia SD kelas 1 dan 2 ini untuk ke Desa Airbanua demi bisa sekolah.
“Pernah kejadian perahu terbalik karena dihantam badai angin barat. Puji Tuhan tidak ada yang jadi korban jiwa. Tapi ini sungguh kondisi yang sangat berat,” keluhnya.
Uce sendiri juga mengaku sudah berupaya menyisihkan uang dari gajinya sebesar Rp 300 ribu untuk membayar tenaga guru honor yang ia minta dari kabupaten agar bisa mengajar anak-anak SD di Desa Wawunian, dengan memanfaatkan Balai Desa sebagai tempat belajar.
“Sayangnya hanya bertahan satu tahun, dan guru tersebut pulang dan tak mau kembali lagi kesini,” ujarnya.
Kondisi-kondisi sulit seperti ini akhirnya membuat banyak anak usia sekolah dasar di Desa Wawunian tak lagi sekolah, atau harus menunggu sampai usai 9 tahun sehingga dianggap orangtua sudah cukup kuat untuk jalan kaki atau naik perahu untuk belajar di desa tetangga.
“Lengkap sudah. Desa ini sama sekali tidak ada sekolah. Kasian anak-anak masih kecil oleh orangtuanya terpaksa harus dibawa keluar desa demi bisa sekolah. Semua anak desa ini harus keluar demi bisa mendapat ilmu,” tutur Uce.
Uce berkerinduan adanya perhatian pemerintah baik Kabupaten Minahasa Utara maupun Provinsi Sulawesi Utara untuk bisa melihat kondisi ini dan membangun sekolah yang definitif di Desa Wawunian.
“Dari tahun 2014 itu, kami memang dari masyarakat bahkan pemerintah desa berkerinduan untuk adanya sekolah yang definitif di desa ini supaya menjangkau semua anak-anak usia sekolah. Kendalanya disini karena sekolah ini sejak tahun 2014 sudah terbakar. Sampai dengan tahun ini, setiap tahun kami dari desa memprioritaskan untuk perbaikan Sekolah ini diusulkan ke Musrembang baik di kecamatan maupun di kabupaten, tapi sampai sekarang lewat surat, lewat musyawarah, lewat reses dengan dewan kerinduan ini disuarakan, tapi memang belumada realisasi,” tuturnya.
Uce hanya berharap, dengan menyuarakan kondisi ini akan menggerakan hati Bupati Minut, Gubernur Sulut, termasuk donatur dari berbagai pihak untuk bisa mengulurkan tangan, membantu anak-anak di desanya bisa bersekolah dengan layak.
“Kami hanya ingin anak-anak kami bisa bersekolah dengan layak, sama seperti anak-anak di desa lain di Pulau Talise ini,” harapnya. (Fransiska Noel)