Sekolah Terbakar, Bocah SD Wawunian Pulau Talise Bertaruh Nyawa Demi Bisa Belajar
Jalan kaki teracam jurang. Salah melangkah jatuh.Naik perahu terancam badai, perahu bisa terbalik.
Penulis: Fransiska_Noel | Editor: Fransiska_Noel
Terdapat dua bangunan sekolah yang rusak akibat kebakaran tahun 2014 silam ini.
Saat dikonfirmasi ke Uce Pudihan, Hukum Tua Desa Wawunian, ia membenarkan kondisi tersebut.
Bahkan mirisnya, pasca terbakar hingga saat ini, tidak ada tanda-tanda baik oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara maupun Pemerintah Provinsi Sulut untuk melakukan perbaikan kembali sekolah tersebut.
“Pertama-tama kami bersyukur karena tahun 2012 itu sebenarnya sudah ada bantuan pembangunan sekolah lewat dana PNPM. Tapi inilah kendala karena sekolah dibangun di atas lahan dengan vegetasi ilalang yang rawan terbakar,” ungkapnya.
Kondisi rawan ini akhirnya berujung bencana kebakaran yang terjadi tahun 2014 lalu di sekolah ini.
“Sekolah yang dibangun ini terbakar pada tahun 2014, bersama dengan satu unit ruang pendidikan, bantuan dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara,” jelasnya.
Sekitar 50 anak sekolah dasar kelas 1 dan 2 ini ada yang terpaksa harus belajar di Sekolah Dasar yang ada di Desa tentangga, yaitu Desa Airbanua, meski harus bertaruh nyawa lewat perjalanan darat yang berbahaya ataupun lewat perjalanan menyeberang laut yang harus berhadapan dengan badai saat musim badai tiba.
“Jarak jalan kaki ke sekolah di desa sebelah sekitar 3 kilometer. Belum lagi dengan medan harus menanjak tebing setinggi enam meter, kalau salah melangkah jatuh ke jurang. Mana mungkin anak-anak sekecil itu mampu menempuh perjalanan sulit seperti ini,” tutur Uce.
Menurutnya, pemerintah desa sudah berupaya untuk mencoba cari jalan keluar dengan menyediakan sarana transportasi laut menggunakan perahu untuk angkut anak-anak usia SD kelas 1 dan 2 ini untuk ke Desa Airbanua demi bisa sekolah.
“Pernah kejadian perahu terbalik karena dihantam badai angin barat. Puji Tuhan tidak ada yang jadi korban jiwa. Tapi ini sungguh kondisi yang sangat berat,” keluhnya.
Uce sendiri juga mengaku sudah berupaya menyisihkan uang dari gajinya sebesar Rp 300 ribu untuk membayar tenaga guru honor yang ia minta dari kabupaten agar bisa mengajar anak-anak SD di Desa Wawunian, dengan memanfaatkan Balai Desa sebagai tempat belajar.
“Sayangnya hanya bertahan satu tahun, dan guru tersebut pulang dan tak mau kembali lagi kesini,” ujarnya.
Kondisi-kondisi sulit seperti ini akhirnya membuat banyak anak usia sekolah dasar di Desa Wawunian tak lagi sekolah, atau harus menunggu sampai usai 9 tahun sehingga dianggap orangtua sudah cukup kuat untuk jalan kaki atau naik perahu untuk belajar di desa tetangga.
“Lengkap sudah. Desa ini sama sekali tidak ada sekolah. Kasian anak-anak masih kecil oleh orangtuanya terpaksa harus dibawa keluar desa demi bisa sekolah. Semua anak desa ini harus keluar demi bisa mendapat ilmu,” tutur Uce.
Uce berkerinduan adanya perhatian pemerintah baik Kabupaten Minahasa Utara maupun Provinsi Sulawesi Utara untuk bisa melihat kondisi ini dan membangun sekolah yang definitif di Desa Wawunian.