Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Ini Permintaan Mendikbud kepada Orangtua soal Zonasi Sekolah

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy meminta orangtua tidak perlu resah dan khawatir berlebihan.

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
kompas
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy meminta orangtua tidak perlu resah dan khawatir berlebihan terhadap penerapan zonasi pendidikan pada  Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMA dan SMK 2019. Ia juga mengingatkan Pemerintah Daerah agar tidak melanggar peraturan yang ditetapkan.

"Penerapan sistem zonasi untuk pemerataan pendidikan yang berkualitas sehingga diharapkan dapat mengatasi persoalan ketimpangan di masyarakat," ujar Mendikbud.

Baca: 3 Persen TNI Terpapar Radikalisme: Begini Kata Menhan

Mendikbud mengajak para orangtua agar dapat mengubah cara pandang dan pola pikir terkait "sekolah favorit/unggulan". Ia memahami masyarakat masih resisten dengan konsep ini.

Dikatakan Mendikbud, jangan sampai sekolah mengklaim sebagai unggulan hanya karena menerima anak-anak pandai dan umumnya dari keluarga ekonomi menengah ke atas yang mampu memberikan fasilitas penunjang belajar anak.

Sistem Zonasi hingga Info Hoaks Sekolah, khususnya sekolah negeri harus mendidik semua siswa tanpa terkecuali. "Prestasi itu tidak diukur dari asal sekolah, tetapi masing-masing individu anak yang akan menentukan prestasi dan masa depannya.

Pada dasarnya setiap anak itu punya keistimewaan dan keunikannya sendiri. Dan kalau itu dikembangkan secara baik itu akan menjadi modal untuk masa depan," ujar Muhadjir Effendy.

"Ke depan, yang unggul itu individu-individunya. Sekolah hanya memfasilitasi belajar siswa," kata Mendikbud.

Baca: Beda Tarif Nobar Adegan Intim Suami-Istri Pasutri: Ada Bocah Bayar Rp.1000 Saksikan dari Sudut Ini!

Pendekatan zonasi pada PPDB dimaksudkan memberikan akses lebih setara dan berkeadilan kepada peserta didik tanpa melihat latar belakang kemampuan ataupun perbedaan status sosial ekonomi.

"Kewajiban pemerintah dan sekolah adalah memastikan semua anak mendapat pendidikan dengan memerhatikan anak harus masuk ke sekolah terdekat dari rumahnya," terang Mendikbud.

"Karena pada dasarnya anak bangsa memiliki hak yang sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi, hak ekslusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan pemerintah. Sekolah negeri itu memproduksi layanan publik. Cirinya harus non excludable, non rivarly, dan non discrimination," ungkapnya.

Apabila seorang anak yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu tidak mendapat sekolah di dalam zonanya, mereka akan berpotensi putus sekolah karena kendala biaya. Pendidikan karakter Mendikbud juga menjelaskan pendekatan zonasi erat kaitannya dengan penguatan pendidikan karakter.

Dijelaskan Mendikbud, sesuai ajaran Ki Hajar Dewantara, pemerintah mendorong sinergi antara pihak sekolah (guru), rumah (orangtua), dan lingkungan sekitar (masyarakat). Ekosistem pendidikan yang baik tersebut diyakini dapat mudah diwujudkan melalui pendekatan zonasi.

Baca: Polisi Selidiki Dugaan Kasus Korupsi Dana Desa di Kabupaten Ini

Mendikbud memberikan contoh negara maju yang turut menerapkan zonasi pendidikan seperti Jepang. Saat jarak sekolah dekat dengan tempat tinggal, kemudian siswa jenjang pendidikan dasar bisa berjalan kaki ke sekolah. Dalam proses berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki itu, siswa bisa belajar etiket sebagai warga negara.

Nilai sopan santun, peduli lingkungan, dan berbagai macam kegiatan terkait pendidikan karakter dan budi pekerti dapat ditanamkan dengan sistem zonasi ini. "Orang tua dan masyarakat sekitar ikut terlibat dalam pendidikan karakter," katanya.

Sekolah Favorit

Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang menggunakan sistem zonasi sebagaimana dirancang oleh Kementerian Pendidikan dan kebudayaan memiliki beberapa tujuan.

Tujuan utamanya adalah meratakan mutu sekolah dan pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah untuk meniadakan konsep sekolah favorit dan sekolah tidak favorit. Selama ini, sekolah favorit identik sebagai tempat pendidikan yang menampung siswa dengan kemampuan akademis tinggi.

Sekolah itu juga dilengkapi fasilitas penunjang dan kualitas guru yang mumpuni. Lalu, bagaimana pendapat pengamat pendidikan jika sekolah-sekolah akan disamaratakan sehingga tidak ada lagi sekolah favorit dan tidak favorit?

Psikolog Pendidikan Bondhan Kresna mengaku setuju dengan upaya pemerintah untuk meratakan kualitas pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan antar-sekolah, unggul atau tidak, favorit atau bukan, dan sebagainya.

"Sekolah favorit mengartikan ada sekolah yang tidak favorit. Sekolah tidak favorit ini tidak boleh ada," kata Bondhan. Memeratakan mutu semua sekolah, menurut Bondhan, menjadi kewajiban pemerintah dan masyarakat, sehingga tidak hanya dibebankan pada satu pihak saja.

"Kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk menyamakan mutu sekolah supaya semua bermutu tinggi," ujarnya.

Meski setuju, Bondhan berpendapat, peniadaan sekolah favorit lewat sistem zonasi juga harus memperhatikan kualitas tenaga pendidik atau guru di masing-masing sekolah tersebut.

"Menurut saya sistem ini akan efektif kalau mutu sekolahnya setara. Kompetensi guru-gurunya setara di semua zona, khususnya sekolah negeri," ujar Bondhan. Jika murid-murid sudah tersebar di sekolah sesuai zona lokasinya masing-masing, maka keberadaan guru yang unggul juga harus ikut tersebar tidak hanya terpusat di sekolah unggulan atau favorit.

Dengan demikian, sekolah yang sebelumnya tidak tergolong favorit turut memiliki guru dengan kemampuan unggul yang secara tidak langsung dapat meningkatkan mutu sekolah dan siswa yang menjadi peserta didiknya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh pengamat pendidikan Darmaningtyas.

“Pemerataan kualitas itu bukan hanya dari input-nya tapi juga gurunya, fasilitasnya. Pertanyaannya adalah, apakah guru-guru yang di sekolah favorit tadi didistribusikan secara merata. Fasilitasnya juga, apakah sekolah yang berada di perkampungan-perkampungan mendapat fasilitas yang sama?” kata Darmaningtyas.

Darmaningtyas menilai jika sistem zonasi tetap dilakukan tanpa memperhatikan kualitas yang tidak merata, maka mutu pendidikan akan tetap tak merata. “Kalau tidak dan sekolah yang di perkampungan itu diajar oleh guru yang asal-asalan, fasilitas juga terbatas, maka yang akan terjadi adalah pemerataan mutu pendidikan yang rendah,” ujar Darma. (Kompas.com/laa)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved