KPK: Silakan Sjamsul Nursalim dan Istri Menyerahkan Diri
"Keputusan KPK menetapkan kedua kliennya sebagai tersangka sangat janggal dan tidak masuk akal."
Sehingga, KPK memandang akan lebih baik jika kuasa hukum Sjamsul dan Itjih membantu menghadirkan para tersangka untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut agar para tersangka juga dapat memberikan keterangan sesuai dengan data dan apa yang diketahui.
Belum Tahu
Atas jawaban KPK tersebut, Maqdir menyatakan belum berkomunikasi dengan Sjamsul dan istrinya.
"Saya belum sempat berkomunikasi dengan bapak Sjamsul Nursalim dan ibu. Saya juga belum tahu adanya panggilan kepada bapak dan ibu Sjamsul Nursalim," kata Maqdir.
Terkait perkara ini, mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung menjadi 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar dalam perkara korupsi penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) terhadap BDNI.
Dalam perkara ini, Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA).
BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp35,6 triliun dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun letter of credit.
Jumlah Aset
Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).
Dari jumlah Rp4,8 triliun itu, sejumlah Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.
Namun berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagih menjadi Rp1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.
Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang "sustainable" dan "unstainable" adalah Rp3,9 triliun dengan kurs Rp8500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp2,8 triliun.
Bahkan pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp100 juta/petambak dikalikan 11 ribu petambak dari tadinya utang Rp135 juta/petambak.
Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp80 juta/petambak sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI. (*)