Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Berita Minahasa

Inilah Tradisi Warga Jaton Jelang Idulfitri

Ada cara unik bagi penduduk Kampung Jaton (Jawa-Tondano) untuk memperingati Bulan Suci Ramadan dan Idulfitri.

Penulis: Andreas Ruauw | Editor: Alexander Pattyranie
TRIBUN MANADO/ANDREAS RUAUW
Inilah Tradisi Warga Jaton Jelang Idulfitri 

TRIBUNMANADO.CO.ID, TONDANO - Ada cara unik bagi penduduk Kampung Jaton (Jawa-Tondano) untuk memperingati Bulan Suci Ramadan dan Idulfitri.

Umat Muslim yang ada di Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo Kampung Jawa Tondano (Jaton), Kabupaten Minahasa, lanjutkan tradisi Maleman di malam-malam ganjil jelang akhir bulan suci Ramadan.

Kampung yang terletak di Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara ini menyelenggarakan tradisi Maleman diyakini oleh masyarakat Jawa Tondano akan turun malam lailatul qadar.

Malam yang syahdu dan hening.

Diyakini, di malam pelaksanaan maleman, Tuhan akan melipatgandakan amal perbuatan manusia.

Malam ini juga biasa disebut malam seribu bulan.

Malam ganjil di sepertiga akhir Ramadan adalah masa yang sangat diistimewakan masyarakat Jawa Tondano di Masjid Agung Al-Fallah Kyai Modjo.

Mereka lebih khusyuk dan tawadu beribadah.

Terutama kaum usia lanjut.

Masjid menjadi pusat kekhusyukan warga Jawa Tondano ini.

“Pada maleman ini warga yakin akan turun malam lailatul qadar, malam yang syahdu dan hening, yang diyakini Tuhan akan melipatgandakan amal perbuatan manusia,” jelas sejumlah warga Kampung Jawa Tondano, Sabtu (01/06/2019)

Ustad Atmo Syamsudin, salah satu tetua warga Jawa Tondano mengatakan, tradisi maleman ini sudah dilakukan turun-temurun sejak warga Jaton awal yang diasingkan ke Tondano.

“Tradisi ini sudah dimulai pada zaman penjajahan dan terus dipelihara secara turun-temurun hingga saat ini,” jelasnya.

Pada malam-malam ini warga akan menyambutnya dengan doa.

Mereka juga akan menyajikan makanan khas yang akan dibawa ke masjid di dalam ambeng, wadah yang sudah disiapkan untuk membawa sejumlah makanan.

“Nantinya makanan ini untuk disantap bersama usai berdoa,” jelas Syamsudin.

Selain dimakan bersama, khusus untuk anak-anak yang datang ke masjid mengikuti kegiatan buka puasa serta sholat bersama, akan diberikan juga makanan yang sudah disiapkan.

“Kami sangat senang dengan tradisi maleman yang dilaksanakan,” kata Sabri, salah seorang anak yang juga mendapat makanan dalam acara tersebut.

Kegiatan pembagian makanan bagi anak-anak bertujuan agar anak-anak ini nantinya bisa lebih mengenal dan dekat dengan Tuhan.

Tradisi maleman ini terus dipelihara oleh umat Muslim yang ada di Kampung Jawa Tondano meskipun generasi terus berganti.
Diketahui, Kampung Jawa-Tondano bermula pada masa Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa.

Dimana, Pangeran Diponegoro dibuang ke Makassar yang kemudian dipindahkan ke Batavia (Jakarta) hingga akhir hayatnya.

Sedang pengikutnya, Kyai Muslim Muhamad Halifah yang dikenal dengan sebutan Kyai Modjo dibuang ke Minahasa (Sulawesi Utara).

Dalam pembuangan yang terjadi tahun 1829 itu Kyai Modjo tidak sendirian.

Ikut dibuang pula 63 orang pengikutnya, semuanya adalah laki-laki.

Mereka menempati kawasan rawa-rawa, dan melakukan perkawinan dengan penduduk lokal.

Hingga terbentuklah penduduk campuran Jawa dan Minahasa.

(Tribunmanado.co.id/Andreas Ruauw)

BERITA TERPOPULER:

Baca: Mikha Tambayong Diterima di Harvard: Begini Komentar Teman-teman Artis

Baca: Yuk Intip Kulkas Mewah Iis Dahlia yang Harganya Disebut-sebut Setara 1 Unit Motor Matik

Baca: Potret Kajol dan Anaknya Nysa Devgan, Berbusana Stylish Mirip Kakak Beradik

TONTON JUGA:

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved