Sofyan Basir Lawan KPK, Ganjar Ditanya Proses Anggaran KTP-El
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memenuhi panggilan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di gedung KPK
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID - Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memenuhi panggilan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/5). Dalam pemeriksaan tersebut Ganjar ditanyai soal proses penganggaran proyek KTP elektronik.
Ganjar diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP elektronik untuk tersangka Markus Nari. Ganjar diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan pimpinan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat.
"Anggaran proses. Proses biasa saja sebenarnya, dari sini ke mana," tutur Ganjar soal pertanyaan yang diajukan penyidik KPK setelah pemeriksaan di Gedung Merah Putih.
Ganjar menjelaskan soal penambahan anggaran proyek KTP elektronik. Ganjar mengatakan penambahan anggaran tersebut sebenarnya tidak satu isu, tetapi banyak isu.
"Mitra Komisi II banyak, maka ketika biasanya mau ada perubahan atau ada optimalisasi anggaran di Banggar, semestinya setiap komisi dengan mitranya menyampaikan itu," kata Ganjar.
Menurut Ganjar saat itu terdapat sekitar 100 kabupaten yang harus mencetak KTP elektronik sehingga membutuhkan penambahan anggaran. "Dari kementerian (Kementerian Dalam Negeri) berkaitan dengan e-KTP itu ada, saya lupa persisnya sekitar 100 sekian kabupaten, yang mesti mencetak itu sehingga butuh tambahan anggaran sehingga di dalam hasil rapat itu kementerian diminta untuk memberikan detilnya untuk apa saja kemudian diajukan di Banggar. Prosesnya begitu saja," ucap Ganjar.
Markus Nari ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi KTP elektronik sejak Juli 2017. Markus diduga memperkaya diri sendiri atau orang lain dalam pengadaan paket KTP elektronik tahun 2011-2013. Kasus ini merugikan keuangan negara sebesar Rp2,3 triliun dari total anggaran Rp5,9 triliun.
Markus diduga berperan memuluskan pembahasan dan penambahan anggaran proyek KTP elektronik di DPR. Berdasarkan fakta persidangan, Markus bersama sejumlah pihak lain meminta uang kepada Irman sebanyak Rp5 miliar pada 2012.
Namun demikian, Markus baru menerima Rp4 miliar. Uang ini diduga untuk memuluskan pembahasan anggaran perpanjangan proyek KTP elektronik tahun 2013 sebesar Rp1,49 triliun
KPK telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus korupsi KTP elektroniok. Delapan orang tersebut yakni, Irman, Sugiharto, Anang Sugiana Sudihardjo, Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung.
Saat ini, hanya Markus Nari yang masih dalam proses penyidikan KPK. Tujuh orang lainnya sudah divonis bersalah dan dipidana penjara.
Perkembangan tearnyar dari kasus KTP elektronik, baru-baru ini KPK menyita sebuah mobil mewah milik Markus Nari. Mobil mewah itu diduga didapat Markus dari bayaran pengadaan KTP elektronik.
Sofyan Basir Lawan KPK
Direktur Utama nonaktif PT PLN Sofyan Basir mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka kasus dugaan suap kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sofyan mendaftarkan gugatan praperadilan tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu, 8 Mei 2019, dengan nomor perkara 48/Pid.Pra/2019/PN.JKT.SEL. Adalah KPK c.q. pimpinan KPK menjadi Termohon perkara sah atau tidaknya penetapan tersangka.
"Perkara Praperadilan terdaftar dengan No. 48/Pid.Pra/2019/PN.Jkt.Sel dengan Pemohon Sofyan Basir dan Termohon KPK," kata humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Achmad Guntur, saat dikonfirmasi, Jumat (10/5).
Dalam petitum atau tuntutan yang diminta dalam praperadilan Sofyan, disebutkan misalnya dalam provisi menerima dan mengabulkan permohonan provisi dari pemohon untuk seluruhnya. Selanjutnya, memerintahkan termohon untuk tidak melakukan tindakan hukum apa pun, termasuk melakukan pemeriksaan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tidak melimpahkan berkas perkara dari penyidikan ke penuntutan dalam perkara.
Sebagaimana dimaksud pada Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/33/Dik.00/04/2019 tertanggal 22 April 2019 dan Surat KPK R.I. Nomor: B 230/DIK.00/23/04/2019, tertanggal 22 April 2019, perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan.
Dalam pokok perkara disebutkan, Sofyan Basir meminta majelis hakim untuk mengabulkan permohonan bahwa Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: Sprin.Dik/33/Dik.00/04/2019 tertanggal 22 April 2019 dan Surat KPK RI Nomor: B 230/DIK.00/23/04/2019, tertanggal 22 April 2019 perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan adalah adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan aquo tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya, Sofyan meminta majelis hakim yang mengadili dapat memerintahkan kepada KPK selaku termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap pemohon sebagaimana Sprindik tersebut.
Pengadilan telah menetapkan sidang perdana praperadilan Sofyan Basir digelar pada Senin, 20 Mei 2019, pukul 09.00 WIB. PN Jakarta Selatan telah menetapkan hakim tunggal Agus Widodo untuk memimpin jalannya sidang praperadilan tersebut.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, meski Biro Hukum belum menerima dokumen terkait pengajuan praperadilan itu, KPK pada dasarnya siap menghadapi praperadilan Sofyan. "Belum ada dokumen dari pengadilan yang kami terima di Biro Hukum. Namun, jika ada praperadilan yang diajukan, KPK pasti akan hadapi," kata Febri.
Menurut Febri, KPK yakin bahwa prosedur dan substansi perkara yang ditangani sudah berjalan sebagaimana mestinya. "Apalagi sejumlah pelaku lain telah divonis bersalah hingga berkekuatan hukum tetap," kata dia.
Pada 24 April 2019, KPK menetapkan Sofyan Basir selaku Dirut PT PLN (Persero) sebaga tersangka baru dalam kasus dugaan suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Penetapan tersangka terhadap Sofyan Basir merupakan pengembangan atas kasus yang menjerat Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan.
Eni Saragih telah divonis enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Dari fakta-fakta yang muncul dalam persidangan sejumlah terdakwa kasus yang sama hingga pertimbangan hakim, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup tentang dugaan keterlibatan Sofyan Basir dalam kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1.
KPK memiliki cukup bukti jika Sofyan Basir membantu tersangka Eni Maulana Saragih dalam proses penerimaan suap sebesar Rp 4,75 miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo. Kotjo merupakan pemilik saham Blackgold Natural Resources Ltd, anggota konsorsium penggarap proyek PLTU Riau-1.
Sofyan juga diduga menerima janji fee yang sama besar dengan Eni Maulani Saragih dan mantan Menteri Sosial sekaligus mantan Sekjen Partai Golkar, Idrus Marham.
Jonan akan Diperiksa
KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sebagai saksi untuk dua tersangka, Dirut nonaktif PT PLN, Sofyan Basir dan pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal, Samin Tan. Penyidik meminta Jonan untuk hadir memenuhi panggilan pemeriksaan pada Rabu, 15 Mei 2019.
"Untuk jadwal pemeriksaan pada hari Rabu pekan depan. Direncanakan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka SFB (Direktur Utama nonaktif PT PLN Sofyan Basir) dan SMT (Pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal, Samin Tan)," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah.
Sofyan Basir dan Samin Tan merupakan dua tersangka dalam dua perkara yang berbeda. Sofyan Basir merupakan tersangka kasus dugaan suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau 1 di Provinsi Riau. Sementara, Samin Tan merupakan tersangka kasus dugaan suap terkait terminasi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Kasus yang menjerat Samin Tan merupakan pengembangan dari kasus yang juga menjerat Sofyan Basir, kasus PLTU Riau 1. "Kami harap tentu saja saksi bisa hadir dan memberi keterangan sesuai dengan kebutuhan penyidikan. Karena yang dipanggil sebagai saksi, kami memandang yang bersangkutan mengetahui sebagian atau pada bagian tertentu dari peristiwa yang sedang dilakukan penyidikan saat ini," kata Febri.
Dalam kasus dugaan suap terkait terminasi PKP2B, Samin Tan diduga memberikan Rp 5 miliar kepada Eni. Uang tersebut terkait terminasi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Perjanjian itu antara PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). (tribun network/dit/kcm/coz/ham)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/manado/foto/bank/originals/ganjar-pranowo_20170704_120130.jpg)