Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Intoleransi di Indonesia

Intoleransi di Indonesia Masih Marak, Khususnya Soal Pendirian Rumah Ibadah

Kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah masih dirasakan mereka warga minoritas di beberapa daerah di Indonesia.

Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Rizali Posumah
FINNEKE WOLAJAN
Tiga rumah ibadah berdampingan di Mopuya 

Ia mencontohkan aturan khusus atau pembangunan rumah ibadah yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah.

Faktor kedua, lemahnya pengegakan hukum. Aparat kepolisian tidak merespons dengan baik atas konflik yang terjadi.

Isnur mengatakan, ketika ada konflik agama yang terjadi, biasanya kelompok minoritas yang ditekan dan dipaksa mengalah.

Ia mencontohkan kasus pelarangan pendirian rumah ibadah yang menimpa umat GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi.

Faktor ketiga yakni masyarakat yang mudah terpapar dengan narasi dan ujaran kebencian.

Tak dimungkiri, kata Isnur, ada kelompok-kelompok di tengah masyarakat yang memiliki agenda tertentu. Mereka kerap menyebarkan narasi yang cenderung bersifat intoleran.

Sementara, Isnur menilai masyarakat mudah sekali percaya ketika terpapar dengan narasi-narasi kebencian. (Kompas.com:  Ada 15 Kasus Pelanggaran Hak Beragama di 2018, Terbanyak di Jabar)

Setara Institut Mencatat Kasus Intoleransi di Indonesia Termasuk Tinggi

Dilasir dari Tribunnews.com, Direktur Riset Setara Institut Halili menyebut kasus intoleransi di Indonesia cukup tinggi selama 11 tahun terakhir.

Berdasarkan data hasil penelitiannya, Ada 2.975 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dalam 2.240 peristiwa.

Menurutnya dalam satu peristiwa intoleransi terkadang ada lebih dari sekali tindakan intoleransi.

Menurutnya, angkat tersebut cukup ironis bagi negara Pancasila yang berketuhanan Yang Maha Esa (YME).

Tercatat 11 tahun terakhir ada 378 gangguan terhadap rumah ibadah angka terbesarnya dialami gereja, ada 195, kemudian masjid, sebagian besar masjid Ahmadiyah, tapi tidak semuanya Ahmadiyah.

Seorang bocah pengungsi Ahmadiyah tengah digendong ibunya di Asrama Transito Mataram. Karena orang tuanya tak memiliki KTP sebagaian anak-anak Ahmadiyah hingga saat ini belum memiliki Akte kelahiran.
Seorang bocah pengungsi Ahmadiyah tengah digendong ibunya di Asrama Transito Mataram. Karena orang tuanya tak memiliki KTP sebagaian anak-anak Ahmadiyah hingga saat ini belum memiliki Akte kelahiran. (KOMPAS.COM/ABDUL LATIF APRIAMAN)

Menurut Halili, hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor, di antaranya, penegakan hukum kurang maksimal terhadap tindakan-tindakan intoleransi.

Kemudian, minimnya literasi masyarakat mengenai ajaran-ajaran agama juga menjadi penyebab tingginya intoleransi.

Sumber: Tribun Manado
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved