Intoleransi di Indonesia
Intoleransi di Indonesia Masih Marak, Khususnya Soal Pendirian Rumah Ibadah
Kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah masih dirasakan mereka warga minoritas di beberapa daerah di Indonesia.
Penulis: Finneke Wolajan | Editor: Rizali Posumah
TRIBUNMANADO.CO.ID - Konflik yang terjadi karena pendirian rumah ibadah masih marak terjadi di Indonesia.
Kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah masih dirasakan mereka warga minoritas di beberapa daerah di Indonesia.
Demikian ungkap Kasdim 1310/Bitung Mayor Inf Vino S Onibala.
Ia mengatakan penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah dapat menimbulkan konflik yang dapat mengganggu kerukunan umat beragama, ketentraman dan ketertiban masyarakat.
"Untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban dan menjaga kerukunan umat beragama, maka keluarlah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006," ujarnya.

Ini merupakan instrument hukum yang menjadi pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pembedayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan pendirian rumah ibadat.
"Guna menjaga kerukunan umat beragama, hal ini penting dilakukan sebagai upaya pengelolaan kerukunan umat beragama dalam rangka memelihara persatuan bangsa," kata Kasdim 1310/Bitung Mayor Inf Vino S. Onibala.
Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah serta kerukunan antar umat beragama berlangsung Kamis (9/5/2019) di BPU Kecamatan Ranowulu Kota Bitung. (tribunmanado.co.id: Finneke Wolajan)
Fakta Intoleransi di Indonesia
Dilansir dari Kompas.com, sepanjang 2018, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) se-Indonesia yang bernaung di bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI) telah menangani 15 kasus terkait pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sembilan kasus di antaranya terjadi di Provinsi Jawa Barat.
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary Herwati mengatakan, jika dilihat dari bentuknya, pelanggaran yang terjadi paling banyak berupa larangan beribadah dan menggunakan tempat ibadah, yakni 9 kasus.
Bentuk-bentuk pelanggaran lainnya antara lain penyebaran kebencian, larangan berkumpul keagamaan, larangan ekspresi keagamaan dan larangan pemakaman.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur berpendapat bahwa ada tiga faktor yang memicu kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama yaitu, regulasi atau norma hukum, lemahnya penegakan hukum dan ujaran kebencian.

Menurut Isnur, norma hukum yang mengatur soal pendirian rumah ibadah cenderung menyulitkan kelompok minoritas.