Info
Pembunuh di Christchurch Sebut Dirinya Seperti Nelson Mandela
“Saya hanya orang putih biasa. Seperti Nelson Mandela, akan habiskan 27 tahun di penjara dan akan mendapat hadiah nobel perdamaian.”
TRIBUNMANADO.CO.ID - Hampir sebulan sudah kabar dari New Zealand, tentang Jumat (15/3) berdarah di Kota Christchurch, belaka.
Kabar baik, megaproyek kereta bawah tanah City Rail Link 3,5 km di bawah Auckland, ‘tertutupi’ sadisnya aksi “game perang PUGB” Brenton Harrison Tarrant, yang membunuh 50 jamaah masjid dan melukai 50 lainnya.
Proyek transportasi 54 ribu warga per jam di negara berpenduduk 6,8 juta jiwa itu diberitakan akan mensejejarkan Auckland setara New York, London, dan tetangganya Melbourne dan Sydney itu, juga belum bisa mengalihkan pokok berita atas aksi ‘paling mengagetkan’ dalam sejarah teror di New Zealand dan Austarlia.
Perhatian dunia tetap saja masih tersita kepada aksi ekstrem individual pemuda berusia 28 tahun itu.
Jumat (5/4/2019) pagi ini, Brenton menjalani sidang kedua di pengadilan tinggi Christchurch.
Christchurch ibarat kota provinsi di Indonesia. Tapi jumlah penduduknya selevel kabupaten di Sulawesi.
Penduduknya terbesar ketiga (456 ribu) di New Zealand. Nomor satu, Auckland (1,6 juta). Dan kedua, Wellington (624 ribu jiwa).
Agenda sidang kemarin ini, masih seputar hukum acara; konfirmasi dan konsultasi jaksa; apakah terdakwa akan didampingi pengacara, apakah identitasnya dipublis, dan pembacaan hak-haknya lain sebelum vonis Juni 2019 mendatang.
Brenton Tarrant, seperti dilansir Al-Jazerah, Kamis (4/4), menegaskan ‘sangat siap’ menghadapi sidang itu sendirian. Headline Daily Telegraph, edit Sabtu (16/3/2019) yang menjuluki Brenton Tarrant sebagai "Monster"
Di sidang, kemarin, merujuk hukum acara setempat, Brenton akan diwakili dua pengacara 'negara' dari Auckland Law Community.
Baca: TERUNGKAP: Saya Tidak Bisa Selesaikan Apa yang Saya Mulai menjadi Alasan Gading Marten Cerai
Seraya mengacungkan jari simbol “white supremacy”, Tarrant justru menyebut dirinya hanya akan dihukum seumur hidup, 27 tahun. Bukan hukuman mati seperti harapan dan desakan anti-rasisme global.
“Saya hanya orang putih biasa. Seperti Nelson Mandela, akan habiskan 27 tahun di penjara dan akan mendapat hadiah nobel perdamaian.” kata Brenton usai menjalani sidang perdana, 16 Maret 2019, sehari setelah dijembloskan ke penjara.
Sejauh ini, Brenton masih menghadapi dwi-dakwaan; pembunuhan 50 warga sipil, dan percobaan pembunuhan atas 39 warga tak berdosa lainnya.
Cameron Mander, hakim pangadilan Christchurch, menyebut sidang kedua, untuk memastikan kembali “apakah terdakwa betul siap menghadapi sidang ini sendirian, seperti aksinya.”
Polisi masih membertimbangkan tuduhan lain; seperti sengaja membawa 5 pistol dan senjata semi otomatis berkaliber besar, menyiarkan langsung aksi penembakan brutal itu lewat akun Facebook-nya, serta merilis manifesto motif ‘ideologis’ serangannya.
Pemerintah New Zealand, melalui jaksa negara, selalu memberi penekanan, bahwa Brenton pelaku serangan teroris terburuk di negeri damai ini dan pelakunya “individu’ berwarga negara Australia.
Perdana Menteri NZ Jacinda Ardern, kini sudah meninjau ulang perangkat aturan terkait perubahan UU Senjata, kontrol imigrasi, serta menginstruksikan polisi memberi penjagaan ketat untuk aktivitas Jumat ibadah di semua masjid seantero negeri.
Tarrant sengaja menyiarkan langsung pembantaian tersebut, dan juga menulis manifesto 74 halaman kenapa menembaki jamaah Jumat di Christchuch.
SIAPA BRENTON, Pemuda yang Sering Dibully
Siapa sebenarnya Brenton? Dia terlahir dengan nama baptis, Brenton Harrison Tarrant.
Brenton dibaptis di Grafton Christ Church Cathedral. Gereja tua ini dibangun koloni Inggris tahun 1884.
Bretton termasuk typical pemuda ‘kampung’ Australia. Kampung lahirnya Grafton, sebuah ibu kota kecamatan di New South Wales, Australia.
Grafton terletak di muara sungai besar di NSW, Clarence Rivers. Dari Sydney, kota terbesar Australia, Grafton berjarak 650 km. Kota terdekat lainnya, Brisbane, ibukota NSW, berjarak 345 km.
Tugu Grafton, kampung Kelahiran Brenton Tarrant, di New South Wales, Australia (The_Nine_Channel)
Jika diumpamakan New South Wales adalah provinsi, maka Grafton secara administratif masuk salah satu kecamatan di kabupaten Clarence.
Sensus 2016, penduduk suburb Grafton, Sekitar 18 ribu. Jumlah ini, nyaris setengah dari penduduk Kecamatan Malili, ibukota kabupaten Luwu Timur, yang jaraknya sekitar 570 km tenggara Kota Makassar.
Laiknya kampung-kampung pedalaman, warga Grafton hidup dari pertanian dan jasa. Kebanyakan warganya menghabiskan waktu bersama keluarga dan pensiunan. Di Grafton, warga tak perlu mengunci rumah saat bekerja, dan semua warga saling memgenal.
Bangunan terbesar di Grafton adalah gereja tua, penjara tua level kabupaten yang tahun 2018 lalu dipugar. Proyek baru kebangaan warga adalah jembatan baru.
Selain bar dan kedai TatsLotto, hiburan terbesar di Grafton adalah Jacaranda Festival. dan lomba traithlon tahunan di jembatan. Ini sekaligus jadi obyek wisata tahunan.
Di Grafton, 87% warganya lahir di Australia, 1,5% lahir di Inggris dan 0,7% lahir di New Zealand. Sekitar 8,7% warganya adalah penduduk asli Aborigin dan pendatang dari kepulauan pasifik, Torres Strait.
Tak seperti kota-kota lain di Australia, di Brenton amat jarang terlihat imigran Asia, baik dari China, India atau Timur Tengah. Selain geraja Kriste dan Protestan Aglican, nyaris tak ada rumah ibadah lain di Grafton.
Sedangkan agama adalah Kristen Aglican, 27%, 24% athesis dan 21,1% Katolik.
Brenton Tarrant, terdakwa pembunuh 50 Jamaal masjid di Christchurch, New Zealand bersama mending ayah, Ibu dan adik want Tahun 1994
Ayah Brenton, Rodney adalah bekas buruh pabrik, kolektor sampah warga kota Grifton. Ibunya, seorang guru sekolah dasar.
Dari sebuah dokumen foto tahun 1994, Brenton memiliki seorang adik perempuan, yang besar dengan ibunya.
Alasan keamanan, Pascainsiden, ibu dan adik perembuan Brenton, 'disembunyikan' aparat keamanan Australia.
Ayahnya juga atlet triathlon (lari, renang, balap sepeda) level suburb. Seperti typical pendatang Eropa, ayahnya dikenal ramah, murah senyum dan suka menghabiskan waktu luang di kedai alkohol.
Brenton menghabiskan usai remaja bersama ayahnya. Ibunya cerai saat Brenton masih sekolah menengah.
Mengutip reportase Isabella Kwai, --jurnalis 9 News, jaringan berita Australia—, The New York Times, menyebut Brenton jadi yatim di setamat SMA di Grafton High School, tahun 2009.
Baca: Jokowi Minta Para Pendukungnya untuk Waspada Jelang Hari Demokrasi
Kara Hickson, 28, rekan sekelasnya, menyebut pretasi Brenton di sekolah “poor grade”, di bawah rata-rata.
Brenton sedikit pemalu, tapi selalu mencoba membuat temannya tertawa. “Karena mirip komendian di kelas (clown), banyak teman yang sering mengerjainya (bully).
Brenton diidentifikasi temannya juga sebagai penikmat heavy metal. Jenis musik yang banyak digandrungi pemuda penyediri. “Saya selalu melihat di jalan samping shopping center dengan adik kelas,”
Karena nilai rapor yang rendah, serta berasal dari keluarga kelas pekerja bawah, Brenton tak bisa melanjutkan kuliah.
Sepeninggal ayahnya, 2009 hingga 2011, Brenton bertahan hidup dari gaji sebagai pelatih kebugaran di Big River Gym, di bibir sungai Grafton.
Pemilik Big River Gymnastic and Squash, Tracey Gray kepada media lokal di Brisbane, meyakini Brenton terpapar faham radikal setelah keluar dari tempat kerjanya. “Ada kelompok yang mengubah cara pandangnya tetang dunia dan ideologis,”
Kepada TV Channel Nine, nenek Brenton, Marie Fitzgerald, juga membenarkan cucunya banyak berubah dalam 7 tahun terakhir. “Dia bukan lagi anak yang saya kenal dulu. Sangat berubah.”
Pasca-insiden di Masjid Christchurch di NZ, Brenton disebut banyak berinteraksi dengan kelompok ideologis haluan kanan, yang menekankan supremasi ras kulit putih di Eropa.
Dia banyak berkomunikasi lewat email dan media sosial dengan aktivis ‘anti imigran Muslim” di Eropa, Italia, Austria, Jerman, dan Perancis.
Dari penelusuran jaringan media, Brenton pernah traveling ke Austria, Jerman, dan ada foto dirinya di facebooknya bersama rekannya di Seoul, Korea Selatan tahun 2014.
Al Jazerah melaporkan, Brenton membiayai perjalanannya selama kurang lebih 7 tahun, ke Eropa dengan bisnis cryptocurrency, seperti Bitconnect dan Bitcoin.
Brenton tidak menjelaskan model perannya di bisnis ini, yang pasti crytocurrency global populer tahun 2016.
Dalam manifesto kelompok “white supremacy”, Brenton dan kelompoknya di timur Perancis, menyebut negara-negara Eropa kini, tak nyaman lagi dengan datangnya “Invanders” para imigran dari Asia timur. Afrika, dan Timur Tengah.
New Zealand, 10 tahun terakhir, kata Dr Farid F Saenong, pengamat sosial keagamaan yang sudah lima tahun bermukim di Wellington, NZ, menyebut Islam adalah agama paling pesat pertumbuhannya.
"Bagi warga New Zealand, Islam itu bukan Arab melainkan Asia, Inilah urban Muslim terbanyak di New Zealand." kata warga kelahiran Makassar ini kepada Tribun.
New Zealand Herald, surat kabar berpengaruh di Auckland dan Wellington, menyebut Brenton sudah terpapar “radikalisasi ala Eropa’.
Brenton Tarrant (HO)
Seorang pengamat politik di NZ, menyebut, saat beraksi laiknya pahlawan di game online, PUGB, Brenton terinspirasi dari Anders Breivik, pelaku penembakan sadis dan radikal serupa di Utøya, Norwegia tahun 2011 lalu.
Aksi di Utaya, kala itu membunuh 69 anak imigran pekerja, juga dengan senapan mesin.
Brenton mengutip cerita dalam manifestonya; “kini ribuan warga Eropa hidup dengan teror.”
Di bagian lain, manifestonya, dia menulis saya membaca tulisan Dylan Roof dan banyal lagi pejuang Ras Eropa, tapi yang sangat menginspirasi saya adalah epos kepahlawanan dari “Knight Justiciar Breivik. atau Anders Breivik.
Frasa "Knight" merujuk pada Knight's Templar, salah satu perwira Kristen Eropa di abad 12, periode perang salib modern.
Baca: Cara Merawat Buku Agar Tetap Rapi, Bersih dan Anti Jamur, Seperti Baru Lagi!
Latar belakang inilah yang membangun pemahaman, kenapa Brenton menyiarkan langsung aksi sadisnya dengan kamera GoPro saat menembaki jamaah Masjid Al Noor Mosque di Christchurch, dan memperlihatkan senapan semi otomatis miliknya.
New Zealand, termasuk negara dengan penduduk 'tak beragama' terbesar di kawasan Pasifik. Ini seperti di Austria, Jerman, dan negara-negara Eropa barat.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison, menyebut Brenton sebagai "extremist, sayap kanan (right-wing), dan violent terrorist ”.Dia (Brenton) kini membangun atmospher perang untuk melawan “jihadis Muslims.”
Mantan Walikota Christchurch Bob Parker, pun mengingatkan aparat kepolisian dan aparat keamanan, di New Zealand untuk mengawasi pergerakan kelompok “sayap kanan” yang berpotensi menyebar radikalisme supremasi kulit putih.
“Aksi Brenton adalah peringatan keras. Jika negara dan otoritas keamanan tak menyelidiki ini, maka masa depan kehidupan sosial di New Zealandakan kelam. Ini momen tepat.” kata Parker kepada Al Jazeera.
Perdana Menteri New Zealand Jacinda Ardern sendiri menegaskan, Brenton tidak masuk dalam daftar teroris di negaranya dan Australia.
Kekhawatiran ini mencuat, sebab tiga orang tersangka lain, yang dikabarkan ikut tertangkap usai kejadian, hingga saat ini belum diadili.
Kepolisian Federal Australia (AFP) dan otoritas pasukan Counterterorism, juga sudah mengkonfimasikan bahwa Brenton “bukan termasuk pelaku teroris dan esktrimis”.
Artikel Sebelumnya: http://makassar.tribunnews.com/2019/04/06/monster-pembunuh-50-jamaah-christchurch-sebut-dirinya-seperti-nelson-mandela-siapa-dia?page=all.
Penulis: AS Kambie
Editor: Thamzil Thahir