Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sejarah

4 April 1961, Permesta Turun Gunung di Desa Malenos, Amurang

Permesta dideklarasikan oleh Letnan Kolonel Ventje Sumual selaku pemimpin sipil dan militer Indonesia bagian timur pada 2 Maret 1957 di Makassar.

Penulis: Rizali Posumah | Editor: Rizali Posumah
Istimewa
Permesta saat berdamai dengan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI: Sekarang TNI). 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Permesta atau Perjuangan Rakyat Semesta atau Perjuangan Semesta adalah jalan pedang yang ditempuh para tokoh militer di Sulawesi, utamanya Sulawesi Utara.

Mereka memprotes beberapa kebijakan Pemerintah pusat Republik Indonesia yang dianggap merugikan daerah dengan cara mengangkat senjata. 

Permesta dideklarasikan oleh Letnan Kolonel Ventje Sumual selaku pemimpin sipil dan militer Indonesia bagian timur pada 2 Maret 1957 di Makassar. S

etahun kemudian, pada 1958, markas besar Permesta dipindahkan ke Manado.

Pada tanggal 17 Februari 1958 diumumkan di Lapangan Sario Manado, bahwa Permesta menyatakan putus hubungan dengan pemerintah pusat.

Berapa bulan kemudian, Maret 1958 Pemerintah Pusat melalui KSAD Mayor Jenderal Nasution menginstruksikan operasi militer terhadap kedudukan Permesta di Sulawesi.

Letkol Bardosono ditugaskan memimpin operasi yang disebut dengan nama Operasi Militer IV.

Sasaran utama operasi adalah Sulawesi Utara bagian Tengah. 

Setelah kurang lebih tiga tahun bergelut dengan Pemerintah Pusat, Permesta kian terdesak. Apalagi di pucuk pimpinan mereka juga terjadi perbedaan pendapat.

Bahkan tak jarang, terjadi konflik antar pasukan mereka di lapangan. Situasi tak sedap seperti ini, makin melemahkan kedudukan Permesta

Akhirnya, pada tahun 1960 Permesta Menyatakan kesediaanya untuk berunding dengan pemerintah pusat.

Permesta diwakili oleh Panglima Besar Angkatan Perang Permesta, Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang serta pemerintah pusat diwakili oleh Kepala Staf Angkatan Darat Nicolas Bondan.

Pada tahun 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres 322/1961 memberi amnesti dan abolisi bagi siapa saja yang terlibat PRRI dan Permesta

Pada tahun teresebut pula, Permesta akhirnya turun gunung.

Menyudahi perang saudara yang banyak memakan korban di kedua belah pihak.

Meski begitu kembalinya Permesta ke pangkuan RI tak langsung dilakukan serentak.

Langkah damai ini pertama kali dimulai oleh Permesta pimpinan Daniel Julius Somba, pada tanggal 4 April 1961.

Desa Malenos Baru, Lokasi Pertama Perdamaian Permesta-RI

Tempat digelarnya kesepakatan damai itu, sekarang telah berdiri satu perkampungan baru bernama Desa Malenos Baru, Kecamatan Amurang Timur.

Momen itu, ditandai dengan didirikannya monumen perdamaian yang saat ini dengan mudah bisa ditemukan di samping gedung Gereja Masehi Injil Minahasa (GMIM) Eben Hezer, Desa Malenos.

Dalam catatan sejarah yang dimiliki Desa Malenos Baru disebutkan, perdamaian diawali dengan kedatangan Wakil Gubernur (Wagub) Sulut dan Tenggara (Suluteng) bernama B Tumbelakan sebagai representasi Pemerintah Pusat RI ke desa Malenos, pada awal tahun 1961.

Seorang bernama B Tumbelaka ditugaskan Wagub Suluteng  untuk memersiapkan perdamaian.

B Tumbelaka lalu menugaskan Kepada Desa Malenos Victor A Tutu untuk mencari tempat aman guna dilakukannya perundingan. Victor  juga ditugaskan untuk jadi penghubung antara Pemerintah dan Permesta.

Singkat cerita, Perkebunan Ritey dekat hulu sungai Malenos dijadikan lokasi pertama pertemuan.

Di sana hadir Wagub Suluteng dari pihak Pusat dan Johan Tambayong dari pihak Permesta. Dari Ritey, lokasi pertemuan berikutnya dilanjutkan di Gedung Gereja Masehi Injil Minahasa (GMIM) Malenos.

Perundingan dihadiri oleh Wagub Sulteng dan Kolonel Supangat selaku Perwira Staf Komando Daerah (Kodam) XIII/Merdeka APRI (Sekarang TNI) Dari pihak pusat.

Dari pihak Permesta, hadir Johan Tambayong dan Letnan Kolonel Wim Tenges selaku Komandan Brigade WK.III (Distrik III) Permesta.

Perundingan yang dijaga ketat oleh Batalyon A/Kompi Buaya Permesta pimpinan Kapten Anthon Tenges tersebut berjalan lancar. Kedua pihak sama-sama sepakat untuk mengakhiri perang saudara.

Tanggal 4 April 1961 dipilih sebagai hari upacara pembacaan Naskah Perdamaian. Lokasi yang ditentukan bertempat disekitar halaman Gereja GMIM Malenos.

Untuk memersiapkan upacara, pada tanggal 3 April 1961, Pasukan Zeni Kodam XIII/Merdeka membuat lapangan.

Lokasi lapangan tersebut sekarang masuk di tiga pekarangan, yakni halaman Gereja GMIM Malenos, Rumah Keluarga G Kimbal dan Rumah Keluarga Victor A Tutu.

Tepat pada hari H, tanggal 4 April 1961, upacara pun dilaksanakan.

Naskah perdamaian ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dari pihak Pemerintah Pusat, naskah ditandatangani oleh Kolonel Sunandar Prijosudarmo selaku Panglima Kodam (Pangdam) XIII/Merdeka.

Dari pihak Permesta ditandatangani oleh Kolonel D.J Somba selaku pimpinan Komando Daerah Pertempuran (KDP) II, sekaligus selaku Panglima Komando Daerah Militer (KDM) Sulawesi Utara dan Tenggara (SUT) Permesta.

Tokoh Penting Permesta

DJ Somba adalah salah satu tokoh penting dalam pergolakan Permesta. Dia adalah tokoh yang membacakan pernyataan sikap Permesta putus hubungan dengan Pemerintah Pusat, pada tanggal 17 Februari 1958 di Lapangan Sario Manado.

Perdamaian Permesta melalui D.J Somba, juga membuat ribuan pasukan Permesta yang dipimpinnya menghentikan perlawanan.

Selain itu, di bawah kepemimpinannya juga ada salah satu dari dua Brigade terkuat yang dimiliki Permesta, yakni Brigade WK.III. Brigade yang dipimpin Kolonel Wim Tenges ini terkenal disiplin, loyal dan gigih di medan tempur.

Dalam buku berjudul Permesta Dalam Romantika, Kemelut, & Mister, Phill M Sulu menjelaskan, Kolonel Wim, secara militer adalah sosok yang cerdas dan ahli strategi.

Kedisiplinan dan kerapihan pasukannya saat bergerak, serta moral prajuritnya menjadi pembeda utama dengan Brigade 999 pimpinan Jan Timbuleng (pasukan Permesta lainnya yang dianggap tangguh).

Meski dikenal ganas di medan tempur, Brigade 999 dinilai tidak menggambarkan satuan militer yang profesional sebagaimana Brigade WK.III.

Selain itu, sosok Wim juga punya prestasi yang baik di bidang militer.

Ia adalah mantan komandan kompie dari Batalyon Worang. Berjuang dan turut aktif sebagai petempur lapangan dari masa perang revolusi di Surabaya, aksi militer I dan ke II, pendaratan di Jeneponto, pendaratan di Manado, dan pendaratan di Tulehu (Ambon) dalam pertempuran melawan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).

Setelah pasukan-pasukan Permesta yang berbasis di sekitar Amurang melalui DJ Somba berdamai dengan Pemerintah Pusat RI, selanjutnya yang berada di daerah lain seperti Tomohon dan Tondano juga mengadakan perdamaian.

Tercatat lebih dari 20.000 pasukan Permesta dengan sekitar 8000 pucuk senjata dibawah pimpinan AE. Kawilarang, DJ Somba, Wim Tenges, Abe Mantiri, Lendy Tumbelaka dan kawan-kawan di 4 WK yang ada, kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Selama sekitar empat tahun berperang melawan Militer RI, gerakan ini telah menimbulkan derita pada rakyat. Diperkirakan 15 ribu korban jiwa di Minahasa, 394 desa di seluruh Sulawesi Tengah dan Utara musnah

Dan ada kurang lebih 2.499 nyawa prajurit TNI melayang, dan di pihak PRRI/Permesta diperkirakan sebanyak 22.174 prajurit dan simpatisan tewas. (*)  (tribunmanado.co.id/Rizali Posumah)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved