Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

4 Fakta Kematian Muhammad Rahim, Mulai dari Disemayamkan Hingga Dimakamkan di Samping Sajjad

Jumlah Warga Negara Asing (WNA) asal Afghanistan yang tinggal di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Manado kembali berkurang.

Penulis: Rhendi Umar | Editor: Rhendi Umar
TRIBUN MANADO/JUFRY MANTAK
Jenazah Muhammad Rahim Warga Afganistan Dimakamkan di Samping Makam Sajjad 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Jumlah Warga Negara Asing (WNA) asal Afghanistan yang tinggal di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Manado kembali berkurang.

Sepeninggal Sajjad Jacob (24) yang meninggal dunia Rabu (13/2/2019) lalu, kini Muhammad Rahim (60) pun telah dipanggil Sang Khalik pada Selasa (19/3/2019) kemarin, sekitar pukul 18.45 Wita.

Kematian Rahim menyerupai saudaranya Sajjad yang tewas akibat luka bakar, setelah beraksi membakar diri di Rudenim Manado bentuk perjuangan kepada UNHCR  yang dinilai menginjak hak mereka.

Berikut Ini 4 Fakta Kematian Muhammad Rahim:

1. Disemayamkan di Masjid kampus Unsrat

Mohammad Rahim meninggal dunia di RSUP Kandou Manado, Selasa (19/3/2019) kamarin, sekitar pukul 18.45 Wita.

Jenazahnya disemayamkan di Masjid Kampus Unsrat, Rabu (20/3/2019) pagi, sekitar pukul 10.00 Wita.

Keluarga almarhum setia berada di samping jenazah karena merasa begitu kehilangan.

Setelah disemayamkan Rahim dimakamkan di Pekuburan Malendeng

2. Pesan kepada anaknya

Amar Rahim, anak Muhammad Rahim mengatakan, ayahnya meninggalkan pesan-pesan sebelum meninggal dunia

"Ayah sempat mengatakan kalau kami yang tertinggal jangan ke mana-mana. Indonesia adalah negara yang aman," ungkap Amar Rahim ke tribunmanado.co.id, di Masjid Kampus Unsrat, Rabu (20/3/2019)

Ditambahkannya, sudah kurang lebih 20 tahun mereka di Indonesia, tidak pernah buat kekacauan di Indonesia.

"Apa salah kami. Kami hanya ingin jadi warga Indonesia. Warga Indonesia sudah baik bagi kami, sehingga kami ingin jadi warga Indonesia," tuturnya.

3. Dibawa ke Masjid SIS Aldjufrie Malendeng

Jenazah almarhum Muhammad Rahim, dibawa ke Masjid SIS Aldjufrie Malendeng, untuk disemayamkan sebelum dibawa ke ladang pekuburan, sekitar pukul 12.56 Wita.

Terpantau Tribunmanado.co, jenazah almarhum Muhammad Rahim diantar pakai ambulans milik Badan Amil Zakat Nasional Sulut, dari Masjid Kampus sampai ke Masjid SIS Aldjufri.

Padwal Polresta Manado, serta diikuti puluhan rekan kuliah Almarhum Sajjad dan rekan kuliah anak almarhum, ikut mengawal Jenazah.

4. Dimakamkan di samping makam Sajjad

Setelah disemayamkan di Masjid SIS Aldjufrie Malendeng, Manado, Sulawesi Utara, selama 15 menit, jenazah Muhammad Rahim diantar ke ladang pekuburan sekitar pukul 13.10 Wita.

Puluhan warga antusias mengangkat keranda jenazah almarhum menuju ladang pekuburan.

Meski lokasi pekuburan menanjak ke bukit, namun semangat dari anak-anak kuliahan Unsrat ini tidak putus.

Anak dari almarhum Muhammad Rahim, yakni Amar Rahim, mengangkat keranda ayahnya sampai di lokasi pemakaman.

"Ayah dimakamkan di samping makam almarhum Sajjad," ungkap Amar.

Sehari Sebelum Bakar Diri, Sajjad Posting Ini di Facebooknya, Statusnya Sudah Ratusan Kali Dibagikan
Sehari Sebelum Bakar Diri, Sajjad Posting Ini di Facebooknya, Statusnya Sudah Ratusan Kali Dibagikan (KolaseTribunmanado.co.id/Facebook/Tribunmanado)

Diketahui, sebelumnya Rahim ikut terbakar karena berdiri di dekat keponakannya, Sajjad Jacob (24) yang melakukan aksi bakar diri di Rudenim Manado pada Selasa (06/02/2019). Sajjad meninggal pada Rabu (13/2/2019) dan dimakamkan di Malendeng pada Kamis (14/2/2019)

Aksinya nekat tersebut sempat bikin heboh masyarakat Sulawesi Utara.

Lulusan Unsrat Manado ini menghebuskan napas terakhir setelah berjuang melawan derita luka bakar selama sepekan terakhir dirawat di RSUP Kandou.

Saat dirawat, Sajjad mengungkapkan aksi nekatnya tersebut karena petugas rudenim dan kepolisian memaksa masuk ke area kamarnya.

Aksi bakar diri tersebut membuat pamannya yang berada dekat ikut terbakar.

Sajjad mengungkapkan dia dan penghuni lain terus melakukan protes ke PBB terkait status mereka dalam beberapa tahun terakhir. 

Mereka unjuk rasa hingga mogok makan untuk mendapatkan status sebagai pengungsi sebelum dideportasi ke negara tujuan.

Dia merasa hidup di rudenim seperti dalam penjara.

Atas aksi protes tersebut, dia dan keluarganya didatangi petugas dan kepolisian untuk digeledah. 

Kepala Rudenim Manado Arther Mawikere mengatakan status penghuni rudenim final reject atau ditolak sebagai pengungsi.

“Yang jelas status mereka final reject, dan sejak 01 Februari 2019 berada dalam pengawasan Imigrasi sesuai surat UNHCR 31 Januari 2019. Termasuk Internasional Organizations for Migrations yang telah memutus pemberian fasilitas mereka, oleh karena ulah dan perbuatan mereka yang menolak beberapa kali pihak UNHCR untuk menemui mereka. Sehingga status mereka adalah Immigratoir,” ujar Mawikere kepada tribunmanado.co.id pada Sabtu (9/2/2019)

Pihaknya meminta bantuan polisi untuk mengecek kamar para penghuni karena pagar menuju kamar sudah ditutup.

Saat itulah Sajjad yang menolak digeladah melakukan aksi bakar diri.

Sayang, aksi nekad Sajjad yang gigih memperjuangkan nasibnya dan pencari suaka lain justru menyebabkan nyawanya hilang.

Sang pahlawan pencari suaka yang bergaul akrab dengan warga Manado ini sudah dimakamkan.

Kematian Sajjad meninggalkan duka, banyak protes pun dilayangkan warganet Manado terkait kematian Sajjad. 

Sajjad dan keluarga memang sudah hampir 10 tahun tinggal di Manado setelah sebelumnya tinggal di NTB selama 10 tahun.

Alasan kemanusian tentu membuat banyak orang berempati atas peristiwa menimpa Sajjad.

Namun, ada hukum internasional yang harus dipatuhi dalam perjuangan para pencari suaka tersebut.

Apalagi Indonesia bukan negara peratifikasi konvensi Wina tentang pengungsi.

Sehingga tidak ada kewajiban untuk mengurus pengungsi.

Para pencari suaka tersebut hanya titipan yang kapanpun bisa dideportasi.

Amar Karim, keluarga Sajjjad mengungkapkan sebagai warga yang lari dari negaranya, kedatangan mereka hanya untuk mendapatkan kedamaian. Indonesia dia anggap sebagai negara yang mampu memberi kedamaian itu.

Dia menyebut, kebaikan yang mereka rasakan tidak hanya setahun melainkan sudah 20 tahun, yakni 20 tahun di Nusa Tenggara Barat dan 10 tahun di Manado.

"Karena masyarakat Indonesia kami bisa bernapas. Keluarga kami telah mendapatkan kehangatan yang diberikan masyarakat Indonesia selama ini. Kami berharap dukungan penuh dari Masyarakat Indonesia,” lanjut dia. 

TONTON JUGA :

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved