Maybank Raih Laba Rp 2,1 Triliun di 2018: Potensi Ekspor hingga Dana IPO
Kinerja PT Maybank Indonesia Tbk membaik di tahun 2018. Hal ini tecermin dari laba setelah kepentingan non pengendali dan pajak
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Kinerja PT Maybank Indonesia Tbk membaik di tahun 2018. Hal ini tecermin dari laba setelah kepentingan non pengendali dan pajak yang menembus Rp 2,19 triliun atau naik 21,6% dari tahun sebelumnya yang sebesar
Rp 1,8 triliun.
Direktur Utama Maybank Indonesia Taswin Zakaria mengatakan, laba yang tercetak di tahun lalu merupakan rekor laba tertinggi bagi Maybank Indonesia sepanjang sejarahnya.
Kenaikan laba bersih antara lain ditopang pertumbuhan pendapatan bunga bersih alias net interest income (NII) yang naik 5,2% dari tahun sebelumnya menjadi Rp 8,1 triliun. Meski pendapatan bunga bersih naik, pendapatan non bunga perseroan tercatat menyusut dalam dari Rp 2,72 triliun per akhir 2017 menjadi Rp 2,26 triliun, turun 17%.
Bukan hanya itu pendapatan operasional (kotor) perseroan juga turun tipis 0,6% menjadi Rp 10,36 triliun. Sementara beban operasional justru naik 4% hingga menyentuh Rp 6,02 triliun.
Alhasil pendapatan operasional sebelum provisi tercatat menurun 6,4% dari Rp 4,63 triliun menjadi Rp 4,34 triliun. Hanya saja, total pendapatan operasional perseroan ini tetap mengalami peningkatan tinggi sebesar 21,1% menjadi Rp 3,03 triliun. Salah satu penyebabnya adalah biaya provisi yang ditanggung Maybank sepanjang tahun lalu turun lumayan drastis, hingga 36%, dari Rp 2,13 triliun menjadi Rp 1,31 triliun.
Laba perseroan ini di tahun 2018 lalu juga disumbang oleh pertumbuhan penyaluran kredit yang mencapai 6,3% menjadi Rp 133,34 triliun. "Utilisasi modal serta aset yang lebih baik telah menghasilkan pertumbuhan laba bank yang signifikan," ujar Taswin.
Segmen kredit community financial services (CFS) Maybank terbagi menjadi dua kelompok, yakni non-ritel dan ritel. Pertumbuhan terbesar terjadi pada CFS non-ritel dengan realisasi Rp 58,3 triliun atau naik 10,9% dengan porsi terbesar berasal dari business banking yang naik 9,8% menembus Rp 34 triliun.
Selain dari CFS, kredit perseroan juga ditopang oleh perbankan global. Meski begitu pertumbuhannya tipis, hanya 2,9%, menjadi Rp 31 triliun per akhir 2018.
"Komposisi penyaluran kredit kepada usaha produktif terhadap total kredit bank adalah 75,3% di atas ketentuan minimum regulator yang sebesar 65%," ujar Direktur Keuangan Maybank Indonesia Thila Nadason dalam paparan kinerja perseroan di Jakarta, Senin (18/2).
Taswin memprediksi pertumbuhan kredit yang dicetak Maybank bisa mencapai dua digit di tahun ini. Maksimal sebesar 10%, imbuh dia.
Adapun dana pihak ketiga (DPK) turun sebesar 3,7% dari Rp 121,3 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp 116,8 triliun. Taswin menjelaskan, penurunan tersebut karena pihaknya mengkaji ulang dana mahal masyarakat. Penurunan DPK terutama dari dana tabungan yang merosot 19,8% menjadi Rp 19,9 triliun. Sementara deposito turun 0,6% menjadi
Rp 72,3 triliun.
Bunga Konsumer Bisa Naik Lagi
Perbankan masih melakukan penyesuaian suku bunga acuan yang naik sepanjang 2018 dengan suku bunga kredit di tahun ini. Bila dirinci berdasarkan segmennya, bunga kredit konsumer masih tercatat paling tinggi dibandingkan kredit lain.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per November 2018 mencatat, bunga kredit konsumer sebesar 11,8%. Posisi ini jauh di atas bunga kredit modal kerja (KMK) maupun bunga kredit investasi (KI) yang masing-masing 10,51%. Walau demikian, posisi bunga konsumer masih lebih rendah dibandingkan posisinya di 2017 yang sempat menyentuh 12,66% secara rata-rata.
Direktur Utama PT Bank Maybank Indonesia Tbk Taswin Zakaria mengatakan, bunga kredit perbankan memang sempat turun cukup banyak pada awal tahun 2018 akibat penurunan suku bunga acuan di 2017. Namun sejak Mei 2018 ketika BI memutuskan untuk menaikkan bunga acuan, Maybank ikut menaikkan bunga kredit.
"Sebenarnya Maybank sudah menaikkan kredit di kuartal IV 2018. Kelihatannya masih akan ada kenaikan lagi di 2019 ini tapi lihat kondisi pasar dulu," ujar Taswin, Senin (18/2).
Sebagai informasi, per 31 Januari 2019 suku bunga dasar kredit (SBDK) Maybank tercatat sebesar 10,75% untuk kredit ritel, kredit mikro 18,3% sementara bunga kredit konsumsi 9,75% untuk KPR dan non KPR 10%. Direktur Keuangan Maybank Indonesia Thila Nadason menyebutkan sepanjang 2018 bunga kredit sudah naik 10 sampai 25 basis poin (bps). "Sebagian besar untuk segmen bisnis dan UMKM. Kalau KPR (konsumer) sudah fix," ujar dia.
Kerjasama promo
Direktur Konsumer PT Bank CIMB Niaga Tbk Lani Darmawan menyatakan, bank CIMB Niaga berharap bunga kredit konsumer tidak akan naik lagi di tahun ini. Namun, itu tergantung pergerakan biaya dana alias cost of fund (cof) bank.
Meski begitu, khusus untuk produk konsumer seperti KPR, CIMB memang tak mematok bunga tinggi. Untuk beberapa produk konsumer, CIMB Niaga kerap kerjasama promosi dengan pengembang sehingga ada subsidi dari sisi bunga. Catatan CIMB Niaga menunjukkan, sepanjang 2018 kenaikan bunga konsumer rata-rata 125 bps-150 bps.
Kepala Divisi Konsumer
PT Bank OCBC NISP Tbk Veronika Susanti berharap tahun ini bunga kredit konsumer akan stabil. Agar tetap menggenjot pertumbuhan kredit konsumer, OCBC berencana untuk meluncurkan program KPR Easy Start untuk nasabah milenial dengan cicilan dan angsuran yang lebih murah di awal masa angsuran.
Rata-rata Suku Bunga Kredit Konsumsi
2013
2014
2015
2016
2017
2018*
Rupiah
13,13%
13,58%
13,88%
13,59%
12,66%
11,80%
Valas
4,10%
3,00%
2,65%
2,82%
3,21%
3,55%
Realisasi Kredit Konsumsi
2015
2016
YOY
2017
2018
YOY
1.143,80
1.244,90
8,83%
1.381,60
1.523,70
10,30%
Ket : dalam Triliun Rupiah
Sumber : Bank Indonesia (BI)

WSKT Akan Mempercepat Pengerjaan Proyek Strategis
Proyek tol masih menjadi fokus PT Waskita Karya Tbk (WSKT) tahun ini. Emiten ini berniat mempercepat pengerjaan sejumlah proyek yang direncanakan.
Sejauh ini, emiten pelat merah tersebut telah memiliki proyek tol sepanjang 1.300 kilometer (km). Dari total ini, sekitar 468 km di antaranya, setara 36%, sudah beroperasi.
Tol yang sudah beroperasi seperti Trans Jawa dan Trans Sumatra ruas Bakauheni-Palembang. Trans Jawa mampu memangkas waktu tempuh dari sebelumnya 20 jam menjadi hanya 12 jam-15 jam.
Sedangkan tol Trans Sumatra bakal memangkas waktu tempuh dari sebelumnya 12 jam menjadi sekitar 6 jam. Waktu tempuh yang lebih singkat diharapkan menurunkan biaya pengiriman logistik, khususnya biaya bahan bakar. "Sisa proyek tol kami targetkan akan bisa beroperasi tahun ini dan tahun depan," ujar Direktur Keuangan WSKT Harris Gunawan kepada KONTAN, Senin (18/2).
Harris belum bersedia merinci ruas tol mana yang bakal segera dioperasikan tahun ini. Yang terang, WSKT sudah menyiapkan belanja modal atau capital expenditure (capex) Rp 26 triliun.
Sekitar 79% dari capex akan digunakan untuk mendanai proyek tol. Sisanya untuk proyek lain. Pasalnya, selain tol, WSKT juga mengerjakan sejumlah proyek infrastruktur, seperti bandara.
Salah satu bandara yang telah tuntas pengerjaannya adalah Bandara Ahmad Yani, Semarang. Kini bandara tersebut mampu menampung 128 pergerakan pesawat dari sebelumnya 122 pesawat.
Otomatis, jumlah penumpang juga naik jadi 14.474 orang per hari, dari sebelumnya 13.333 orang per hari. Pergerakan kargo juga naik menjadi 70 ton dari sebelumnya 60 ton per hari.
Harris menambahkan, WSKT berencana menerbitkan obligasi tahun ini. Dana obligasi antara lain dipatok untuk membiayai sejumlah proyek yang bakal dikerjakan. "Saat ini masih diproses, menyesuaikan kebutuhan perusahaan," jelas dia.

OJK Mewacanakan Dana Ganti Rugi Kerugian Investor
Investor bakal bisa bernapas lebih lega. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki inisiatif untuk membentuk dana perlindungan investor atawa disgorgement fund.
Dana tersebut nantinya digunakan untuk ganti rugi bagi investor yang menjadi korban tindak pidana di pasar modal. "Syaratnya rugi karena tindak pidana, bukan karena kesalahan investasi" tegas Hoesen, Kepala Eksekutif Pasar Modal OJK, Hoesen, Senin (18/2).
Sehingga, sumber dana ganti ruginya nanti berasal dari denda yang diberikan kepada korporasi atau oknum yang melakukan pelanggaran di pasar modal.
Skema perlindungan ini sudah lebih dulu dijalankan oleh Securities and Exchange Commision (SCE) di Amerika Serikat (AS). Pelanggaran berupa transaksi semu dan insider trading termasuk ranah klaim disgorgement fund.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Pengawas Pasar Modal I OJK Djustini Septiana menjelaskan, skema tersebut kemungkinan bisa diadopsi di Indonesia. Namun, skema ini masih berupa inisiatif.
Masih perlu kajian yang lebih dalam sebelum mengimplementasikan skema ini. "Termasuk apakah nanti disgorgement fund dikelola oleh lembaga khusus atau OJK," tambah Djustini.
Yang terang, disgorgement fund berbeda dengan Securities Investor Protection Fund (SIPF). Sebab, SIPF digunakan untuk membayar kerugian investor akibat penyalahgunaan (fraud) yang menyebabkan hilangnya aset dalam penyimpanan di perusahaan efek atau bank kustodian.
SIPF juga hanya memberikan jaminan perlindungan terhadap aset investor di pasar modal dengan batas ganti rugi maksimal Rp 100 juta per investor atau Rp 50 miliar per kustodian.
Investor pasar modal Irwan Ariston Napitupulu mengapresiasi inisiatif tersebut. Namun, fungsi perlindungan bisa lebih optimal dengan mengoptimalkan peraturan yang paling mendasar, salah satunya denda. Sanksi denda bagi emiten ini belum optimal memberi efek jera.
Karena itu, Irwan berharap denda tidak menggunakan uang perusahaan tetapi menggunakan harta pribadi direksi atau komisaris, sesuai Undang-Undang Perusahaan.
MYOR Perkuat Penetrasi Ekspor
PT Mayora Indah Tbk (MYOR) akan terus memperkuat penetrasi pasar ekspor. Afrika menjadi salah satu sasaran penjualan.
Sejatinya emiten ini sudah menjual sejumlah produk di Afrika. Namun, belum terlalu fokus, sehingga kontribusinya masih kecil. "Mungkin, lima tahun ke depan baru akan lebih fokus," ujar Andre Sukendra Atmadja, Direktur Utama MYOR, Senin (18/2).
MYOR juga akan memperkuat penetrasi ekspor ke Filipina, salah satu negara pelanggan produk MYOR. Perusahaan ini bahkan berencana membangun pabrik dengan nilai investasi US$ 50-USS 75 juta di negara tersebut.
Proyeknya bakal dimulai saat perayaan persahabatan Indonesia dan Filipina yang ke-70 tahun. "Itu sekitar kuartal keempat tahun ini," imbuh Andre.
MYOR memang cukup rajin menggarap pasar ekspor. Kemarin, MYOR melepas pengiriman kontainer ke-250.000 ke luar negeri. Nilai satu kontainer sekitar US$ 50.000. "Tahun ini kami menargetkan ekspor 2.000 kontainer setiap bulan," kata Andre.
Pendapatan ekspor
MYOR saat ini telah mengekspor produknya ke 100 negara. Di antaranya Amerika Serikat (AS), Rusia, Timur tengah, China, Filipina, Irak dan Palestina.Hasilnya, pendapatan ekspor hampir mengimbangi pendapatan domestik.
Andre masih enggan membagi realisasi penjualan ekspor sepanjang 2018. Namun, dia memastikan, pendapatan ekspor bakal tumbuh 20% tahun ini. Secara konsolidasi, manajemen menargetkan pertumbuhan pendapatan 10%-11%.
Wilbert, analis Sinarmas Sekuritas, menilai, volume penjualan menjadi salah satu pendorong kinerja MYOR. Tapi, hal ini menimbulkan konsekuensi biaya iklan dan promosi di sembilan bulan tahun lalu naik dua kali lipat menjadi Rp 2,1 triliun.
Akibatnya, margin MYOR turun 149 basis poin. Ini pun karena terbantu laba selisih kurs. Namun Wilbert yakin tahun ini kinerja MYOR bakal positif ditopang sentimen tahun politik.
Perlambatan ekonomi global juga tak membuat penjualan ekspor melambat meski tak tumbuh kencang. "MYOR tetap salah satu yang terbaik di sektornya," tulis Wilbert dalam riset 8 Januari.
Dia merekomendasikan add MYOR dengan target harga Rp 2.940. Kemarin, saham MYOR naik 20 poin ke level Rp 2.620 per saham.
Hingga Akhir 2018, FILM Baru Pakai 20% Dana IPO
PT MD Pictures Tbk (FILM) baru sebagian kecil menggunakan dana hasil Penawaran Umum Perdana Saham alias initial public offering (IPO) hingga akhir Desember 2018. Berdasarkan keterbukaan informasi di BEI, FILM baru menggunakan dana IPO Rp 54,08 miliar atau sekitar 20,2% dari total dana IPO.
Direktur Keuangan MD Pictures Venkatachari Soundararajan menjelaskan, jumlah dana IPO yang diperoleh sebesar Rp 267,69 miliar. "Jumlah dana yang masih tersisa senilai Rp 213,60 miliar," ujar dia, Senin (18/2). Dia merinci, realisasi dana tersebut, sebesar Rp 43,38 miliar dipakai untuk produksi film. Lalu untuk biaya operasional sebesar Rp 5,64 miliar. Dana tersebut juga untuk gaji sutradara, artis dan kru sebesar Rp 5,23 miliar.
Pada saat IPO tanggal 7 Agustus 2018, MD Pictures melepas 1,30 miliar saham ke publik dalam rangka IPO. Jumlah saham yang ditawarkan itu di bawah target MD Pictures sebanyak-banyaknya 1,98 miliar saham. Jumlah 1,3 miliar saham itu sekitar 13,75% dari modal ditempatkan dan disetor penuh setelah penawaran umum dan pelaksanaan konversi mandatory convertible bond (MCB) yang dilakukan FILM bersama dengan IPO sebesar Rp 25 miliar.
MD Pictures menetapkan harga Rp 210 per saham dalam rangka IPO. Jadi total dana yang diincar dari IPO mencapai Rp 274,63 miliar. Dana hasil IPO tersebut, diambil untuk belanja modal senilai Rp 267,69 miliar setelah dikurangi dengan biaya IPO sejumlah Rp 6,93 miliar. Adapun alokasi dana tersebut dipakai untuk biayai ekspansi produksi film, kontrak eksklusif, pengembangan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan film animasi.
Prospek Pendatang Baru Indeks FTSE
FTSE Russell mengumumkan daftar saham baru yang masuk dan keluar di Indeks FTSE Global Equity Index Asia Pasific (kecuali Jepang dan China) pada Jumat (15/2). Berdasarkan pengumuman tersebut, daftar ini baru berlaku Maret mendatang, dimulai Senin (18/3).
Indeks FTSE Asia Pacific tersebut terdiri dari saham yang memiliki kapitalisasi besar, menengah, kecil dan mikro. Di kelompok kapitalisasi besar, dari Indonesia ada CPIN, BDMN, KLBF, SMGR, INTP dan INDF.
Di kelompok kapitalisasi menengah ada saham BRPT. Sedangkan untuk kapitalisasi mikro di antaranya terdapat AUTO, MSKY, IMAS, ESSA, IMJS, PTSN, MAIN, FORZ, PTRO, ASSA, KBLI dan GPRA (lihat tabel).
Perubahan anggota indeks ini akan mempengaruhi keputusan investasi investor, terutama dari Eropa. "Kegunaan indeks ini adalah sebagai acuan bagi para investor asing, terutama dari Eropa, yang merujuk pada FTSE untuk melakukan investasi pada saham-saham di Asia, termasuk di Indonesia," ujar Analis Samuel Sekuritas Yosua Zisokhi, Senin (18/2).
Analis Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan menyebut indeks ini cukup menarik untuk disimak. “Dapat dijadikan salah satu pertimbangan atau acuan, mengingat indeks yang disusun FTSE Russell digunakan sebagai acuan di beberapa bursa efek luar, misalnya FTSE 100 di pasar modal Inggris,” kata dia.
Tak langsung menguat
Tetapi, para analis sepakat, acuan yang lebih biasa digunakan oleh investor asing untuk mencari saham berfundamental baik adalah MSCI ketimbang FTSE. Analis Panin Sekuritas William Hartanto justru berpendapat bahwa prospek indeks FTSE ke depan kurang menarik.
Menurut dia, karena popularitas FTSE tak sebesar MSCI, saham-saham yang masuk indeks ini belum tentu menguat. "Efek dari indeks FTSE kurang terasa karena kenaikan harga dari yang masuk hanya sedikit, tapi harga saham yang keluar akan turun lumayan," kata William.
Kendati begitu, secara umum analis menilai saham-saham yang masuk daftar Indeks FTSE bisa diperhatikan investor domestik lantaran menjadi acuan investor asing. "Terutama saham-saham apa saja yang masuk dan keluar dari indeks tersebut," kata Yosua. Dia merekomendasikan untuk beli saham CPIN dan MAIN.
Analis OSO Sekuritas Sukarno Alatas juga sepaham masuknya saham-saham ke salah satu indeks manapun perlu mendapat perhatian investor. Manajer investasi pengelola reksadana asing yang menggunakan indeks ini sebagai acuan otomatis akan menambah kepemilikan saham sesuai indeks tersebut.
Sukarno Alatas merekomendasikan beli sejumlah saham dengan target investasi untuk jangka panjang, di antaranya saham KLBF, SMGR, INTP. "Lalu ada juga saham INDF, PTSN, PTRO dan KBLI," katanya.
William juga merekomendasikan sejumlah saham seperti KLBF dan SMGR. Ia menilai, selain karena faktor saham masuk dalam daftar indeks, investor juga harus memperhatikan fundamental perusahaan tersebut. (Marshall Sautlan/Reza Hadyan/Auriga Agustina/Krisantus de Rosari Binsasi/Aldo Fernando)