Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

China Impor Beras Lalu Ekspor Lagi: Begini Rencana Bulog

Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) merespons wacana Perum Bulog mengekspor beras

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Ilustrasi 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) merespons wacana Perum Bulog mengekspor beras ke luar negeri. Ketua Umum Perpadi yang juga mantan Direktur Utama Bulog (Badan Urusan Logistik) Soetarto Alimoeso, mengatakan rencana menjual beras ke negara lain sebenarnya sudah lama dicanangkan.

"Itu dengan catatan surplus atau berlebih. Kalau stok lebih dan aman kan berarti harus diekspor. Kenapa tidak?" kata Soetarto.

Soetarto mengatakan beras-beras yang diekspor jenis khusus. "Kita bisa saja mengekspor beras-beras khusus, beras organik dan beras merah yang mungkin dibutuhkan negara-negara lain," ujarnya.

Ia menilai wacana tersebut dilakukan Bulog untuk mengantisipasi produksi yang berlebih. Meurutnya, tidak mustahil Bulog merealisasikan rencananya. "Kebutuhan kita, katakanlah satu tahun sekitar 30 juta ton. Nah, kalau produksi kita 40 juta ton artinya kan ada stok yang cukup besar kan. Dan itu juga dilakukan oleh banyak negara," katanya

Bahkan, beberapa negara seperti China, mengimpor beras Indonesia. Lalu, pedagang China kemudian mengekspor ke negara lain. "Mereka pada saat tertentu, negara tersebut impor, dan pada saat tertentu mereka ekspor hasil impor tersebut. Jadi semuanya tergantung stok aman berasnya," ujarnya.

Mengenai wacana Bulog mengekspor beras, menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa, adalah kebijakan kurang tepat. "Kalau mau gagah-gagahan ekspor beras dan kita rugi banyak, silakan saja," kata Dwi Andreas Santosa.

Menurut Dwi, dalam hitung-hitungan data yang ada saat ini, ekspor beras masih dianggap "mimpi" Bulog.  Stok beras di angka 2,1 juta ton pada awal tahun, jelas Dwi, baru tahap aman untuk tidak melakukan impor hingga pertengahan tahun jika dibandingkan stok beras awal 2018 di angka 600 ribu ton.

"Hanya di angka aman. Tidak sampai di angka memiliki surplus beras karena belum tentu. Apalagi, musim tanam mundur," katanya.

Beberapa hal yang diperhatikan lainnya, harga beras Indonesia tidak dapat bersaing dengan beras dari luar negeri. Pada Januari 2018, harga internasional 404 dolar AS per ton dengan kualitas premium. Artinya harga beras Rp 5.600 per kilogram. Sementara kondisi di Indonesia, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat usaha tani Rp 5.200 per kilogram, per Januari. Harga beras Indonesia mencapai Rp 10.400 per kilogram. "Nah, ini kalau untuk ekspor tidak mungkin. Harga dunianya hanya Rp 5.600," ujar Dwi.

Namun saat panen raya, harga GKP ada di sekitar Rp 4.500 dan harga beras di angka Rp 9.000. Angka-angka itu merupakan beras di kelas medium, bukan premium sesuai dengan kualitas beras dunia yang diekspor. "Kalau mau naikkan kelas, berarti tambah Rp 1.000 lagi. Ini kan di mana logikanya?" kata dia.

Sesuai dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras, Pasal 7 Permendag 1/2018 dikatakan bahwa salah satu syarat untuk ekspor beras ialah pihak eksportir memiliki sertifikat organik dari lembaga sertifikasi organik dan diverifikasi oleh Otoritas Kompetensi Pangan Organik. Lalu, diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) atau yang telah diakui secara internasional.

Dwi menjelaskan, sebenarnya ada potensi pemerintah mengekspor beras organik. Dan memang, ekspor beras organik sudah dilakukan sejak belasan tahun lalu oleh jaringan petani kecil rata-rata 3 ribu sampai 5 ribu ton per tahun. Apabila, pemerintah ingin melakukan hal yang sama, artinya, pemerintah justru mengambil pasar petani kecil. "Ya silakan saja kalau mau merebut pasar petani-petani kecil ini," katanya.

Ia juga memprediksi harga beras akan tetap naik, namun tidak akan terlalu signifikan seperti halnya pada awal 2018 lalu.

Dwi yang menajabt juga selaku Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), justru meminta agar pemerintah lebih menekankan agar lahan sawah tidak lagi berkurang.

"Data saya penurunan lahan sawah kita itu 646 ribu hektar dalam lima tahun dari 2013-2018. Ini jangan sampai turun lagi, kalau bisa lahannya ditambah. Ini dulu, karena apa? Defisit kita itu hanya 1 juta ton beras per tahun. Sehingga, ini sebenarnya bisa ditutup dengan menambahkan 200 ribu hektar lagi," tukasnya.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved