Kuasa Hukum: Sampai Mati pun Abu Bakar Ba’asyir Tak Mengaku Lakukan Pelanggaran Hukum
Ba’asyir, kata Mahendratta, sejak ditangkap hingga sekarang tidak pernah memberikan tanda tangan pun, termasuk di berita acara pemeriksaan (BAP).
TRIBUNMANADO.CO.ID - Muhammad Mahendradatta, Kuasa hukum Abu Bakar Baasyir, menjelaskan bahwa kliennya tidak ingin menandatangani sejumlah dokumen pembebasan bersyarat.
Salah satu dokumen pembebasan bersyarat itu adalah janji tidak melakukan pelanggaran hukum terkait terorisme.
Mahendradatta mengungkapkan, Ba’asyir tidak merasa melakukan tindak pidana tersebut.
Ba’asyir, kata Mahendratta, sejak ditangkap hingga sekarang tidak pernah memberikan tanda tangan pun, termasuk di berita acara pemeriksaan (BAP).
"Sampai mati pun Ustaz Abu Bakar Ba’asyir tidak akan merasa apalagi mengaku pernah melakukan pelanggaran hukum,” ujar Mahendradatta saat dihubungi, Rabu (23/1/2019).
Abu Bakar Ba'asyir divonis 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 2011. Ba'asyir yang merupakan pimpinan dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jateng, itu terbukti secara sah dan meyakinkan menggerakkan orang lain dalam penggunaan dana untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Ketika dikonfirmasi apakah Ba’asyir telah mengikrarkan setia terhadap Pancasila dan NKRI, Mahendradatta tak menjelaskan secara gamblang. Ia hanya tak ingin berpolemik terkait masalah setia atau tidak kepada Pancasila.
"Yang bilang tidak mau (setia kepada Pancasila dan NKRI) siapa? Yang bilang mau siapa? Faktanya tidak sesimpel itu,” tutur Mahendradatta.
Baca: 34 Siswa di Bandung Jadi Korban Pelecehan Seksual Guru Privatnya, Pelaku Pernah Jadi Korban

Kronologi Rencana Pembebasan hingga Muncul Polemik
Muncul polemik rencana pemerintah dalam membebaskan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (ABB)
Ba'asyir divonis 15 tahun penjara pada 2011 kini masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.
Beberapa waktu lalu beredar wacana pembebasan tanpa syarat yang akan diterima oleh Pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki di Solo, Jawa Tengah, ini.
Namun, seiring berjalannya waktu, harapan itu pupus. Rencana pemerintah untuk membebaskan Abu Bakar Ba'asyir tanpa syarat memberatkan, seperti yang disebut Yusril Ihza Mahendra selaku penasihat hukum Presiden Joko Widodo, kemungkinan dibatalkan.
Dirinci dari awal kasus isu berembus, berikut kronologi singkatnya.
Pembebasan tanpa syarat
Abu Bakar Ba'asyir dikabarkan akan mendapatkan kebebasan tanpa syarat pada awal pekan ini. Rencana ini awalnya disampaikan Yusril Ihza Mahendra.
Yusril menyebut, Presiden Jokowi memberikan kebebasan ini atas dasar kemanusiaan, mengingat usia Ba'asyir yang sudah tua dan kondisi kesehatan yang semakin menurun.
Kebebasan yang akan diberikan ini berupa kebebasan murni, bukan bersyarat, bukan pula menjadikannya sebagai tahanan rumah.
Ini sesuai permintaan Presiden Joko Widodo yang menginginkan proses pembebasan jangan dibebankan dengan syarat-syarat yang memberatkan.
Baca: Kronologi Rencana Pemerintah Bebaskan Terpidana Teroris Abu Bakar Baasyir hingga Muncul Polemik
Persiapan penyambutan
Kabar rencana pembebasan Ba'asyir menjadi angin segar bagi pihak keluarga, juga segenap pengurus dan santri di ponpesnya.
Menanggapi hal ini, berbagai persiapan penyambutan sudah dilakukan keluarga dan pihak Ponpes Al Mukmin Ngruki.
Persiapan itu mulai dari membersihkan rumah dan kamar yang nantinya akan ditempati Ba'asyir pasca-bebas, hingga mendirikan tenda jika banyak tamu yang datang.
Rencana untuk menggelar syukuran di Ponpes Al Mukmin Ngruki juga dinyatakan putra Ba'asyir, Abdul Rohim Ba'asyir.
Dipertanyakan
Wacana pembebasan Ba'asyir banyak dipertanyakan karena dinilai tidak memiliki landasan hukum yang tetap.
Salah satunya disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju.
"Skema pembebasan yang diberikan Presiden tersebut dipertanyakan karena menurut keterangan dari kuasa hukum Abu Bakar Ba'asyir pembebasan tersebut bukanlah pembebasan bersyarat dan juga bukan grasi," kata Anggara.
Adapun sistem pembebasan yang harus ditempuh adalah melalui pembebasan bersyarat atau melalui hak abolisi atau amnesti eksekutif.
Amnesti dan abolisi bisa diambil presiden atas masukan dari Mahkamah Agung (MA). Namun, jika pembebasan karena kedua cara ini, berarti pihak bersangkutan dibebaskan karena dinyatakan tidak bersalah atas dakwaan selama yang diterima selama ini.
Sementara dalam pembebasan bersyarat, salah satu hal yang harus dipenuhi adalah ketaatan terpidana terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila.
Ba'asyir dikabarkan tidak bersedia menandatangani pernyataan tertulis terkait pernyataan ini.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebut, Indonesia tak mengenal pembebasan tanpa syarat seperti yang dilakukan pemerintah terhadap Ba'asyir saat ini.
Menanggai polemik ini, pengacara Baasyir, Muhammad Mahendradata, tidak mengetahui landasan hukum apa yang digunakan untuk membebaskan kliennya itu.
"Tidak tahu, itu tanya Yusril, mekanisme hukum ada pada Yusril," ucapnya.
Batal bebas
Sebelum diputuskan, titah Presiden itu terlebih dahulu dikaji oleh pihak-pihak terkait untuk memastikan segala perundangan yang berlaku sudah terpenuhi.
Satu-satunya jalan pembebasan yang mungkin dilakukan adalah bebas bersyarat. Namun, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi terpidana.
Untuk itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto bersama pihak terkait melakukan kajian mendalam terkait rencana pembebasan ABB.
Hasil dari kajian tersebut, Ba'asyir batal dibebaskan karena tidak terpenuhinya syarat-syarat yang diminta. Hal itu disampaikan oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko.
"Iya (tidak dibebaskan). Karena persyaratan itu tidak boleh dinegosiasikan. Harus dilaksanakan," kata Moeldoko.
Setia pada Pancasila dan NKRI adalah prinsip
Presiden Joko Widodo sebelumnya telah meluruskan polemik mengenai wacana pembebasan terpidana kasus terorisme Ustaz Abu Bakar Ba'asyir. Presiden menegaskan, pemerintah pada intinya sudah membuka jalan bagi pembebasan Ba'asyir, yakni dengan jalan pembebasan bersyarat.
Akan tetapi, Ba'asyir harus memenuhi syarat formil terlebih dulu, baru dapat bebas dari segala hukuman.
"Kita juga punya mekanisme hukum. Ada sistem hukum yang harus kita lalui, ini namanya pembebasan bersyarat, bukannya bebas murni. Syaratnya harus dipenuhi," ujar Presiden di Pelataran Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/1/2019).
"Kalau enggak (dipenuhi), kan enggak mungkin juga saya nabrak (hukum). Contoh, (syarat) soal setia pada NKRI, pada Pancasila, itu basic sekali, sangat prinsip sekali," lanjut dia.
Artinya, jika Baasyir tidak mau memenuhi syarat bahwa ia setia pada NKRI dan memegang teguh Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, ia tidak akan mendapatkan pembebasan bersyarat.
Jokowi menambahkan, pemerintah sebenarnya prihatin atas kondisi Ba'asyir di penjara. Di usianya yang sudah menginjak 81 tahun, kondisi kesehatan Ba'asyir terus menurun.
Atas dasar itu pula, pemerintah membukakan jalan bagi wacana pembebasan Ba'asyir.
"Sudah saya sampaikan bahwa karena kemanusiaan. Kan Ustaz Ba'asyir sudah sepuh, kesehatannya juga sering terganggu. Bayangkan kalau kita sebagai anak lihat orangtua sakit-sakitan seperti itu," kata Jokowi.
TONTON JUGA:
TAUTAN AWAL: