Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Kisah Ope Muhammad, 46 Tahun Jadi Pemotong Sapi, Datangkan Pisau Khusus dari Batu Malang

Ope Muhammad (63) telah merasakan asam garam menjadi pemotong sapi. Sudah 46 tahun pria asal Karame, Lingkungan V ini menjalani profesi tersebut

Penulis: Finneke | Editor: David_Kusuma
Tribun manado / Finneke Wolajan
Ope Muhammad 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Ope Muhammad (63) telah merasakan asam garam menjadi pemotong sapi. Sudah 46 tahun pria asal Karame, Lingkungan V ini menjalani profesi turun temurun keluarganya ini.

Ope telah mendapat sertifikat pelatihan tingkat pusat dan kota. Berbagai pelatihan yang dia ikut makin membuatnya mahir dalam menjalankan profesinya sebagai pemotong sapi. Ia pun saat ini menjadi pemotong sapi di rumah potong hewan milik Pemerintah Kota Manado.

Ope menjelaskan, cara memotong sapi yang halal itu harus memutuskan tiga urat sapi tersebut dengan cepat. Selain itu, sebelum memotong harus harus membaca doa terlebih dahulu.

Ope sudah melihat-lihat bagaimana memotong sapi dari kakeknya, kemudian ayahnya lalu menurun ke dirinya. Selama menjalankan profesinya, Ope tak luput dari kecelakaan saat bekerja. Tangannya sering terkena pisau tajam.

"Pisau saya pisau khusus. Sangat tajam. Saya mengambilnya di Batu Malang. Tiap hari saya asah. Tak semua orang ada pisau seperti itu," ujarnya saat diwawancarai tribunmanado.co.id.

Baca: Seekor Sapi Jantan Ditemukan Mati dengan Perut Penuh Sampah Plastik

Ope memotong sapi mulai pukul 9 malam hingga tengah malam di RPH Kota Manado yang berlokasi di Bailang.

Paginya, ia adalah seorang pemotong sapi di Pasar Bersehati Manado. Ope keliling mencari sapi.

"Saya pakai mobil pick up, jalan sendiri di daerah Minahasa dan sekitarnya. Tak tentu dapat berapa ekor tiap hari jalan. Tergantung kalau memang ketemu yang pas," ujarnya.

Pagi-pagi Ope keliling mencari sapi. Setelah dapat, istirahat sedikit dan ke pasar. Menjual sapi yang ia beli tersebut. Rata-rata sapi seharga Rp 11 juta untuk berat 100 kilogram. Ope kadang meleset. Berat yang ia tafsir salah.

"Kalau berat meleset, saya rugi. Biasanya sapi di daerah gunung seperti Tomohon, Kawangkoan tak meleset beratnya. Kalau di daerah pantai, rawan meleset. Karena pengaruh makanan. Kalau di pantai, makanannya bercampur garam," ujarnya.

Baca: Tiap Hari 11 Ekor Sapi Disembelih di Rumah Potong Hewan Manado

Ope kadang kesulitan saat memotong sapi. Kadang sementara mengeksekusi, sapinya terlepas. Padahal lehernya sudah terpotong. Kalau sudah seperti itu, proses pemotongan terhenti.

Ope berprinsip, meski pendapatannya lumayan sebagai pemotong sapi, namun ia tak mau besar kepala. Ia tak mau menyombongkan diri. Bahasa orangtua dulu, jangan menyombongkan diri dengan mata pencaharian ini, sebab ini berhubungan dengan nyawa hewan.

"Sebenarnya tak tega, tapi mau bagaimana lagi. Ini sumber pendapatan saya. Saya turunkan juga ilmu ini ke anak-anak saya," ujarnya Ketua Asosiasi Pedagang Pemotong Sapi Manado ini. (fin)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved