KPU Sulut Data Pemilih Orang Gila: Sakit Jiwa Punya Hak Ikut Pemilu
Kali pertama dalam sejarah demokrasi Indonesia, penderita gangguan jiwa mendapatkan hak politik.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Sebut dia syarat KTP elektronik adalah mutlak. "Meski ia sudah sembuh namun kalau tak kantongi KTP elektronik maka tidak bisa," kata dia. Dikatakannya, pihak KPU bakal memasukkan para penderita disabilitas mental ini dalam DPT. Untuk teknis pemilihannya, kata dia, para penderita disabilitas mental ini akan dipandu dokter atau orang terdekat.

Pasien Skizrofenia
Residual Boleh Nyoblos
Dr Anita Dundu SpKJ, dokter ahli jiwa, mengatakan pasien skizrofrenia, penyakit mental kronis yang menyebabkan gangguan proses berpikir, dalam tahap residual bisa ikut nyoblos.
Tahapan paling ringan dalam skizofrenia, yakni tahapan transisi, asalkan tidak kambuh, ia sehat untuk memilih.
Pasien yang sudah dalam keadaan parah sama sekali tidak bisa memilih.
Mereka sudah terpisah dengan realitas. Kalau seperti ini memang sudah tidak bisa lagi melakukan aktivitas yang normal.
Dokter akan sangat hati-hati mengeluarkan surat keterangan atas pasien. Pasien yang sama sekali tidak sehat tidak akan diizinkan. Kami sangat profesional
dalam soal ini.
Jumlah pasien rawat jalan di RSJ Ratumbuysang ada puluhan orang setiap harinya. Umumnya mengalami
depresi serta stress.

Liando: Takkan Penuhi Azas Bebas
Orang gangguan jiwa akan difasilitasi menyalurkan hak suara di Pemilu 2019.
Ferry Liando, pengamat politik dari Universitas Sam Ratulangi, menilai keputusan itu, membuat pertentangan dari dua asas pemilu.
Satu asas pemilu demokratis adalah jaminan memilih bagi seluruh warga negara yang telah berhak memilih. "Orang gila itu adalah bagian dari warga negara yang oleh UU tidak dicabut hak politiknya," ujar Ferry kepada tribunmanado.co.id, Kamis (22/11/2018).
Di satu sisi, jika orang gila diberikan kesempatan untuk memilih, maka akan mengabaikan asas pemilu lainnya.
"Satu asas pemilu lainya adalah bebas. Orang gila itu tidak mungkin akan bebas dalam memilih. Orang gila tidak tahu bagaimana cara untuk memilih. Sehingga dipastikan soal siapa pilihannya akan sangat kuat dipengaruhi oleh siapa pihak yang menuntunnya dalam memilih," kata Ferry.
Orang gila tidak mungkin akan memilih berdasarkan akal sehat. Sedangkan orang waras saja agak sulit menjadi pemilih rasional, apalagi dengan orang yang tidak waras.
Apapun sikap KPU menjamin hak politik orang gila untuk memilih wajib diapresiasi terutama dalam menjaga komitmen menjamin hak konstitusi setiap warga negara.
Dasar KPU menjamin hak pilih bagi orang gila sepertinya mengacu pada Putusan MK No. 135/2015 (gugatan atas UU 8/2015 Pasal 57 ayat (3) huruf a) yg menegaskan soal perlindungan hak pilih bagi WNI penyandang gangguan jiwa/ingatan tdk permanen.
Penjelasan di PKPU No 11 tahun 2018 tentang penyusunan daftar pemilih di dalam negeri dalam penyelenggaraan pemilu, pasal 4 ayat 2 poin b menjelaskan bahwa pemilih yang dapat menggunakan hak pilihnya, adalah orang yang sedang tidak terganggu jiwa atau ingatannya. Para pengidap gangguan kejiwaan tidak boleh memilih.
Namun, menurut sejumlah ahli ternyata pengidap gangguan jiwa ini masih memiliki kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya, jika memenuhi kriteria bahwa pemilih yang sedang terganggu ingatan atau jiwanya tidak memenuhi syarat, sehingga harus dibuktikan menggunakan surat keterangan dokter.