RUU Pendidikan Agama, Ketua MD GPdI Sulut Pdt Yvonne Awuy Sebut Sekolah Minggu Bagian dari Gereja
Terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Agama, ada banyak pihak beda pandangan, termasuk sebagian tokoh GPdI
Penulis: Chintya Rantung | Editor: Alexander Pattyranie
RUU itu tidak hanya mengatur pesantren dan madrasah, tapi juga mengatur konsep pendidikan agama di luar Islam. Pada dua pasal yang membahas pendidikan umat Kristen, PGI memberikan catatan.
Berikut pernyataan lengkap PGI menanggapi RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan:
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) pada Rapat Paripurna, 16 Oktober 2018, telah menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagai usul inisiatif DPR RI dan akan segera menjadi pembahasan dalam proses legislasi nasional.
Setelah mengamati isinya, RUU tersebut tidak hanya mengatur tentang pesantren dan madrasah namun juga mengatur pendidikan keagamaan bagi agama-agama lain di luar Islam. Menyikapi hal tersebut, PGImenyampaikan beberapa hal:
1. PGI menilai bahwa pendidikan keagamaan formal seperti pesantren, madrasah, sekolah teologi dan sejenisnya sebagai bagian dari pendidikan nasional telah memiliki kontribusi besar dalam membentuk karakter bangsa. PGI juga menilai bahwa selama ini pengembangan institusi pendidikan berbasis agama tersebut kurang mendapat dukungan dari negara. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan di dunia pendidikan di mana pendidikan formal lainnya mendapat dukungan penuh dari negara. Olehnya PGI memahami perlunya UU yang menjadi payung hukum bagi negara dalam memberikan perhatian dan dukungan kepada pesantren dan pendidikan keagamaan lain yang formal.

2. Namun kami melihat, ketika membahas tentang pendidikan dan pembinaan di kalangan umat Kristen, nampaknya RUU ini tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen di mana ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan di gereja. Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi, yang juga hendak diatur dalam RUU ini pada pasal 69-70, sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia, yang merupakan pendidikan nonformal dan masuk dalam kategori pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja.
3. Dengan melihat syarat pendirian pendidikan keagamaan dengan memasukkan syarat peserta didik paling sedikit 15 (lima belas) orang serta harus mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama Kabupaten/Kota maka hal tersebut tidak sesuai dengan model pendidikan anak dan remaja gereja-gereja di Indonesia, sebagaimana kandungan RUU yang hendak menyetarakan Sekolah Minggu dan Katekisasi dengan model pendidikan pesantren. Sejatinya, Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan izin karena merupakan bentuk peribadahan.
4. Penyusunan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan adalah kecenderungan membirokrasikan pendidikan nonformal khususnya bagi pelayanan anak-anak dan remaja yang sudah dilakukan sejak lama oleh gereja-gereja di Indonesia. Kecenderungan ini dikhawatirkan beralih pada model intervensi negara pada agama.
5. PGI mendukung Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini menjadi undang-undang sejauh hanya mengatur kepentingan Pendidikan formal dan tidak memasukkan pengaturan model pelayanan pendidikan nonformal gereja-gereja di Indonesia seperti pelayanan kategorial anak dan remaja menjadi bagian dari RUU tersebut.
Anak Beribadah di Hari Minggu
Sekolah Minggu tidak seperti layaknya sekolah formal lainnya seperti SD hingga perguruan tinggi. Kegiatan Sekolah Minggu sesungguhnya adalah ibadah dari anak-anak.
Penatua Jeane Wanta, Ketua Komisi Pelayanan Anak Wilayah Lembean Kombi mengatakan, untuk kegiatan rutin ASM GMIM, yaitu ibadah hari Minggu. Ada juga ibadah pondok gembira, Paskah, Natal,bulan peduli anak, Hari Anak GMIM, Hari Doa Sedunia Anak, Hari Doa Alkitab baik tingkat jemaat, wilayah maupun sinode.
“Kegiatan pelayanan ini bertujuan untuk membentuk karakter iman anak tersebut menjadi anak masa depan gereja,” kata Wanta.
Joudi R Polii dari Komisi Anak PP KGPM yang juga Wakil Ketua PMS Solagratia Kiawa mengatakan, kegiatan rutin ibadah Rabu gembira, ibadah Minggu pagi, bible game. Kegiatan dilakukan Rabu dan Minggu.
“Kegiatan lain yang dilakukan adalah ibadah padang atau tamasya,” ujar dia. Kegiatan ini ada penilaiannya. Tujuan kegiatan anak Sekolah Minggu ini adalah untuk membentuk spiritual mereka agar menjadi anak-anak yang cinta Tuhan Yesus, cinta gereja, cinta sesama dan cinta Tanah Air.
(Tribunmanado.co.id/Chintya Rantung)