HUT ke-73 TNI - Begini Sejarah Seragam Loreng Militer yang Tak Banyak Diketahui
Di Indonesia, tanggal 5 Oktober diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia(TNI).
TRIBUNMANADO.CO.ID - Di Indonesia, tanggal 5 Oktober diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia(TNI).
Pada 5 Oktober besok, TNI akan genap berusia 73 tahun sejak didirikan tahun 1945 dengan nama awal Tentara Kemamanan Rakyat (TKR).
Bicara tentang TNI, tidak luput dengan gamparan para anggota yang mengenakan seragam bermotif loreng dan hijau.
Tak hanya di Indonesia bahkan seluruh tentara di seluruh dunia pasti identik dengan seragam bermotif loreng tersebut.
Baca: Beredar Total Transaksi yang Diduga Biaya Operasi Kecantikan Ratna Sarumpaet
Dikutip Banjarmasinpost.co.id dari artikel Intisari Online yang tayang tanggal 15 Mei 2018, tidak asal atau sembarangan, ternyata motif loreng ini dilatar belakangi oleh upaya kamuflase atau penyamaran.
Sebelumnya, tak hanya untuk keperluan di medan perang, manusia telah memiliki kesadaran kamuflase untuk hal-hal lainnya.
Mengutip Caitlin Hu dalam artikelnya The Art and Science of Military Camouflage, pemburu asli Amerika mengenakan kulit kerbau untuk mendekati mangsa mereka.
Sementara pemburu Irlandia menutupi diri mereka dengan potongan-potongan sikat dan ranting untuk menyatu dengan pepohonan.
Pada masa Julius Caesar, kapal-kapal disamarkan dengan lilin biru laut, dan selama Perang Sipil AS mereka dicat kabut abu-abu.
Dengan cara pikir yang sama, seragam tentara pun dirancang agar dapat melakukan kamuflase.
Baca: 200 Juta Telepon Seluler AS Mendapatkan Pemberitahuan Peringatan Darurat
Itu dilakukan sebagai teknik bertahan agar mereka tak terdeteksi oleh lawan atau musuh.
Dengan memakai seragam ini, pasukan tentu terlihat menyatu dengan medannya sehingga mengurangi tingkat risiko terkena sasaran tembak dalam pertempuran.
Meski pada umumnya Anda melihat kombinasi abstrak antara warna hijau, coklat, dan hitam, tidak semua negara memiliki warna yang sama.
Warna-warna dari motif loreng itu pun disesuaikan dengan medan di masing-masing wilayah negara.
Menurut laporan dari sebuah tes yang dilakukan oleh Angkatan Darat AS, dibutuhkan rata-rata 30 detik bagi manusia untuk mengidentifikasi objek yang berkamuflase atau disamarkan.
Indonesia sendiri memilih pola M81 Woodland, yang sudah populer dari tahun 1981.
Sementara tentara di Timur Tengah yang memilih motif loreng kombinasi warna coklat muda.
Pada tahun 2009, Vectorworldmap.com membuat sebuah peta yang menampilkan setiap negara yang tercakup dalam pola kamuflase yang sama dengan angkatan bersenjatanya.
Peta itu juga memberi gambaran tentang jenis-jenis lingkungan di mana negara-negara berbeda berharap untuk berperang.
Negara-negara gurun seperti Mesir dan Arab Saudi memakai baju cokelat dan abu-abu. Sementara negara-negara hutan sub-Sahara yang subur memiliki warna hijau tua.
Pasukan tentara dunia mulai mengadopsi kamuflase pada abad ke-19, sementara AS mulai mengikutinya pada awal 20.
Sebagaimana diwartakan pada Business Insider, Julian Farrance, dari National Army Museum di London, mengatakan bahwa penerapan kamuflase itu didorong oleh pengembangan amunisi tanpa asap.
Yang membuat tentara akan lebih mudah untuk terlihat dan terekspos dibandingkan dengan senjata api sebelumnya.
Pada saat yang sama, kemampuan menembak tanpa membuka lokasi seseorang membuatnya lebih mungkin bagi tentara untuk bersembunyi di medan perang.
Memang kamuflase ini hanyalah pertahanan dari penglihatan visual.
Karena teknologi infra merah yang lebih baru tentu saja dapat mendeteksi manusia dari panas tubuhnya.
Namun pada parade militer 3 September 2015, China meluncurkan skema camo maritim yang mengejutkan.
Camo biru pixelated dipilih untuk seragam, kendaraan lapis baja dan baterai rudal, serta kendaraan amfibi yang yang tidak membutuhkan warna biru begitu naik ke darat.
Mungkin orang China memilih warna itu untuk menandai pergeseran retoris dalam fokus angkatan bersenjata mereka ke kekuatan angkatan laut.
Dari ABRI ke TNI
Sebelum nama TNI populer saat ini, dulunya prajurit tentara lebih akrab disebut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Lalu tahu kah kamu kenapa ABRI Berubah Nama Jadi TNI?
Ternyata ada sejarahnya dan alasan dalam perubahan nama ini.
Dikutip dari Tribunstyle.com, awalnya, pada masa Demokrasi Terpimpin hingga masa Orde Baru, TNI pernah digabungkan dengan POLRI dan disebut ABRI.
Dilansir TribunStyle.com dari Warta Kota, sejak bergulirnya reformasi pemerintahan 1998, terjadi banyak perubahan yang cukup besar.
Ditandai dengan jatuhnya pemerintahan orde baru yang kemudian digantikan oleh pemerintahan reformasi di bawah pimpinan presiden B.J Habibie di tengah maraknya berbagai tuntutan masyarakat dalam penuntasan reformasi.
Baca: Deddy Corbuzier Tanggapi Hoaks Penganiayaan Ratna Sarumpaet
Lalu, muncul pada tuntutan agar Polri dipisahkan dari ABRI dengan harapan Polri menjadi lembaga yang professional dan mandiri, jauh dari intervensi pihak lain dalam penegakan hukum.
Sejak 5 Oktober 1998, muncul perdebatan di sekitar presiden yang menginginkan pemisahan Polri dan ABRI.
Sementara dalam tubuh Polri sendiri sudah banyak bermunculan aspirasi-aspirasi yang serupa.
Isyarat tersebut kemudian direalisasikan oleh Presiden B.J Habibie melalui instruksi Presiden No.2 tahun 1999 yang menyatakan bahwa Polri dipisahkan dari ABRI.
Upacara pemisahan Polri dari ABRI dilakukan pada tanggal 1 april 1999 di lapangan upacara Mabes ABRI di Cilangkap, Jakarta Timur.
Baca: Rupiah Anjlok ke Rp 15.160 per Dolar AS, Benarkah Terendah Sejak 20 Tahun Terakhir?
Upacara pemisahan tersebut ditandai dengan penyerahan Panji Tribata Polri dari kepala staff umum ABRI Letjen TNI Sugiono kepada Sekjen Dephankam Letjen TNI Fachrul Razi kemudian diberikan kepada kapolri Jenderal Pol (purn) Roesmanhadi.
Maka sejak tanggal 1 April, Polri ditempatkan di bawah Dephankam.
Setahun kemudian, keluarlah TAP MPR No. VI/2000, kemandirian Polri berada di bawah Presiden secara langsung dan segera melakukan reformasi birokrasi menuju Polisi yang mandiri, bermanfaat dan professional.
(Banjarmasinpost.co.id/noor masrida)